Peng-HARAM-an POLIGAMI (KAJIAN FIKIH & USHUL FIKIH)
Peng-HARAM-an POLIGAMI (KAJIAN
FIKIH & USHUL FIKIH)
Oleh : Noor Chozin Agham
Dalam kesempatan yang berbeda,
sesungguhnya penulis tidak berminat melakukan kajian sesuatu dari pendekatan fikih yang berujung pada legalitas formal. Hanya saja,
dalam hal poligami, penulis tertarik untuk melakukannya, karena
masalah poligami ini lain dari yang lain. Pasalnya, yang sudah
berkembang di masyarakat poligami hukumnya halal bahkan sunnah, sehingga banyak orang yang salah mengerti,
dikiranya hukum halal atau sunnah itu sebagai hukum yang murni dari al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Padahal menurut para ahli hukum, khususnya para ahli fikih, bahwa pelabelan halal atau sunnah tersebut, merupakan kasus fikih, atau hasil pemahaman para Ulama fikih dengan pendekatan ushul-fikih. Oleh karena itu, yang mulanya penulis tidak berminat
membahas apa saja dengan pendekatan fikih atau ushul-fikih, tetapi untuk kasus poligami terpaksa penulis lakukan juga. Beruntung, untuk
maksud ini penulis juga pernah belajar dan mengajar (mengampu mata kuliah fikih dan tarikh tasyri’) di sebuah perguruan tinggi di
Depok Jawa Barat, maka tentu saja penulis tidak merasa kesulitan untuk
melakukannya, dengan tujuan antara lain memberi penegasan bahwa pendekatan
fikhiyah tidak selamanya harus berakhir pada penetapan halal atau sunnah berpoligami tetapi juga dapat berkesimpulan haram berpoligami. Di bawah ini, penulis akan menjelaskan, fikih yang bagaimana yang menghalalkan atau yang
mensunnahkan poligami dan fikih serta metode (ushul-fikih) yang bagaimana yang mengharamkannya.
A. Penghalalan Poligami Menurut Ulama (Ushul) Fikih
Lebih jelasnya, bahwa
kepastian hukum berpoligami yang sudah termasyarakatkan sejak zaman Nabi Muhammad Saw. sampai batas waktu yang tidak ditentukan,
para Ulama zaman dulu sudah menetapkan, bahwa hukum asal poligami adalah mubah, berkembang menjadi halal dan berikutnya ada yang bilang sunnah[1],
karena tidak ada ayat al-Qur’an tentang munakahat (pernikahan) yang dapat
dijadikan landasan yang tegas bagi umat manusia. Q.S. An-Nisa ayat 3, adalah
satu-satunya ayat tentang poligami yang diklaim para pecandu poligami sebagai perintah untuk berpoligami. Padahal sesungguhnya ayat tersebut – seperti yang
akan dijelaskan di bawah – dalalahnya (doktrin hukumnya) masih gamang, tidak
jelas, dan para Imam mazhab pun (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali) bersepakat
bahwa hukum poligami kembali pada asal menikah, yaitu mubah, sesuai dengan Qaidah Ushul: al-Ashlu fi
al-asyyaa’i ibahah, hatta maa yatsbuta
haraamahu aw halaalahu (asal segala sesuatu hukumnya mubah, sampai ada dalil yang menunjukkan haram atau halalnya). Sebelum qaidah ini, terdapat qaidah
berbunyi : Al-Ashlu baqaa’u maa kaana ’alaa maa kaana hattaa yatsbuta maa
yughayyiruhu (asal segala sesuatu adalah ketetapan yang telah ada menurut
keadaan semula, sampai ada keketapan yang merubahnya)[2].
Sedangkan yang dimaksud mubah adalah bebas, tidak ada tuntutan untuk mengerjakannya
dan juga tidak ada tuntutan untuk meninggalkannya, atau tidak diperintahkan dan
juga tidak dilarang. Pokoknya, ibahah adalah bebas tanggungan, tanpa ikatan
apa-apa, yang bahasa pasarannya disebut dengan semau guwe atau liar.
Dari hukum asal (mubah) inilah, kemudian para Ulama zaman dulu dan zaman dan belakangan memunculkan banyak pendapat
tentang poligami, tentu dengan menunjukkan dalil-dalil yang
dianggapnya pas untuk mengembangkan hukum mubah tersebut, yang pada umumnya menghalalkan dan banyak
juga yang mensunnahkan. Mereka berbeda hanya pada persoalan teknis berpoligami supaya tidak dianggap merugikan dan mendatangkan mudharat. Pada konteks inilah mereka (Ulama zaman dulu) sepakat menetapkan hukum poligami dengan halal tetapi bersyarat atau Halal Bersyarat, di samping ada juga yang mengatakan halal mutlak bahkan sunnah[3],
yang berarti apabila dikerjakan mendapat pahala dan ditinggalkan tidak
berpahala.
Istilah “halal” menurut para Ulama adalah suatu amal atau perbuatan orang mukallaf yang
apabila dikerjakan dengan baik, misalnya dengan niat untuk ibadah maka sesuatu
yang halal tadi dapat dikategorikan sunnah dan akan mendapat pahala, mendapat keberuntungan
dari Allah Swt., dan apabila dibiarkan (tidak dikerjakan atau
tidak diamalkan) tidak berdosa dan juga tidak berpahala. Bedanya dengan mubah, kalau halal sudah terikat dan bisa meningkat menjadi sunnah atau bahkan wajib, tergantung dari kualitas dalil yang dijadikan
landasan istimbathnya, tetapi kalau “mubah”, seperti disinggung di atas yaitu bebas dan terkesan
masih liar.
Penetapan fatwa halal kemudian menjadi sunnah (oleh Ulama dulu) tersebut, landasan naqliyahnya yaitu al-Qur’an surat an-Nisaa ayat 3 yang dipahami dengan metode
ushul-para Ulama yaitu sebagai berikut
Artinya :
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap
(hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah
dari an-Nisaa’ (wanita-wanita lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat.
Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah)
seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya. (Q.S.
an-Nisaa’ : 3)
Oleh
para Ulama zaman dulu,
ayat itulah yang dijadikan alasan penghalalan dan mensunnahkan poligami. Dikatakannya, bahwa dalam ayat tersebut ada fi’il
amar (perintah), dan dalam qaidah ushul disebutkan al-ashlu fi al-amri li alwujub (asal sebuah
perintah adalah untuk wajib dilaksanakan). Namun, kewajiban itu bisa gugur, turun
derajatnya menjadi sunnah, jika ada masalah lain yang menyebabkannya. Dengan
metode pemahaman versi qaidah ushul seperti ini, berarti perintah untuk
menikahi 2 (dua), 3 (tiga) dan 4 (empat) perempuan yang dicintai, pada awalnya
adalah wajib, tetapi karena ada faktor atau sebab lain seperti ada
syarat adil dan perempuan yang disenangi, maka kewajiban itu menjadi gugur dan
beralih ke mubah. Karenanya, kaidah ushul-fikih yang digunakan, bukan lagi al-ashlu fi al-amri li alwujub melainkan al-ashlu fi al-amri lil ibahah (asal sebuah
perintah adalah untuk mubah).
Penetapan hukum mubah terhadap segala sesuatu, termasuk poligami, sesungguhnya telah diakui banyak pihak, yaitu
terumuskan dari beberapa ayat «al-Qur’an al-Karim sebagai berikut :
Tidakkah kamu perhatikan Sesungguhnya Allah Telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di
langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan
batin. dan di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa Kitab
yang memberi penerangan. (Q.S. Luqman :
20)
Al-Qur’an surat Luqman ayat
20 tersebut, menggambarkan secara umum, bahwa apapun kejadian yang ada di alam
ini adalah untuk kepentingan kehidupan makhluk Allah Swt. terutama manusia. Ketika manusia berupaya untuk
memanfaatkannya, ketika itu pula perselisihan terjadi, sampai kemudian banyak
manusia yang menyalahgunakan, yang pada giliran berikutnya mengingkari ke-Esaan
Allah Swt. Untuk menghindari ketidakselarasan itulah Allah Swt. menurunkan al-Qur’an sebagai panduan.
Dalam ayat lain, dijelaskan
:
Artinya :
Dan Dia telah
menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai
rahmat) dari-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir. (Q.S. al-Jatsiyah : 13).
Al-Qu’an ayat 13 dari surat
al-Jatsiyah ini, hampir searti dengan Q.S. Luqman : 20 di atas, yaitu
mempertegas bahwa apapun yang ada di langit dan di bumi, termasuk problematika
yang terjadi, semuanya tunduk kepada manusia, dalam arti manusia yang cerdas
akan menyadari bahwa dirinya sebagai makhluk yang diunggulkan, yang dengan
kecerdasan dan ilmu yang diperolehnya akan dapat mengendalikan semuanya. Di
sisi lain, kecerdasan itu akan menjadikan dirinya menyadari bahwa di dalam dan
luar dirinya ada tanda-tanda kekuasaan Allah Swt.
Senada dengan kedua ayat di
atas (Luqman dan al-Jatsiyah), sesungguhnya masih ada ayat yang lain yang
memperkuatnya, antara lain yaitu :
Artinya :
Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu
dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan
Dia Maha mengetahui segala sesuatu. (Q.S.
al-Baqarah : 29).
Jelasnya, dengan dan baru
dari 3 (tiga) ayat (Q.S. Lukman : 20; al-Jatsiyah : 13 dan al-Baqarah: 29)
tersebut di atas, sudah dapat diyakin-pahami, yaitu dalam konteks kajian hukum Allah Swt. menunjukkan bahwa segala sesuatu yang diciptakan
oleh-Nya pada mulanya menjadi sebuah wahana yang mubah, yang bebas, dan sepenuhnya dibebankan kepada
manusia. Menurut para ahli ushul-Fiqh, mubah adalah sesuatu yang merdeka, bebas diberikan kepada
orang mukallaf untuk memilih mengerjakannya atau meninggalkannya. Kemudian,
ketika tidak menemukan dalil dari al-Qur’an atau Hadits yang secara tegas menghalalkan atau mengharamkannya,
maka sesuatu yang mubah tadi menjadi halal kemudian meningkat menjadi mandub atau sunnah.
Dari alur pemikiran
ushuliyyah seperti itulah yang menyebabkan banyak Ulama dulu mengklaim poligami berhukum halal dan ada yang bilang sunnah, karena di samping pemikiran demikian ditunjang juga
oleh sejarah bahwa Nabi Muhammad telah berpoligini. Dengan kata lain, dalam hal poligami, karena al-Qur’an atau Hadits tidak secara tegas memerintahkan dan atau
melarangnya, maka hukum poligami (poligini) masuk kategori “mubah” atau bebas, terserah pada mukallaf untuk melakukan
(berpoligami) atau tidak. Jika poligami (yang mubah itu tadi) dilaksanakan dengan niat baik, maka hukum poligami menjadi sunnah, demikian pendapat para Ulama zaman dulu dalam menetapkan penghalalan poligami.
Adapun dalil-dalil yang
menunjukkan kesunnahannya, menurut para Ulama tadi telah ditunjukkan oleh kehidupan Rasulullah Saw.
yang memang memunyai banyak istri, yaitu – menurut riwayat yang shahih sebanyak
9 (sembilan) orang istri, atau semuanya sebanyak 11 (sebelas) orang bahkan
lebih. Dipopulerkan 9 (sembilan) orang istri tersebut karena saat Rasulullah
Saw. wafat, beliau meninggalkan 9 (sembilan) orang istri, yaitu: Siti Saudah, Siti
Aisyah, Siti Hafshah, Siti Ummu Salamah, Siti Juwairiyah, Siti Zainab binti
Jahasy, Siti Syarifah, Siti Ummu Habibah, dan Siti Maimunah. Sedangkan 2 (dua)
orang istri beliau yang meninggal lebih dahulu yaitu Siti Khadijah dan Siti Zainab binti Khuzaimah, tidak masuk hitungan (di luar yang sembilan
tadi).
Selain itu, ada riwayat
lain yang menyebutkan bahwa Nabi kita Muhammad Saw. juga memperistri 4 (empat) orang budak, yaitu Siti Mariah, Siti Raihanah, Siti Zulaikhah dan
satu lagi budak pemberian Jainab binti Jahasy. Di samping ada 2 (dua)
orang lagi yang diperistri Nabi Muhammad Saw. tetapi tidak digauli, yaitu Siti Asma binti Nu’man al-Kindhiyah dan Siti Amrah
binti Yazid al-Kilabiyah. Kemudian, ada 4 (empat) orang perempuan janda yang menawarkan diri agar diperistri Rasulullah Saw.
yaitu Khaulah binti Hakim, Ummu Syuraikh, Fathimah binti Syuraikh dan Laila
binti Hatim.
Tegasnya, menurut para Ulama fikih zaman dulu, bahwa karena poligami dilakukan juga oleh Nabi Muhammad Saw., maka suatu hal yang sangat beralasan jika poligami dilakukan pula oleh umatnya, terutama bagi siapa
saja yang memunyai kemampuan untuk berbuat adil kepada istri-istrinya, seperti
halnya keadilan yang ditampak-praktekkan oleh Nabi Muhammad Saw. terhadap para istrinya. Jadi, melarang poligami, apalagi mengharamkannya, berarti juga menyalahkan
apa yang sudah dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw. Begitu kata mereka, para Ulama fikih zaman dahulu.
Keadilan yang dimaksudkan,
menurut para ahli fikih yaitu keadilan secara lahir, baik yang menyangkut
nafkah, giliran bermalam atau hubungan bersebadan yang dapat diukur dan di
atur. Keadilan dalam hal perasaan seperti rasa cinta atau kasih sayang, menurut mereka adalah sesuatu yang tidak
dapat diukur, secara pasti dan tidak dapat dimiliki oleh siapapun. Karena itu,
menurut para ahli fikih, keadilan yang dimaksud dalam firman Allah Swt (Q.S. an-Nisaa: 129) perlu dipahami dengan
praktek keadilan berpoligami yang dilakukan Rasulullah Saw. QS an-Nisaa yang dimaksud, yaitu:
Artinya :
Dan kamu sekali-kali
tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat
ingin berbuat demikian, Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada
yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu
mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S. an-Nisaa: 129)
Jelasnya, Q.S. an-Nisaa:
129 tersebut, menurut para fukaha, tidak berarti manusia (pelaku poligami) tidak dapat berbuat adil, tetapi dipastikan bisa
berbuat adil berdasarkan kemampuannya. Tentang kasih sayang misalnya, Siti ‘Aisyah lebih disayang oleh Rasulullah Saw.
dibandingkan dengan istri-istri yang lain. Menurut ‘Aisyah r.a., sesungguhnya Muhammad Saw. suaminya telah berbuat adil untuk
istri-istrinya. Ada sebuah Hadits dari Aisyah Radhiallahu ‘anha bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah membagi giliran di antara
para istrinya secara adil, lalu mengadu kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam do’a: Ya Allah inilah pembagian giliran yang mampu aku penuhi dan
janganlah Engkau mencela apa yang tidak mampu aku lakukan (H.R. Abu Daud, Ahmad,
Tirmidzi, dan Nasa.i). Lih. Sunan Abu
Daud, dalam Bab Fil-Qasmi bainan-Nisaa’i, Hadits nomor 1822)[4]. Hadits ini, menurut para fukaha membuktikan bahwa dalam hal
keadilan yang non-materi, seperti rasa cinta, Nabi Saw. menyadari dan meminta perlindungan dari Allah supaya apa yang diperbuatnya dalam hal cinta dan
kasih sayang yang diberikan kepada para istrinya, lebih atau kurangnya, tidak
menjadi hal yang patut disalahkan.
Sedang terhadap Hadits lain yang menjelaskan bahwa Nabi Muhammad Saw. melarang Sahabat Ali bin Abu Thalib yang akan menikah lagi, oleh para Ulama fikih yang pro-poligami, merupakan larangan khusus karena menyangkut
martabat dan kemuliaan keluarga besar Muhammad Saw. yang tidak boleh dicampuri dengan keluarga
yang jelas-jelas menjadi musuh Allah Swt. dan musuh Rasul-Nya. Ya, karena
perempuan yang akan dinikahi oleh Ali r.a. adalah putri Abu Jahal yang sangat
memusuhi Nabi Muhammad Saw. Jadi, larangan Nabi Saw. tersebut menurut para Ulama tadi, tidak ada
kaitannya dengan masalah pelarangan poligami. Kenyataannya, setelah Rasulullah Saw. wafat,
sahabat Ali bin Abu Thalib r.a. toh akhirnya berpoligami juga. Kalau itu larangan yang untuk umum, mana
mungkin Ali r.a. melanggar larangan mertua dan sekaligus Nabinya?, begitu kata para Ulama yang pro-poligami.
Di samping argumentasi di
atas, para Ulama fikih yang membolehkan atau yang mensunnahkan poligami, juga memunyai alasan-alasan lain, di antaranya:
Bahwa poligami sangat bermanfaat untuk mengimbangi ledakan jumlah
penduduk yang menunjukkan kaum perempuan lebih banyak daripada kaum lelaki.
Dikhawatirkan, jika tidak dibolehkan poligami akan banyak sekali orang perempuan yang tidak
kebagian suami dan akibatnya akan mengganggu suami orang atau bahkan akan menjual
diri, yang otomatis akan mengganggu kelestarian moral bangsa. Jadi, poligami dalam konteks ini menurut mereka sangat diperlukan
dan bermanfaat untuk menekan dan mengurangi problema sosial yang diakibatkan oleh lonjakan jumlah kaum
perempuan, di samping juga akan membuat kaum lelaki lebih nyaman daripada harus
berselingkuh, berzina atau bentuk-bentuk kemaksiatan lainnya akibat godaan kaum
perempuan.
Argumen lainnya, ada banyak
pro-poligami yang menyebutkan bahwa dengan banyak istri (poligami) akan memperbanyak keturunan yang diyakini akan
membanggakan Rasulullah Saw. karena memang Rasulullah telah mengatakannya
demikian. Tanpa harus dikomentari, penulis maklumi saja, karena memang
demikianlah alur pemikiran mereka yang menghalalkan poligami, dan itu sah-sah saja karena memang beberapa
firman Allah tersebut di atas mengisyaratkan supaya mereka
berkebebasan melakukannya, berpoligami, atau tidak, itu yang menjadi – menurut mereka –
urusan pribadinya.
Alasan-alasan pokok bagi
pro-poligami di atas, hemat penulis masih sangat lemah, masih belum dapat
dipertanggungjawabkan secara keilmuan yang berkemajuan. Inilah sebabnya penulis
kendati dengan ilmu yang sangat terbatas mencoba untuk melakukan koreksi (kalau
belum bisa disebut ijtihad fardhi), menolak segala alasan yang membolehkan
poligami untuk saat ini dan nanti. Penulis lakukan ini, bukan hanya dari kajian
fikih, tetapi juga dari kajian psikologis, sosiologis dan teologis, seperti
yang tercermin dalam judul buku ini.
B. Pengharaman Poligami Menurut (Ushul) Fikih
Sering sekali penulis
katakan, bahwa pengharaman poligami, landasan Naqliyahnya (dalil-dalil al-Qur’an dan Sunnahnya) sama dengan yang digunakan oleh
para Ulama yang telah menghalalkan atau yang mensunnahkan poligami. Bedanya, hanya terletak pada metode atau cara
untuk memahaminya, yang menurut hemat penulis lebih fiqhiyah (sangat fikih oriented) daripada yang menghalalkannya. Perbedaan
metodologi yang dimaksudkan, sekaligus merupakan kelemahan, yaitu terdapat pada
beberapa hal, sebagai berikut :
a. Para penghalal poligami, dalam memahami ayat al-Qur’an yang diklaimnya sebagai ayat poligami, yaitu Q.S. an-Nisaa ayat 3 (tiga), terlihat
sangat tekstual. Potongan ayat yanmg berbunyi : Fankikhu maa thaaba lakum
minannisaa’i matsnaa…dst. hampir pasti menjadi satu-satunya ayat yang
selalu dikedepankan dengan pemahaman tekstual. Demikian juga dalam memahami
kelanjutan ayatnya, fa inkhiftum an(l)laa ta’diluu fawaahidatan...
Akibatnya, dari pemahaman tekstual ini, diperoleh kesimpulan : Jika Anda
mampu, silakan berpoligami, jika tidak, satu saja;
b. Para penghalal poligami, dalam memahami ayat al-Qur’an yang diklaimnya sebagai ayat poligami, yaitu Q.S. an-Nisaa ayat 3 (tiga), terlihat
sangat parsial; sepotong-sepotong. Potongan pertama, dikatakannya sebagai
isyarat membolehkan bahkan mensunnahkan poligami karena ada fi’il amar di sana (fankikhuu..),
sepotongnya lagi dikatakan sebagai isyarat memberi persyaratan adil, dan bagi
yang tidak mampu adil, cukup satu saja. Dengan cara demikian, akibatnya
cenderung mengkerdilkan makna adil yang terdapat dalam Q.S. an-Nisaa: 129,
padahal kata adil yang terkait dalam kedua surat tersebut (ayat 3 dan 129 Q.S.
an-Nisaa) sama-sama menggunakan akar huruf ain, dal dan lam
(‘adala);
c. Para penghalal poligami, dalam menerjemahkan kata an-Nisa
yang terdapat dalam Q.S. an-Nisaa; 3 dan ayat 129, berbeda. QS an-Nisaa: 3
diterjemahkan dengan para perempuan, sedangkan yang terdapat dalam ayat 129
diterjemahkan istri-istri, yang secara nyata menggambarkan bahwa poligami telah terjadi. Padahal, jika memahami kedua ayat
tersebut secara munasabah atau berhubungan, maka akan terasakan kejanggalan
atau kekurangtepatannya penerjemahan dengan “istri-istri”. Kata an-Nisaa dalam
kedua ayat tersebut, lebih tepat sama-sama diterjemahkan dengan “para
perempuan” karena poligami sesungguhnya belum terjadi atau masih berupa
penawaran dari Allah Swt (ayat 3) dan berkecenderungan untuk tidak terjadi
poligami;
d. Para penghalal poligami, dalam memahami ayat al-Qur’an yang diklaimnya sebagai ayat poligami, yaitu Q.S. an-Nisaa ayat 3 (tiga), terlihat hanya
mengedepankan cara berpikir ta’abbudi, yang menilai poligami dari sudut pandang ibadah, yang menyamakannya
dengan perintah menikah dari Nabi bahkan dari Allah Swt. Dengan cara begini, akibatnya mereka menilai
bahwa poligami adalah ketetapan dari Allah Swt dan Rasul-Nya yang tidak boleh diganggu-gugat.
Padahal, perintah menikah hanya sekali, yakni tidak ada lagi perintah menikah
bagi orang yang sudah menikah, seperti yang tercermin dalam Q.S. an-Nuur: 32;
e. Para penghalal poligami, apalagi para pelaku poligami, terlihat sangat eksklusif, tertutup dan tak mau
membuka diri untuk menerima pendapat yang menolak poligami. Ketertutupan ini ditandai oleh banyak literatur
yang membahas dan sekaligus menuding para penolak poligami sebagai orang yang terpengaruh pemikiran sesat
asal missionaris yang konon sengaja akan merusak keluarga Muslim. Mereka hampir
tidak pernah mau menerima ajakan untuk mengoreksi kembali cara memahami
ayat-ayat al-Qur’an yang diklaimnya sebagai ayat poligami;
f. Para penghalal poligami, khususnya para Ulamanya, cenderung menempatkan
dan memposisikan Nabi Muhammad Saw. secara acak-adul, tidak proporsional
dan juga tidak profesional. Kapan beliau berposisi sebagai Nabi, dan kapan sebagai Rasulullah, tidak dibedakannya.
Akibatnya, semua apa yang dilakukannya dianggap baik dan perlu diikuti oleh
mereka. Padahal tidak demikian. Banyak perbuatan Nabi yang tidak boleh diikuti umatnya;
g. Para penghalal poligami, melihat Hadits Rasulullah Saw. yang melarang Ali bin Abu Thalib ketika akan nikah lagi, bukan menikah laginya yang dilarang, tetapi
karena yang akan dinikahi oleh Ali r.a. kala itu adalah putrid Abu Jahal yang
jelas-jelas musuh Islam. Tampaknya, mereka sengaja menghindari isyarat bahwa
Ali r.a. boleh saja menikahinya asal Fathimah binti Muhammad Rasulullah diceraikan lebih dahulu;
h. Para penghalal poligami, juga tampaknya sengaja memahami Hadits dari ‘Aisyah r.a. yang mengisyaratkan bahwa Nabi Saw. mengakui kurang dapat memuaskan semua istrinya
dalam hal cinta dan kasih sayang, yang kemudian oleh mereka dipahami bahwa
keadilan yang dikendaki oleh Allah Swt adalah keadilan yang dalam prakteknya berdasarkan
kemampuan. Dalam kasus ini, yang dilupakan oleh para penghalal poligami, yaitu runtutan logika dari yang dikehendaki oleh Allah dengan yang dikehendaki oleh Rasul-Nya, yang jika ini
dilakukan tentunya akan melahirkan ungkapan: Rasulullah saja merasa kurang
mampu menerapkan keadilan terhadap para istrinya, apalagi manusia penghalal poligami kini dan nanti.
i. Dan masih banyak lagi kesederhanaan dan
sekaligus kelemahan lainnya, yang secara rinci penulis kedepankan dan uraikan
dalam bagian lain buku ini.
Secara umum, kesederhanaan
dan sekaligus kelemahan tersebut di atas, terletak pada penggunaan kaidah
(ushul-fikih) yang kurang lengkap, yang dalam kasus poligami terkesan menyalahi aturan yang mereka susun
sendiri tentang apa dan bagaimana peran ilmu ushul-fikih dalam mengambil petunjuk nash syar’i yang harus
dilaksanakan. Kesederhanaan dan kelemahan lainnya, bahwa para penghalal poligami terasa lebih nyaman dengan hanya melihat kenyataan
sejarah bahwa Nabi Saw. telah berpoligami, yang akhirnya mereka lupa bahwa berbicara soal
penetapan hukum, pada dasarnya berkaitan dengan metodologi (ushul-fiqh) yang sesungguhnya telah mereka rumuskan sendiri.
Istilah “ushul al-Fiqh”, dari segi bahasa terdiri dari dua kata, yaitu ushul
(jamak dari ashl) yang berarti asal-usul atau asal-muasal,
dan al-Fiqh (fikih) artinya mengerti atau memahami. Dari segi istilakhi
(disiplin ilmu ushul-fikih), adalah pengetahuan tentang kaidah dan pembahasannya
yang digunakan untuk menetapkan hukum-hukum syara’ yang berhubungan dengan
perbuatan manusia dari dalil-dalilnya yang terinci[5].
Atau, kumpulan kaidah dan pembahasannya yang digunakan untuk menetapkan
hukum-hukum syara’ yang berhubungan dengan perbuatan manusia dari
dalil-dalilnya yang terperinci. Sedangkan objeknya, yaitu dalil syara’ yang
berifat umum ditinjau dari ketepatannya terhadap hukum syara’ yang umum pula.
Atau, ushul-fiqh sebagai teori hukum, merupakan sumber hukum dan
dalil-dalil, kaidah-kaidah, metode pemberdayaan sumber hukum, metode penggalian
hukum dari sumbernya, seperti istinbath dan ijtihad atau istidlal[6].
Dari pengertian dan objek
ushul-fiqh tersebut, berarti dalam kasus penetapan hukum poligami, dalam hal ini mengharamkannya, maka penulis tentu
tidak bisa melepaskan diri dari upaya-upaya, cara dan metode seperti yang
dipersyaratkan oleh ilmu ushul-fiqh. Karenanya, maka supaya sampai pada (sesuai dengan)
apa yang dipersyaratkan ushul-fikih tersebut, penulis telah melakukan beberapa hal,
antara lain melacak dari mana istilah poligami; apa dan bagaimana yang dimaksud berpoligami, apakah ada dalam al-Qur’an dan Sunnah atau tidak ada, kalau ada terdapat pada surat dan
ayat berapa, kemudian apa dampak positif dan negatifnya (untung ruginya) bagi pelaku poligami, baik bagi keluarganya maupun bagi masyarakatnya.
Lacakan penulis ini, telah dan akan dijelaskan dalam bagian dan bab tersendiri
dalam buku ini. Sedangkan pada bagian ini, penulis hanya akan membahasnya dari
segi ushul-fiqh, dalam hal ini kaidah-kaidah ushul-fiqh yang – seperti disinyalir di atas – dalam hal poligami cenderung dilupakan oleh para ahli fikih sendiri.
Seperti juga dikatakan para
fukaha, bahwa fikih sebagai disiplin ilmu memunyai metode tertentu dalam
menetapkan suatu hukum. Metode yang dimaksud, disebut ushul-fikih. Para Ulama belakangan (moderen) menyebut atau menyamakan ushul-fiqh dengan filsafat hukum Islam. Dalam kasus poligami, seharusnya juga sebelum menetapkan apakah halal ataukah dilarang, diperlukan metodologi (ushul-fikih) yang memadai. Para Ulama yang menghalalkan atau yang mensunnahkan poligami, tampak nyata kurang memadai atau kurang lengkap
dalam memberikan alasan atau dalil-dalil berikut metode untuk memahaminya, yang
sebenarnya menjadi fungsi kajian ushul-fiqh dalam proses istinbath (pengambilan atau
penetapan hukum).
Fungsi ushul-fikih adalah sebagai metode, alat, kaidah, atau tata cara
yang dipakai dalam berijtihad, meliputi kaidah bahasa (linguistik) dan kaidah fikih itu sendiri. Sedangkan fungsi fikih yaitu menjabarkan secara praktis hasil rumusan
(istinbath) hukum. Dengan demikian, fungsi fikih dan ushul-fiqh, sama dengan fungsi tafsir ahkam, dalam arti
sama-sama memiliki objek kajian hukum Islam, sebab fikih itu sendiri pada dasarnya berasal dari tafsir
ahkam, atau jelasnya yaitu pengembangan dari tafsir ahkam. Kajian
terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang dijadikan dalil atau sumber hukum, adalah bagian
dari objek kajian ushul-fiqh, yang dalam prosesnya memposisikan ayat-ayat al-Qur’an sebagai qath’il-wurud, pasti berasal dari Allah Swt. Dalam konteks ini, al-Qur’an surat an-Nisaa: 3, dari segi ushul-fiqh, adalah jelas diakui sebagai qath’il-wurud,
berasal dari Allah Swt. Sedangkan
hukum yang dapat diambil dari ayat ini, yaitu perintah menikah, yang oleh
ushul-fiqh juga dikategorikan sebagai qath’id-dalalah,
petunjuk atau dalilnya jelas, menikah. Jadi, dari segi ushul-fiqh, perintah yang terdapat dalam Q.S. an-Nisaa ayat 3
adalah menikah, titik. Mengenai bilangan berapa perempuan yang perlu dinikahi,
dua, tiga, atau empat, sudah lain masalah.
Dari segi ushul-fiqh juga, bahwa perintah menikah yang diambil dari dalil
tersebut (Q.S. an-Nisaa: 3), jenis hukumnya masih belum dapat dipastikan,
apakah menikah itu sunnah, wajib, halal, haram, atau makruh. Yang menjadi kesepakatan bersama para
ahli ushul-fiqh dan fukaha, bahwa hukum asal menikah adalah mubah, bukan wajib, begitu juga dengan hukum asal poligami, mubah, bukan sunnah apalagi wajib. Nah, sampai di sini, berarti hukum berpoligami dari sudut pandang ushul-fiqh, mulanya bersifat nihil, tidak ada ikatan, tidak ada
aturan, yang dalam bahasa fikihnya disebut dengan “ibahah” (mubah) atau bebas.
Kemudian, masih menurut Ulama ushul-fiqh, bahwa ketika penetapan hukum masih kosong; atau
ketika al-Qur’an dan Hadits masih belum ada kepastian (katakanlah masih mubah dari hasil ijtihad tingkat pertama setelah melihat
dalil-dalil naqliyahnya), maka urutan ketiganya adalah ijma’ Ulama mazhab, dan ternyata penetapan mubah tersebut adalah merupakan ijma’ mereka. Sehingga
dengan demikian, ijma’ dalam konteks penetapan hukum poligami tidak diperlukan lagi (karena hasilnya sudah ada,
yaitu mubah tadi). Sebagai langkah berikutnya, setelah ijma’ yaitu
kiyas, dan setelah kiyas yaitu istihsan, baru kemudian mashlahah-mursalah
sebagai urutan keenam (setelah al-Qur’an, Hadis, ijma’, kiyas, dan istihsan). Dengan kata
lain, pertanyaan fikihnya, bagaimana hukum poligami dalam pandangan kiyas, istihsan dan mashlahah-mursalah?
Dalam penetapan kiyas
sebagai metode ijtihad, para Ulama ushul-fiqh sepakat, tidak ada masalah selama illatnya relevan.
Dan bagi Ulama fikih, juga tidak mempermasalahkan bahwa hasil pengkiyasan
dijadikan sebagai sumber hukum. Dengan kata lain, semua Ulama fikih sepakat bahwa hasil kiyas dapat dijadikan sumber
hukum, dan Ulama ushul-fiqh juga sepakat bahwa kiyas dapat dijadikan metode
ijtihad yang dapat dipertanggungjawabkan keilmiahannya. Sedangkan mengenai
kedudukan metode istihsan dan mashlahah-mursalah, Ulama ushul-fikih masih belum bulat, ada yang menerima dan ada yang
menolak dengan alasan masing-masing.
Menurut pandangan Ulama ushul-fiqh, ijtihad adalah pengerahan segenap potensi kecerdasan
seseorang fakih atau ahli agama untuk menghasilkan dugaan kuat tentang hukum
syara’[7] ,
yang dengan pengertian ini berarti mengarah pada pentingnya penelitian dan
pemikiran untuk mendapatkan sesuatu yang terdekat dengan al-Qur’an dan Sunnah, baik dengan pendekatan kiyas, istihsan
maupun melalui pendekatan mashlahah-Mursalah[8].
Kias, menurut para Ulama ushul-fiqh, adalah menyamakan suatu hukum dari peristiwa yang
tidak memiliki nash hukum dengan peristiwa yang sudah memiliki nash hukum,
sebab sama dalam illatnya[9]. Sedangkan yang dimaksud istihsan,
menurut Ulama ushul-fiqh adalah beralihnya pemikiran seorang mujtahid dari
tuntutan kiyas yang nyata kepada kiyas yang samar, atau dari hukum umum kepada
pengecualian karena ada kesalahan pemikiran yang kemudian memenangkan
perpindahan itu[10].
Adapun pengertian maslahat-mursalah, menurut Ulama ushul-fiqh adalah kemaslahatan yang oleh syara’ tidak dibuatkan
hukum untuk mewujudkannya, tidak ada dalil syara’ yang menunjukkan dianggap
atau tidaknya kemaslahatan itu. Atau, penetapan suatu hukum untuk menerapkan
kemaslahatan umat manusia, yakni menarik suatu manfaat, menolak bahaya atau
menghilangkan kesulitan umat manusia[11].
Menurut hemat penulis,
dalam konteks istinbath hukum poligami, penggunaan ijtihad dengan metode kiyas,
istihsan dan mashlahah-mursalah, untuk saat ini dan nanti, harus
tetap menjadi pilihan dan digunakan terus. Kegunaannya, bukan saja dapat
menemukan kepastian hukum berpoligami, tetapi juga dapat menambah wawasan dalam
penggunaan dan mempertahankan metodologi hukum Islam (ushul-fikih) di masa-masa mendatang. Metode istihsan misalnya,
dapat memberi peluang para peminat hukum untuk memilih alternatif yang lebih
baru dari apa yang sudah dihasilkan dan dikiyaskan oleh para Ulama zaman dahulu, apalagi metode istihsan ini memunyai kaitan
erat dengan metode sebelum dan sesudahnya (kiyas dan mashlahah-mursalah), yang
berarti untuk mempertahankan kiyas diperlukan istihsan dan
sekaligus mashlahah mursalah.
Dalam praktek penetapan
hukum (istinbath) menurut Ulama ushul-fikih atau dalam praktek penetapan sumber hukum menurut Ulama fikih, istilah kiyas
mendapat ranking keempat setelah al-Qur’an, Sunnah, dan ijma’. Ini menunjukkan, bahwa kiyas
merupakan primadona dan pilihan unggulan untuk memecahkan permasalahan baru
yang belum ditegaskan dalam nas atau oleh para mujtahid tempo dulu. Persoalan
pokoknya, yaitu terletak pada illat. Segala ketetapan hukum yang dihasilkan oleh ijtihad
kiyasi (ijtihad dengan metode kiyas), yaitu tergantung dari pengujian illatnya.
Jika illatnya kuat, dapat dibuktikan dengan kajian dan penelitian yang akurat,
maka hukum yang ditetapkannya pun akan kuat pula. Sebagai contoh, yaitu khamr
(arak); illat yang terdapat dalam khamr yaitu memabukkan, lalu
diambil kesepakatan (kiyasi), bahwa semua minuman yang memabukkan, adalah haram. Dalam perkembangan ilmu yang makin wah sekarang
ini, tentu membutuhkan kriteria bagaimana yang disebut mabuk atau memabukkan
tersebut. Mungkin, ada juga orang yang minum khamr sampai perut buncit karena
kebanyakan minum, tetapi tidak memabukkan dirinya. Nah, apakah orang tersebut
terkena hukum haram?
Ada lagi contoh lain, yaitu
kebolehan mengqashar shalat. Dalam konteks kiyas tempo dulu (menurut Ulama fikih zaman dulu), bahwa illat kebolehan jamak qashar, yaitu karena ada safar (bepergian) yang
mengindikasikan ada kesulitan dalam safar (bepergian) tersebut. Fikih tidak merinci atau tidak menyebutkan kepastian
“kesulitan” apa yang dimaksudkan, paling banter, hanya menyebutkan jarak
tempuh. Nah, atas dasar illat tadi, bagaimana dengan orang yang pergi dari Jakarta
ke Mataram dengan pesawat garuda misalnya, kendati hanya ditempuh dalam waktu 2
(dua) jam dan kondisi badan pun tetap sehat, bugar bahkan nikmat. Bandingkan
dengan orang yang pergi naik speda ontel, atau bahkan jalan kaki, dari Ciputat
(Banten) Kebayoran Lama (DKI Jakarta), yang tentu akan ngos-ngosan,
tetapi yang demikian, berdasarkan illat tadi, justru yang boleh menjamak qashar adalah yang pertama (yang naik pesawat karena jarak
tempuhnya jauh), sedangkan yang kedua tidak dibolehkan menjamak qashar.
Dari segi ushul-fikih, dua kasus tersebut (khamr dan jamak qashar), kendatipun illatnya sangat lemah, namun penetapan
hukum haram bagi khamar dan minuman yang memabukkan, masih kukuh
dipertahankan oleh metode kiyas gaya ushul-fikih. Begitu juga dengan kebolehan menjamak qashar bagi musafir Jakarta-Mataram, dan tidak boleh bagi
musafir pejalan kaki Ciputat-Kebayoran Lama, juga tetap dipertahankan oleh
ushul-fikih. Nah, di sini, ada kelemahan metode kiyas jika tidak
diperketat dengan istihsan dan mashlahah mursalah. Metode istihsan, dapat
memilah dan merumuskan ulang kreteria illat dalam khamr atau illat dalam kasus kebolehan jamak qashar. Nah, bagaimana dengan pengharaman poligami? Jika dengan metode kiyas, kasus hukum apa yang
dapat dikiyaskan dengan keharaman poligami? Jika melalui metode istihsan, bagaimana wujudnya,
dan jika menggunakan mashlahah-mursalah, seperti apa rumusannya?
Dalam kasus pengharaman poligami, permasalahan dan sumber hukum yang tepat untuk
mengharamkannya, adalah kasus letidaksetujuan atau larangan Rasulullah Saw.
terhadap Sahabat Ali bin Abu Thalib yang akan menduakan Fathimah az-Zahra
binti Muhammad Saw. dengan seorang perempuan putri (keturunan)
Abu Jahal. Dalam sebuah Hadits diceritakan begini: Rasulullah Saw. menolak
pernikahan Ali bin Abu Thalib dengan anak perempuan Abu Jahal untuk memadu Fathimah binti Muhammad Saw. Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan
dari Abdillah Abi Malikah, bahwa Musawwir bin Muhrimah berkata, bahwa dia
mendengar Rasulullah Saw. bersabda di atas mimbar begini :
Sesungguhnya Bani Hasyim
bin Mughirah meminta izin kepadaku untuk menikahkan salah satu dari mereka
dengan Ali bin Abu Thalib dan saya tidak mengizinkannya, tidak,
dan tidak (mengizinkannya), kecuali Ali bin Abu Thalib mau menceraikan putriku dan menikah dengan anak perempuan mereka.
Sesungguhnya anakku adalah bagian dariku, maka apa yang meragukannya juga
meragukanku, dan apa yang menyakitinya juga menyakitiku (H.R. Bukhari dan Muslim)[12]
Dari Hadits tersebut, tepatnya pengharaman poligami bukan lagi memerlukan kiyas, tetapi sudah tegas
lewat Hadits tersebut Rasulullah melarangnya. Namun demikian,
karena konteksnya dalam hal ini yaitu kiyas, maka dapat dikatakan bahwa
pengharaman poligami dikiyaskan dengan pelarangan yang Rasulullah Saw.
sampaikan kepada Ali bin Abu Thalib. Sedangkan illat-nya yaitu menyusahkan dan menyakiti orangtua
atau wali sang istri, atau bahkan berpoligami itulah yang menjadi illat pada kasus menikah lagi. Dengan kata lain,
menikah lagi boleh saja asal istri yang ada dicerai lebih dahulu, kalau tidak, itu termasuk poligami yang dilarang oleh Nabi Saw.
Kemudian, kalau ada riwayat
lain yang menambahkan Hadits tersebut dengan kalimat: Fathimah adalah bagian
dariku dan saya takut agamanya akan terkotori, yang disertai analisis bahwa
jika itu terjadi maka akan mengotori keluarga besar Muhammad Saw. lantaran perempuan yang akan dinikahi Ali bin Abu Thalib yaitu putri Abu Jahal, yang sangat memusuhi dakwah
Rasulullah Saw., maka riwayat dan analisis ini menjadi gugur lantaran Nabi Saw. sendiri menyatakan: Kecuali Ali bin Abu Thalib mau menceraikan putriku dan menikah dengan anak mereka. Kalimat ini
menunjukkan, bahwa yang dilarang Rasulullah Saw adalah berpoligami atau menduakan putrinya. Logikanya, kalau Ali bin Abu Thalib menceraikan Fatimah, maka Ali dipersilakan untuk menikahi
putri Abu Jahal tersebut, sedangkan illat-nya, bukan putri Abu Jahal melainkan poligaminya itu. Illat yang demikian, dalam ilmu ushul-fikih disebut dengan Munaasib Muatstsir, yakni munaasib
i’tibarihi asy-Syaari’i bi atmi wujuuhi al-i’tibaari. Maksudnya, munasih
yang syar’i menunjukkan bahwa munasib itu adalah illat hukum yang disyari’atkan, baik yang
diterangkan secara tegas, maupun secara isyarat[13].
Inilah yang dikehendaki dengan illat yang dinashkan, yakni illat yang mengharamkan poligami.
Jadi, secara kiyasi, dalam Hadits tersebut jika dikaitkan dengan proses pengkiyasan
hukum berpoligami, memunyai dua jenis illat yang berhubungan. Illat pertama yaitu menyakiti hati perempuan dan
walinya, hukumnya haram. Dalam praktek poligami, terdapat unsur menyakiti hati dan orangtua atau
walinya, karena itu poligami menjadi haram juga. Illat yang demikian, disebut dengan munasib
mula’im, yaitu : munasib i’tibarihi asy-Syaari’i wa laakin bi wajhi min
wujuuhi al-i’tibaari[14]
(munasib yang di’itibari syara’ dengan salah satu i’tibar). Sedangkan illat yang kedua, adalah illat yang disebut dengan Munaasib Muatstsir,
yakni munaasib i’tibarihi asy-Syaari’i bi atmi wujuuhi al-i’tibaari sebagaimana
tersebut di atas, yaitu poligami itu sendiri yang diharamkan sekaligus yang menjadi
illat-nya.
Dari segi istihsan,
dapat dilihat bahwa poligami berdasarkan ijtihad para Ulama yang menghalalkan atau yang mensunnahkan, berangkat
dari metode maslahah-mursalah, yang disebutkannya bahwa berpoligami mendatangkan maslahat bagi kaum suami dan kaum
istri. Kemaslahatan bagi suami, yaitu akan terjaga dari perbuatan serong
(selingkuh) manakala istrinya sedang berhalangan untuk digauli, misalnya saat
datang bulan, saat nifas (usai melahirkan) atau saat-saat istri sedang sakit.
Pada saat kondisi istri demikian, sang suami yang bekerja keras mencari nafkah,
memerlukan waktu melepas lelah dengan istrinya, maka hasratnya akan tersumbat
jika istrinya sedang berhalangan tadi, dan karenanya untuk menjaga jangan
sampai sang suami selingkuh, perlu ada istri lagi yang dapat memenuhi hasrat seksual
sang suami. Inilah maslahah bagi suami yang selalu ditonjolkan bagi mereka
yang menghalalkan poligami menggunakan metode maslahah-mursalah.[15]
Kemaslahatan yang demikian,
sesungguhnya sangat lemah untuk diangkat sebagai landasan hukum kebolehan poligami. Pasalnya, untuk menyalurkan kebutuhan seks pada
saat istri berhalangan, sesungguhnya masih bisa dilakukan tanpa selingkuh atau
tanpa berpoligami. Banyak ahli seksologi yang menyebutkan, bahwa
kepuasan seksual bagi laki-laki terjadi pada saat sikecil (penis) ereksi dan
berakhir pada keluarnya air mani (orgasme). Kepuasan yang demikian, dapat
dirangsang oleh sang istri dalam kondisi apa saja, tanpa melakukan senggama,
atau tanpa memasukkan penis ke vagina pun bisa. Cara yang demikian, justru
membuat istri merasa senang, bahkan akan merangsang penyembuhan jika istri
sedang sakit, dan istri akan senang bahwa dirinya masih bisa melayani suaminya
dan suaminya masih mencintainya pula kendati dia sedang datang bulan atau
sedang nifas, sekaligus hal yang demikian akan menambah harmonitas berumah
tangga, menuju sakinah, mawaddah wa rahmah.
Jadi, jika dalam kondisi istri berhalangan seperti haid, nipas atau sakit,
kalau sang suami keluyuran, berselingkuh minta izin menikah lagi, apakah itu
bisa disebut suami mencari kemaslahatan? Tetangga bilang, itu sih suami gendeng.
Sedangkan kemaslahatan bagi
kaum perempuan yang selalu saja diangkat oleh mereka yang menghalalkan poligami, lebih tertuju pada penilaian subjektif yang
menyebutkan bahwa jumlah perempuan lebih banyak dari laki-laki. Mereka
mengkhawatirkan banyak perempuan yang tidak memperoleh suami jika poligami dilarang atau diharamkan, yang akibatnya akan
mengganggu etika sosial. Dikatakannya, banyak perempuan yang tidak bersuami
kemudian menjual diri, mencari kesenangan dengan menggoda para lelaki dan
bahkan para suami, yang bisa jadi akan membuat rumah tangga orang menjadi
berantakan. Menurut mereka, poligami akan mengurangi problema sosial yang demikian, dan poligami akan mengurangi bahkan akan meniadakan perempuan
yang merasa tidak kebagian suami. Padahal, penggambaran kasus sosial seperti ini, jelas sekali sangat merendahkan kaum
perempuan. Pada zaman primitif, atau zaman jahiliyah, mungkin bisa diterima karena para perempuan kala
itu masih terbelakang, masih seperti budak zaman Jahiliyah, dan masih memunyai ketergantungan hidup pada
lelaki yang menyintainya atau kepada suaminya, tetapi untuk zaman sekarang dan
nanti, di mana kaum perempuan secara umum sudah mulai berpendidikan, bahkan
sudah banyak yang mengalahkan kaum lelaki dalam berkarir, maka secara otomatis
kemaslahan bagi kaum perempuan tidak lagi berkisar pada penampungan seks
laki-laki dan dalam konteks seksualitas akan lebih memilik suami yang belum
memunyai istri. Solidaritas kaum perempuan sudah mulai tumbuh, ditandai dengan
kian banyaknya kaum istri yang memilih lebih baik hidup sendiri daripada harus
membagi suami (dipoligami).
Kemaslahatan lainnya, masih
menurut para Ulama yang pro-poligami, bahwa dengan berpoligami berarti mendidik para istri untuk bersabar dan
ta’at pada suami, yang dengan demikian berarti istri tersebut menjadi istri
yang shalehah, yang akan memperoleh surga di akhirat kelak. Kemaslahatan yang demikian, tidak mungkin
terjadi. Pasalnya, berpoligami bukan untuk mendidik menjadi sabar dan ta’at pada
suami, melainkan sama dengan memperbodoh istri supaya menuruti kehendak nafsu
sang suami. Istri yang demikian, bukan berarti istri shalehah melainkan istri
yang dha’if, yang dhu’afa, atau yang lemah iman, yang dimanfaatkan oleh
suaminya dengan doktrin yang berkedok agama. Istri memang memunyai kewajiban
untuk ta’at pada suami, tetapi ta’at dalam hal kebajikan yang bermanfaat bagi
kehidupan beragama dan rumah tangganya. Surga, bukan terletak pada suami,
melainkan pada istri (telapak kaki kaum Ibu). Dalam konteks ini, keihlasan
seorang istri bukan terletak pada keta’atan terhadap kemauan suami yang ingin
menikah lagi (poligami), melainkan terletak pada keteguhan sang istri
untuk terus berusaha agar sang suami tetap menyayangi dirinya tanpa orang
ketiga (selingkuhan/istri selain dirinya).
Dari pengungkapan
kasus-kasus di atas, jelaslah kiranya, bahwa permasalahan istihsan sudah
bergeser memihak pada pentingnya kita menghindari dan bahkan mengharamkan poligami daripada menghalalkan atau mensunnahkannya. Hukum poligami yang mulanya difatwakan halal atau bahkan sunnah, dengan menggunakan metode istihsan tersebut,
beralih menjadi Haram lantaran telah ditemukannya argumen yang lebih kuat
daripada yang menghalalkan. Begitu juga dengan permasalahan yang terkait dengan
mashlahah-mursalah, sama saja, bahwa kemaslahatan sudah memihak pada
gerakan antipoligami dan memihak pada kemandirian kaum perempuan atau
kaum istri. Asumsi ini dapat dibuktikan melalui survey atau penelitian di lapangan, yang dalam hal ini
al-Hamdulillah telah penulis lakukan, seperti yang tergambar dalam bagian (bab)
lain di buku ini.
Penempatan istihsan,
sebagai sumber hukum dengan menyertakan metode maslahah mursalah, bukan hal baru dalam dunia fikih dan atau ushul-fikih. Setidaknya, dua orang Imam mazhab, yaitu Hanafi dan Maliki, bersetuju menempatkan
istihsan sebagai sumber hukum,[16]
dalam arti kajian-kajian yang menitik-beratkan kemaslahatan dijadikan sebagai
ketetapan hukum. Dalam kasus poligami, di samping ada Hadits yang jelas-jelas melarangnya, (walau dan tetapi
kemudian oleh para penghalal masih dianggap belum kuat untuk dijadikan landasan
pelarangannya), juga karena dalam kajian psikologis dan sosiologis yang sudah diungkapkan di muka, menunjukkan
banyak mudharatnya, maka berdasarkan istihsan dan maslahah-mursalah, poligami sudah sah dikatakan haram.
Pakar fikih dan ushul-fikih, Imam as-Syatibi menyebutkan, di mana ada
kemaslahatan, di situ ada hukum Allah, Dikatakannya
pula, sesuatu yang mubah bisa diharamkan jika dilihat dari segi kulli., dan
hukum mubah juga bisa menjadi haram apabila perbuatan tersebut akan membawa kemudharatan[17],
maka dalam kasus poligami yang akan menyakitkan hati sang istri dan
orangtuanya, berarti poligami sama sekali tidak ada maslahatnya atau tidak
membawa kebaikan, dan sebaliknya justru monogami yang berjibun, penuh dengan kemaslahatan. Dalam
konteks ini, berarti ada kesesuaian dengan beberapa kaidah ushul-fikih, yang seharusnya dijadikan pertimbangan para Ulama terdahulu dalam menetapkan hukum berpoligami. Kaidah ushul-fikih yang dimaksud, yaitu antara lain :
Adh-Dhararu yudfa’u bi
qadri al-Imkaani. (Kemudharatan itu harus dihindarkan menurut batas-batas
kemungkinan).[18]
Maksudnya, bahwa kaidah ushul-fiqh ini menegaskan
perlu menghindari kemudharatan. Usaha-usaha preventif supaya tidak terjadi kemudharatan dalam rumah tangga, yaitu menghindari poligami, merupakan sebuah keharusan menurut kaidah ushul-fikih ini, karena memang sesuai dengan maksud dalil-dalil
atau bukti-bukti kemaslahatan yang diwujudkan melalui rumah tangga monogami dan mudharat yang lahir dalam keluarga poligami.
Kaidah ushul-fikih yang senada, yaitu : Adh-Dhararu al asyaddu
yuzaalu bi adh-Dharari al-Akhaffi (Kemudharatan yang lebih berat dihilangkan dengan mengerjakan
kemudharatan yang lebih ringan)[19]. Maksudnya, dalam kasus poligami misalnya, bahwa berdasarkan penjelasan di atas poligami jelas mendatangkan mudharat. Lalu, untuk memutus supaya tidak terjadi mudharat, bukan membiarkan atau berusaha memperbaiki poligaminya, melainkan dengan menutup poligami, yaitu bercerai atau kembali pada prinsip monogami. Bercerai, tentu termasuk mudharat, namun kadar mudharatnya lebih ringan daripada terus-menerus
melangsungkan kehidupan berpoligami.
Dari penjelasan di atas,
kita layak meragukan bahkan menolak kekuatan argumentasi yang mensunnahkan atau
yang menghalalkan poligami. Qaidah ushul-fikih yang mana yang digunakan, hampir pasti tidak ada yang
dapat dipertanggungjawabkan secara sosiologis dan psikologis. Manfaat bagi poligami sama sekali tidak dapat dibuktikan kecuali hanya
untuk memenuhi penyaluran nafsu seks yang sebenarnya dapat ditempuh dengan
istri yang sudah ada. Kalaupun istri berhalangan, seperti datang bulan, nifas
(usai melahirkan), sang suami yang kreatif dan setia tentu masih bisa
melampiaskan nafsunya dengan bercumbu. Istri yang baik, yang shalehah, kendati
sedang haid atau datang bulan, atau usai melahirkan, tentu memunyai cara atau
gaya tersendiri untuk memuaskan suaminya. Ya, pasti bisa, sebab yang tidak bisa
dipakai dari istri yang sedang berhalangan yaitu hanya vagina, sedangkan
anggota badan yang lain tentu siap dijadikan alternatif. Kalaupun istri sedang
sakit misalnya, atau bahkan sedang dirawat misalnya, tentu masih bisa untuk
memuaskan nafsu seks suaminya. Walau yang demikian ini memberi kesan suami yang
tak tahu diri, tetapi akan dikesankan lebih tak tahu diri lagi jika dalam
keadaan istri sakit kemudian jajan ke luar, menjalin hubungan gelap dan atau
menikahi perempuan lain. Inikah yang disebut manfaat poligami bagi sang suami?
Jadi, manfaat berpoligami yang menjadi andalan para suami, yaitu untuk
menjaga stamina sang suami saat istri berhalangan, sama sekali tidak dapat
diterima akal sehat. Sebaliknya, justru member kesan buruk pada suami, yaitu
sebagai suami yang egoistik, yang mementingkan diri sendiri, dan tak tahu diri.
Bayangkan kalau semua istrinya (misalnya dua orang istri) sama-sama sedang
berhalangan, atau sama-sama sedang sakit, lalu menambah istri satu lagi,
menjadi tiga, lalu mendadak berhalngan pula, lalu beristri lagi, menjadi empat
orang istri, tiba-tiba berhalangan pula. Apa yang akan terjadi? Apakah masih
tetap berkilah bahwa poligami masih perlu untuk ban serep kalau-kalau sang istri
berhalangan melayani nafsu seksnya?
Di atas disebutkan, bahwa
sesuatu yang halal, atau sesuatu yang sunnah, adalah sesuatu yang apabila dikerjakan mendatangkan
pahala. Artinya, jika poligami itu dipandang halal apalagi sunnah, lalu, pahala apa yang diperoleh sang suami dan sang
istri? Apakah membuat istri pertama cemburu, atau bahkan menyisakan rasa tidak
suka pada perlakuan suaminya, itu artinya mendapat pahala? Apakah istri
keduanya yang misalnya merasa senang di atas penderitaan istri pertama
suaminya, bisa dikatakan itu berpahala? Bagi sang suami, misalnya sedang
bersenang-senang dengan istri kedua, yang ketepatan istri pertamanya sedang
berhalangan, katakanlah sakit, lalu apakah dengan meninggalkan istri yang
sedang sakit untuk keperluan menyalurkan seks kepada istri kedua, itu dikatakan
berpahala?
Jelasnya,
seperti yang juga telah penulis sebutkan pada bagian lain, bahwa poligami sama sekali tidak mendatangkan manfaat yang dapat
dijadikan argumen rasional, dan cenderung mendatangkan dosa berkepanjangan
(selama hidup berpoligami), dan oleh karenanya, dari segi ushul-fikih, sudah sah dikatakan bahwa poligami hukumnya haram. [*]
Catatan kaki sengaja dialihkan ke file tersendiri.
terimakasih atas informasi tentang poligami yang sudah bapak jelaskan melalui tulisan bapak
BalasHapusdan kalau dperbolehkan saya mau minta catatan kaki dari tulisan bapak