PENGHARAMAN POLIGAMI : TELAAH SOSIOLOGIS
PENGHARAMAN POLIGAMI
(KAJIAN SOSIOLOGIS)
Oleh : Noor Chozin Agham
A. Pernikahan dalam Masyarakat
Dalam perspektif sosiologi, pernikahan adalah sebuah kontrak sosial untuk membentuk institusi keluarga yang suci. Walau
tanpa melalui tahapan-tahapan uji coba, kontrak social ini mengandung hikmah bagi pembentukan masyarakat.
Sebagai institusi suci, keberadaan keluarga dalam masyarakat lahir bersamaan
dengan keberadaan manusia di dunia. Nabi Adam dan Siti Hawa, sebagai manusia pertama langsung menjadi sebuah
institusi keluarga tanpa uji-coba. Dalam perjalanannya yang kemudian lahir
berbagai ras, suku, bangsa, agama dan budaya sampai saat ini, adalah wujud dari
kontrak sosial yang melahirkan institusi suci tersebut. Allah Swt.. berfirman :
$pkr'¯»t â¨$¨Z9$# (#qà)®?$# ãNä3/u Ï%©!$# /ä3s)n=s{ `ÏiB <§øÿ¯R ;oyÏnºur t,n=yzur $pk÷]ÏB $ygy_÷ry £]t/ur $uKåk÷]ÏB Zw%y`Í #ZÏWx. [ä!$|¡ÎSur 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# Ï%©!$# tbqä9uä!$|¡s? ¾ÏmÎ/ tP%tnöF{$#ur 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3øn=tæ $Y6Ï%u ÇÊÈ
Artinya:
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan
kamu semua dari seorang diri, dan darinya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang
banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling
meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu (Q.S. an-Nisaa: 1)
ô`ÏBur
ÿ¾ÏmÏG»t#uä ÷br& t,n=y{ /ä3s9
ô`ÏiB
öNä3Å¡àÿRr&
%[`ºurør& (#þqãZä3ó¡tFÏj9
$ygøs9Î)
@yèy_ur Nà6uZ÷t/
Zo¨uq¨B ºpyJômuur 4 ¨bÎ) Îû
y7Ï9ºs
;M»tUy
5Qöqs)Ïj9
tbrã©3xÿtGt
ÇËÊÈ
Artinya:
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
berfikir. (Q.S. ar-Ruum: 21)
Dari dua ayat al-Qur’an firman Allah Swt. tersebut dan masih ada beberapa ayat lain, yang
menjelaskan tentang penciptaan laki-kali dan perempuan, serta hubungan tali
pernikahan yang merangkum arti kebagaiaan, kasih-sayang, dan keharmonisan,
digambarkannya sebagai tanda-tanda Allah Swt.. Dengan kata lain, bahwa salah satu wujud
keagungan dan tanda-tanda kemahakuasaan Allah Swt.. diperlihatkan dalam bentuk ikatan pernikahan
hamba-Nya yang bahagia, penuh kasih sayang dan istilah sekarangnya, yaitu
keluarga Samara (sakinah, mawaddah wa rahmah).
Jadi memang, dalam konteks sosiologi, bahwa kendati pernikahan itu merupakan institusi
suci, tetapi ridak ubahnya seperti suatu kontrak. Kata “nikah” yang dipergunakan dalam al-Qur’an dan Sunnah, serta diperteguh dengan pendapat para Ulama, yaitu memiliki arti “aqad” yakni sebuah kontrak,
sebuah kesepakatan, kesepahaman menjalani hidup bersama dalam duka dan suka.
Aturan Allah dalam hal berumah tangga atau berkeluarga yang
terdapat dalam al-Qur’an surat an-Nisaa ayat 1 dan Q.S. ar-Ruum ayat 21 di
atas, yang secara jelas menganjurkan ada hubungan pernikahan, melarang semua
bentuk hubungan seksual di luar pernikahan (berzina), baik sebelum maupun
hubungan lain di luar kontrak pernikahan yang dalam bahasa sekarang disebut
perselingkuhan. Hubungan pernikahan menegaskan bahwa hubungan tersebut tidaklah
merupakan hubungan sementara, hubungan coba-coba atau hubungan semu. Pernikahan
yang harus diwujudkan dalam kehidupan keluarga yang mantap, bukan semata-mata
ada kaitan dengan teknis pernikahan melainkan juga berhubungan dengan waktu,
yaitu sepanjang hidup dan karenanya sangat perlu menghindari penceraian. Kedua pasangan (suami dan istri) haruslah
bersungguh-sungguh dalam berusaha membina ketenteraman, saling membantu dan
saling melengkapi dalam kehidupan bersama, dan dalam memainkan peran keduanya
di tengah masyarakat.
Selain itu, bahwa
pernikahan dalam konteks sosiologis, juga adalah bagian dari sosiologi itu sendiri yang selalu berada dalam perubahan,
karena memang dalam kehidupan bermasyarakat termasuk berumah tangga selalu ada perubahan. Tanpa perubahan takkan
ada sosiologi. Tesis demikian, diamini oleh para sosiolog yang
membicarakan teori perubahan. Robert H. Lauer misalnya, dia menuliskan bahwa
perubahan sosial yang penting dari struktur sosial, yaitu pola perilaku dan interaksi sosial, tercakup di dalamnya ekspresi tentang norma, nilai
dan fenomena kultural sebagai variasi baru atau modifikasi dalam setiap aspek proses sosial, pola sosial dan bentuk-bentuk sosial, perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi
masyarakat, yang mengarah pada keseimbangan dalam hubungan sosial[1].
Selo Sumarjan mendefinisikan perubahan sosial adalah segala perubahan pada lembaga-lembaga
kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang memengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap-sikap
dan pola-pola prilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat[2].
Tekanan pada definisi tersebut terletak pada lembaga-lembaga kemasyarakatan
sebagai himpunan pokok manusia, perubahan-perubahan mana kemudian memengaruhi
segi-segi lainnya dari dan dalam struktur masyarakat tersebut.
Perubahan sosial di atas memberi isyarat bahwa perubahan sosial terlihat atau diperlihatkan oleh adanya suatu reaksi
terhadap adanya tuntutan aktivitas dalam situasi yang baru dan menghasilkan
perubahan, baik perubahan dalam bentuk sistem sosialnya maupun fungsinya (fungsi sistem sosial). Arus budaya global yang begitu deras mengalir ke wilayah lokal maupun
nasional bahkan internasional memunculkan perubahan-perubahan dalam identitas
dan gaya hidup masyarakat. Ini berarti ruang lingkup perubahan sosial menekankan pada sistem ide termasuk pada perubahan
norma dan aturan terhadap struktur dan pola hubungan sosial yang berupa sistem status, hubungan dalam keluarga,
politik, kekuasaan serta persebaran penduduk, di samping unsur-unsur kebudayaan
baik yang material maupun yang immaterial dengan terutama menekankan pengaruh
yang besar dari unsur-unsur kebudayaan material terhadap unsur-unsur immaterial.
Kita lihat misalnya
kemunculan masyarakat industri, jelas telah mendorong kaum perempuan untuk
berubah, melakukan aktivitas di luar ranah domestik. Bahkan industrialisasi telah menjadi faktor
penting dalam perubahan sosial yang banyak memberi peluang, kedudukan dan peran
penting bagi kaum perempuan. Pada awal industrialisasi jenis pekerjaan seperti
menjahit dan memasak yang banyak dilakukan kaum perempuan di rumah, sehingga
tidak sempat lagi memikirkan apa yang di luar rumah, tetapi setelah
industrialisasi menjadi semakin intensif dan berkembang secara massif, maka
lebih banyak kaum perempuan yang direkrut untuk bekerja di pabrik-pabrik,
hotel–hotel bahkan media massa elektronik dan sejenisnya walau harus montang-manting
bekerja siang-malam. Hal demikian, jelas akan memengaruhi kaum perempuan dalam
sistem sosial dan peranannya.
Penilaian masyarakat
terhadap hubungan industrialisasi di dunia dengan kaum perempuan, pada tahun
1970-an ditandai oleh para ilmuwan yang bersepakat bahwa industrialisasi
menyingkirkan perempuan, karena yang lebih berkembang adalah industri berat. Kemudian pada kasus Indonesia yang pernah
mendengungkan gerakan penghijauan (Revolusi Hijau) telah pula menyingkirkan beberapa aktivitas
perempuan pada pekerjaan pertanian, karena tenaganya diganti dengan peralatan
mesin. Misalnya memotong padi dengan ani-ani diganti dengan sabit karena jenis
tanaman padi yang ada adalah varietas baru dan tidak mungkin dipotong dengan
ani-ani karena batang padi lebih pendek. Selanjutnya, aktivitas menumbuk padi
dengan alu dan alat lesung yang selama
itu menjadi tugas rutin kaum ibu baik secara individu maupun kelompok diganti
dengan mesin heler atau selep padi, dan masih banyak lagi
pekerjaan-pekerjaan rumah bergeser ke luar, yang secara nyata memberi era baru
atau pengaruh, mengawali perubahan sosial untuk aktivitas kaum istri.
Reformasi akan terus
digelindingkan. Artinya, proses perubahan sosial dapat dilihat sebagai bagian dari reformasi. Aksi
perubahan sosial yang melibatkan kaum Hawa dapat dikaitkan dengan perkembangan teknologi dan
pemahaman ideologi baru tentang hak-hak para ibu atau para istri. Dengan
keterlibatan mereka dalam segala perjuangan kelas dan akibat penyebaran rasa
persamaan antargender yang kian gencar dewasa ini tentu saja akan melahirkan
kaum cantik atau komunitas perempuan berbagai profesi, sebagai pekerja dalam
sektor baru atau melakukan pekerjaan baru. Hal yang telah nyata-nyata terjadi,
yaitu banyak perempuan yang secara potensial dapat dilihat sebagai pelaku
perubahan yang ditemui di semua kelompok sosial. Tidak mengherankan jika kemudian dari kaum Pertiwi
ini muncul kelompok elit, cendekiawan, birokrat, buruh, pemimpin agama dan
politik serta para pemimpin kelompok etnik, bahkan mungkin juga kelompok
pembangkang dan atau kelompok teroris.
Ada beberapa istilah atau
konsep yang terkait dengan perubahan sosial sekaligus perubahan gaya hidup kaum Hawa. Istilah-istilah seperti eksploitasi, marginalisasi,
kesamaan gender, feminisasi, emansipasi, domestikasi dan
reproduktisasi (pengiburumahtanggaan) dan sebagainya, adalah istilah-istilah
yang bermakna dan melahirkan konsep yang diniscayakan dapat digunakan untuk
melihat sepak terjang kaum perempuan yang nyata-nyata memiliki perilaku adaptif
untuk mengubah kehidupannya. Apakah perubahan yang terjadi secara lambat
(evolusi) atau perubahan yang terjadi secara cepat (revolusi), yang pasti keduanya memerlukan waktu karena
terdapat suatu rentetan perubahan yang menjadi rukun sosiologis, yang dalam istilah fikih disebut illat.
Perubahan tersebut, baik
secara evolusi maupun revolusi (jika ada), sesungguhnya dilatarbelakangi oleh
adanya peningkatan kesadaran anggota masyarakat mayoritas (baca Muslim) di
negeri ini (Indonesia) dalam memandang peranan kaum perempuan khususnya kaum
Ibu rumah tangga. Kalau zaman dahulu, dalam sebuah rumah tangga peran kaum ibu
(istri) mendapatkan beban kerja yang lebih banyak, lebih berat dibandingkan
dengan peran suami. Pekerja domestik sebagai ibu rumah tangga ternyata tidak bisa
dianggap remeh atau sepele. Mengasuh anak, membersihkan rumah, membersihkan
(menyuci) pakaian, perlengkapan dapur, memasak, ditambah lagi melayani
kebutuhan suami, adalah pekerjaan yang sangat berat dibanding suami yang –
misalnya – hanya duduk di kantor dengan fasilitas lengkap dan bahkan terkadang
dengan staf atau sekretaris cantik. Kerja yang berat ini, terkadang masih
dianggap remeh, dan ironis sekali mereka (kaum perempuan/ibu) masih juga
dianggap sebagai makhluk yang lemah, yang tentu saja – karena anggapan tersebut
– membuat mereka sangat rentan dari berbagai macam tindakan kekerasan, termasuk
kekerasan dalam hal bercinta. Hak-hak mereka dalam menerima dan menyalurkan
cintanya pada suami seringkali terhalang oleh kelemahannya sendiri yang
kemudian dimanfaatkan oleh sang suami untuk – misalnya – mencari perempuan lain
(kawin lagi) dengan dalih dibolehkan oleh agama (Islam). Tentu saja, pandangan demikian sangat tidak sejalan
dengan tujuan penikahan dalam Islam; keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah
akan semakin jauh dan takkan pernah terjadi.
Dalil sosial yang senantiasa berubah – sebagaimana tersebut di
atas – tentu sangat relefan dengan tuntutan ajaran Islam. Anggapan kuno yang menilai kaum perempuan (ibu)
hanya pekerja domestik yang berat tetapi juga direndah-lemahkan, sudah
harus dirubah. Perubahan pertama harus datang dari pihak suami yang merasa
dirinya lebih kuat dari istrinya, bahwa kekuatan yang dimilikinya bukanlah
kekuatan yang berdiri sendiri. Harus sadar, bahwa dirinya dinilai kuat karena
ada yang dianggap lemah (yaitu istrinya tadi). Kekuatan apapun, terutama
kekuatan fisik, tidak akan berarti jika tidak ada yang dianggap lemah dalam hal
ini yaitu istri. Tegasnya, sang suami dianggap kuat karena ada pembanding yang
dianggap lemah yaitu istrinya sendiri, dan sang istri pun dinilai lemah karena
ada pembanding yang kuat yaitu suaminya. Sebaliknya, sang suami atau laki-laki
bukanlah seorang yang kuat tetapi sangat lemah bila tidak ada istri, dan seorang
perempuan (ibu/istri) pun bukanlah seorang yang lemah, tetapi kuat dan tegar
jika tidak memunyai suami. Perubahan dari lemah ke kuat dan dari kuat ke lemah,
inilah dalil sosial yang harus menyatu pada konsep pernikahan dalam
persepsi Islam sosiologis. Sang suami harus menyadari bahwa kekuatannya
karena ada istri, dan kaum istri pun harus menyadari kelemahannya karena ada
suami.
B. Keterkaitan Monogami dan Perubahan Sosial
Pengharaman poligami adalah bagian dari perubahan sosial yang perlu dipertegas melalui kajian sosiologis. Seperti disinggung di atas, bahwa ruang lingkup
perubahan sosial menekankan pada sistem ide termasuk pada perubahan
norma dan aturan terhadap struktur dan pola hubungan sosial yang berupa sistem status, hubungan dalam keluarga,
politik, kekuasaan serta persebaran penduduk, di samping unsur-unsur kebudayaan
baik yang material maupun yang immaterial dengan terutama menekankan pengaruh
yang besar dari unsur-unsur kebudayaan material terhadap unsur-unsur
immaterial. Poligami, jelas, termasuk bagian penting yang melatari
perubahan norma dan tatanan hidup bermasyarakat dari masa ke masa, karena
memang praktek poligami sesungguhnya berlangsung sejak sebelum Sayyidina Muhammad bin Abdullah menjadi Nabi dan Rasul Allah Swt.
Dengan penegasan lain,
bahwa praktek poligami tidak bisa dipisahkan dengan kajian sosiologis yang bertalian dengan perubahan dan nasib kaum
ibu atau kaum perempuan. Hal ini perlu ditegaskan, karena memang secara nyata
dalam praktek poligami mereka (kaum perempuan) dirugikan. walaupun
mungkin ada perempuan yang seolah-olah ikhlas dimadu atau termadu (dipoligami), tetapi secara sosiologis praktek poligami tidak bisa dibenarkan atau jelasnya karena hukum sosiologis menekankan pentingnya bermasyarakat secara
damai, aman, tidak terjadi konflik, dan poligomi oleh banyak pihak dianggap
sebagai praktek berkeluarga yang rawan konflik.
Sosiologi adalah sebuah
ilmu yang menelaah segala aktivitas anggota masyarakat, baik secara individu,
keluarga atau kelompok. Manfaat dari belajar sosiologi yaitu antara lain dapat mengetahui sekakigus
memahami ciri-ciri masyarakat, keluarga atau kelompok, juga mengetahui budaya
adat suatu masyarakat, keluarga atau kelompok. Sosiologi dalam upaya mengetahui ciri-ciri, budaya dan adat
tersebut, ada keterkaitan dengan filsafat. Ciri-ciri masyarakat seperti agraris
(petani), industrialis dalam arti masyarakat industri, masyarakat agamis atau santri, masyarakat sekuler, masyarakat moderen, masyarakat tradisional,
masyarakat kota, masyarakat desa, dan sebagainya, adalah sebuah fenomena yang memerlukan keseriusan untuk mengetahui kenapa
masyarakat tersebut dikategorikan sebagai masyarakat agraris, industrialis dan
seterusnya.
Kemudian setelah
sebab-sebab tersebut diketahui, berikutnya dipertanyakan lagi, mengapa sebab
itu ada dan ada pula yang memadukannya untuk melihat pentingnya peran filsafat dalam sosiologi, yang pada dasar itu semua merupakan objek sosiologi karena termasuk sesuatu yang kasat mata atau yang
fenomental. Hanya saja hakikat fenomena itu terlihat dan atau terjadi ada hal yang menarik
untuk dipertanyakan. Ambil saja contoh poligami, ketika seseorang melakukan poligami, ketika itu pula menyimpan banyak pertanyaan,
misalnya mengapa terjadi poligami, apa sebabnya berpoligami, apa landasanya sehingga berpoligami, apa tujuan poligami, manfaat atau mudharat apa dari melaksanakan poligami, yang untuk menjawabnya tentu diperlukan kajian
ilmu-ilmu sosial yang lain, seperti ekonomi, politik, pendidikan, psikologi, dan lain-lain yang masih ada kaitan dengan sosiologi, termasuk di dalamnya – dan ini yang penting –
yaitu ilmu fikih dan teologi, yang dalam konteks (buku) ini akan ada bahasan
tersendiri.
C. Gaya Poligami dalam Masyarakat
Jadi, untuk mengharamkan poligami, semua hal yang fenomental, yang erat hubungannya dengan sosiologi, yaitu banyaknya kejadian poligami yang dipraktekkan anggota masyarakat, mulai dari
masyarakat kelas atas, menengah dan kelas bawah, semuanya juga bagian dalam
upaya untuk melihat apakah praktek poligami benar-benar menjadi penyakit sosial. Praktek poligami dalam masyarakat kelas atas atau kelas masyarakat
yang berekonomi tinggi, termasuk yang berpendidikan tinggi bentuk poligami yang mereka lakukan lebih banyak dengan
menggunakan metode nikah siri, atau nikah dengan cara diam-diam dan atau nikah secara rahasia, hanya diketahui oleh pihak keluarga
yang bersangkutan dan itupun anggota keluarga tertentu dengan pesan-pesan
tertentu pula. Gaya pernikahan ini para Ulama fikih menganggap sah, tidak bertentangan dengan hukum Islam, kendati ada bahkan banyak pula Ulama yang menentangnya, di samping memang ada juga yang
berpoligami secara terang-terangan tanpa tedeng aling-aling.
Biasanya, kelas pelaku poligami seperti ini dilakukan oleh mereka yang telah
berhasil membujuk istri pertamanya supaya menerima, tentu dengan doktrin-doktrin
agama yang diyakininya.
Adapun bagi pelaku poligami kelas menengah, terlihat lebih mencerminkan gaya
kelas ekonominya. Mereka terbagi atas 2 (dua) kategori, pertama mereka yang
secara ekonomi condong ke kelas atas, yakni mereka yang gaya hidupnya mengikuti
atau terpengaruh oleh golongan ekonomi kelas atas, yang dalam mempraktekkan poligami lebih memilih dengan gaya nikah sirri atau nikah secara rahasia. Kedua, mereka yang hal dalam poligami cenderung pada gaya ekonomi kelas bawah. Sedangkan
gaya poligami kelas bawah terkesan lebih mengedepankan aspek
hubungan semata, yang bisa jadi bersikap masabodo (acuh) terhadap akibat yang
akan diterimanya dalam berpoligami.
Untuk lebih jelasnya, gaya poligami masing-masing kelas masyarakat di atas, dapat
dirinci sebagai berikut :
1. Gaya Poligami Kelas Atas
Kelas atas yang dimaksud di
sini, yaitu anggota masyarakat yang secara kuantitatif sesungguhnya tidak
banyak jumlahnya. Mereka yang hidupnya dari segi ekonomi luar biasa mewahnya.
Entah uang dari mana yang mereka dapatkan, penulis bukan anggota KPK, yang
pasti uang bagi mereka bukan masalah, berapa pun yang mereka butuhkan pasti
ada, tinggal pencet tombol di HP, ada yang antar atau tinggal buka atau angkat
tumpukan baju kotor, di sana juga ada
uang. Kalau pergi ke mall pun, tinggal gesek. Jadi masalah uang bagi golongan
minoritas ini benar-benar tidak ada masalah. Begitu pun masalah poligami, rupanya tidak ada kendala apapun, kalau di atas
tadi disebutkan cara poligami mereka lebih memilih metode nikah sirri, itu hanya sebagian kecil dari golongan kecil ini,
selebihnya mereka menganut prinsip semau guwe, toh perempuan bagi mereka
sangat mudah didapat. Menawari perempuan secantik bidadari pun bisa tinggal
download lewat internet, mau dalam negeri atau luar negeri, gampang, mau
bermata sipit, bermata bulat, gampang, mau yang berhidung mancung atau pesek,
juga gampang.
Poligami
bagi masyarakat elit terutama golongan yang memilih metode nikah siri tersebut di atas, secara umumnya sesungguhnya
merupakan masyarakat yang masih menyisakan moral agama dalam jiwanya, terbukti
di kalangan mereka yang memilih atau melakukan poligami lebih dikarenakan adanya anggapan atau pendapat Ulama yang menyatakan lebih baik berpoligami atau menikah secara diam-diam (nikah sirri) daripada jajan di tempat-tempat mesum, atau daripada
berzina yang rawan penyakit. Walau dalam bagian/dari cara ini penulis
mengharamkan juga, tetapi mau apa lagi kenyataannya memang demikian, mereka
sudah termakan oleh fatwa halal sebelumnya.
Secara sosiologis, fenomena pernikahan sirri yang dilakukan oleh golongan
elite yang masih menyisakan moral tesebut, dilihat dari sudut pandang kaum
suami, tentu dianggap tak ada masalah, karena secara ekonomis mampu memenuhi
keperluan semua istrinya. Hanya saja karena permasalahan ini adalah
permasalahan kemanusiaan yang sosiologistik, atau sosial kemanusiaan, maka hal tersebut tidak bisa dipandang
oleh sebelah mata, atau oleh satu sisi, dalam hal ini sisi kelelakian
(kepentingan lelaki) saja atau sisi perempuan yang membutuhkan uang saja. Oleh
karena itu pandangan dari sisi lain bisa terjadi bahkan harus bisa dilakukan,
terutama dari sisi kemanusiaan-sosiologistik tadi. Maksudnya, kalaupun dilibatkan juga
pertimbangan kajian dari istri yang bersangkutan, maka yang dilihat bukan istri
seorang diri pribadi, melainkan istri sebagai seorang perempuan secara umum (sosiologistik). Secara pribadi bisa saja salah satu dari
istri yang dipoligami ada yang mengaku ikhlas dan menganggap tak ada
masalah kendati diposisikan sebagai istri yang kesekian, namun sekali lagi
karena ini tinjauan sosiologi dan kemanusiaan secara umum, maka pandangan yang
bersifat pribadi, yang berarti sangat subjektif, maka hal itu tidak bisa
diterima begitu saja.
Dalam kamus sosiologi, terbentuknya suatu masyarakat adalah berawal
dari pribadi-pribadi, kemudian membentuk keluarga-keluarga, berikutnya menjadi
sebuah masyarakat. Atau dari pribadi-pribadi kemudian berkelompok, lalu
kelompok tersebut terorganisir, membentuk kebersamaan dalam satu wadah, satu
pribumi, satu payung atau satu tujuan. Berikutnya, setelah sampai pada predikat
masyarakat atau predikat sebagai sebuah kelompok yang berkesamaan, maka hukum
yang berlaku pun adalah hukum kebersamaan, yaitu hukum yang berlaku secara umum
yang menyangkut kemanusiaan dan atau kedamaian serta ketentraman hidup bersama
(humanistik sosiologistik).
Tinjauan sosiologis, akan bersentuhan juga dengan faktor psikologis yang membentuk pranata sosial. Dalam kasus poligami, ditemukan beberapa faktor psikologis yang seperti bertentangan dengan hati nurani,
yang secara langsung melukai keharmonisan bermasyarakat. Seperti yang diuraikan
dalam bab sebelum itu, bahwa secara psikologis poligami sangat berpengaruh buruk terhadap perkembangan
jiwa anak yang lahir dari keluarga yang berpoligami.
2. Gaya Poligami Kelas Menengah
Masyarakat kelas menengah, yaitu
anggota atau keluarga yang hidupnya secara ekonomi berada pada kelas tengah
antara kelas atas dan kelas bawah. Ibarat sekolah mereka berada pada posisi
sekolah menengah, yaitu SMP dan atau
SMA. Namun dari segi pendidikan golongan ini bukan saja golongan yang hanya
berpendidikan menengah, tetapi bisa juga berpendidikan dasar, bisa menengah
bisa juga berpendidikan atas bahkan perguruan tinggi. Nah, bagaimana gaya poligami mereka?
Poligami,
dalam konteks sosiologis adalah sebuah pernikahan ganda (lebih dari dan
dengan 1 orang istri ) yang jelas-jelas merupakan bagian kecil dari kegiatan
masyarakat, dalam hal ini masyarakat kelas menengah. Sedangkan gaya poligami dalam kehiduan masyarakat menengah ini, sebenarnya
tidak berbeda dengan gaya yang dilakukan beberapa orang kelas atas tersebut di
atas, yaitu hampir rata-rata dilakukan secara sirri atau diam-diam, di samping
ada juga yang dengan kebanggaannya berterus terang diketahui banyak orang.
Gaya poligami mereka cukup bervariasi; ada yang diam-diam atau
dengan cara sirri ada yang setengah diam-diam atau kalangan tertentu yang tahu,
ada juga yang terang-terangan. Yang menarik dari banyak model poligami golongan mereka ini, yaitu model “cuek” dalam
bahasa Inggrisnya loe-gue; saya
ya saya, kamu ya kamu. Artinya, gaya poligami yang mereka perankan hanya bersifat tempo-tempo
(temporal), datang ke istri kedua, ketiga, atau keempat hanya kalau sedang membutuhkannya.
Poligami bagi mereka seenaknya saja, tanpa dijadwal, dan lebih banyaknya
berdiam pada istri pertama, sedangkan istri kedua dan seterusnya, ya, tadi itu,
seenaknya saja, tetapi masalah keuangan memang dijamin. Yang menarik lainnya,
yaitu ada usaha dari kedua pihak untuk tidak
bunting. jadi memang, mereka menikah (berpoligami) hanya untuk melampiaskan nafsu seksual saja. Gaya
poligami demikian, sebenarnya terjadi pula bagi kelas atas,
di mana mereka memang berpoligami hanya untuk mengisi waktu dan memenuhi kesenangan
belaka.
Beberapa model poligami masyarakat kelas menengah tersebut di atas,
sebenarnya merupakan fenomena perubahan sosiologis yang hampir-hampir bukan menjadi rahasia lagi.
Namun, sepemantauan sebuah tim peneliti – khususnya di wilayah jabodetabek
(Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi). Pada tahun 1998-an tidak banyak
terjadi. Dari survey acak yang tim lakukan melalui telepon rumah, dari
400 keluarga tak ada yang mengakui berpoligami. Bahkan ada beberapa responden yang justru turut
mengecam mereka yang berpoligami. Poligami itu menyiksa istri pertama pak begitu dia
mengatakan, yang otomatis dengan demikian melegakan sekaligus memperkuat
pengharaman poligami yang penulis beberkan dalam buku ini.
Survey acak tersebut,
walau secara keilmuan mungkin bisa dinilai kurang dapat dipertanggung jawabkan,
namun sekedar untuk meneguhkan pendapat bahwa poligami di kelas masyarakat menengah ternyata masih jarang
dilakukan, atau, bahwa poligami masih dan mudah-mudahan tidak diminati oleh
masyarakat golongan menengah ini. Gaya poligami yang penulis sebutkan di atas hanya berupa
analisis terhadap hasil survey di beberapa daerah, seperti Indramayu, Sukabumi,
Tangerang (Kabupaten, Kota dan Tangsel), Bogor, Depok dan wilayah DKI Jakarta
(Jakarta Pusat, Jakarta Barat dan Jakarta Selatan). terjadi beberapa orang saja
yang mungkin tergoda oleh nafsu lantaran ada fatwa hukum halal berpoligami yang sering diungkapkan para Ulama fikih zaman dahulu.
3. Gaya Poligami Masyarakat Kelas Bawah
Masyarakat kelas bawah, dalam
konteks ini adalah masyarakat yang berekonomi lemah dan berpendidikan rendah.
Untuk di Indonesia bahkan di dunia, jumlah mereka luar biasa banyaknya. Menurut
sensus ekonomi tahun 1998, jumlah mereka (ekonomi lemah) masih sangat tinggi,
yaitu 70% lebih. Dari segi sosiologi mereka masih mewarnai keadaan makro di Indonesia.
Penyebutan Indonesia sebagai negara berkembang, yakni negara yang sedang
berubah, berbenah diri, artinya Indonesia masih terus mengupayakan agar tingkat
pendidikan dan ekonomi mereka menjadi berkembang, dalam arti tidak
terus-menerus berada pada posisi kelas bawah.
Dilihat dari segi profesi,
masyarakat kelas bawah ini yaitu mereka yang sehari-harinya bekerja sebagai
pemulung, tukang becak, ojeg, sopir, buruh tani, buruh pabrik, buruh keluarga
(PRT), pedagang asongan, dan usaha-usaha yang terkadang menggangu orang lain
(konsumen). Karena populasinya sangat besar, banyaknya luar biasa, maka ada
kaitan dengan jumlah yang melakukan poligami, yaitu banyak sekali, mungkin takkan terhitung
karena ada yang berpoligami secara terang-terangan dan banyak pula yang
sembunyi-sembunyi atau malu-malu.
Gaya poligami yang dipertontonkan oleh masyarakat berekonomi
lemah ini, secara sosiologis berada pada posisi yang tidak menentu, artinya
dapat dikategorikan persis seperti yang dilakukan anggota masyarakat kelas
atas, dan dapat pula dikelompokkan bergaya seperti golongan masyarakat
berekonomi menengah. Mereka dengan posisinya yang bawah itu, dikesankan secara
umum hanya ikut-ikutan. Mereka tidak memikirkan akibat dari poligami yang dilakukannya. Keterbelakangan ekonomi,
keterbelakangan pendidikan, keterbelakangan pengetahuan, bagi mereka bukan
merupakan kendala atau penghalang untuk berpoligami.
Berbeda dengan golongan atas dan
golongan menengah, itu pasti. Adapun yang membedakannya, bukan terletak pada
gaya poligami yang dilakukannya, tetapi terletak pada dampak sosiologisnya yang luar biasa parah. Bagi kelas atas dan
menengah dampak sosiologis bisa dikendalikan atau bisa ditekan oleh
ketercukupan ekonomi, sehingga dapat menunjukan keharmonisan dan atau
ketentraman walau hanya lahiriyahnya, tetapi bagi kelas bawah, mana bisa?
Bagi kelas atas dan menengah,
modal ekonomi bisa menutupi berbagai dampak yang terjadi dari poligami yang dilakukannya. Golongan ini dapat pula menutup
peluang untuk dilacak, mereka menutup diri untuk sekedar wawancara atau untuk
objek survey yang dengan alasan
ilmiah sekalipun. Penulis buku ini yang – walaupun telah mengungkap gaya
poligami sebagaimana tersebut di atas – telah mencoba
berkali-kali mengorek dengan berbagai cara untuk mengetahui gaya poligami yang mereka lakukan, namun sesungguhnya memang
tidak mudah untuk melihat kejujuran. Dalam wawancara langsung terhadap para
pelaku, baik yang penulis lakukan atau yang penulis baca dari beberapa media,
termasuk media elektronik, hampir semua
pelaku menganggapnya biasa saja, tidak terlalu bermasalah. Kalaupun ada, ya,
wajar, namanya juga berumah tangga, monogami atau poligami, pasti ada masalah, inilah jawaban rata-rata dari para pelaku poligami khususnya dari pihak suami. Jadi sesungguhnya,
paparan ini hanyalah merupakan analisis dari beberapa fenomena yang terselesaikan secara nyata di lapangan saat
beberapa orang yang diduga kuat berpoligami bersama atau berkerumun dengan teman-teman,
ngobrol bareng sambil bercanda. Kalau toh dikatakan hasil survey, bisa juga, tapi namanya bukan survey lapangan, melainkan survey diam-diam, atau survey sirri.
D. Kasus-Kasus Poligami dalam Masyarakat
Kasus-kasus poligami dalam masyarakat, disebut juga sebagai sosiologi poligami, yakni sebuah kajian dan atau pengamatan terhadap
kehidupan dan praktek poligami yang sudah terealisasikan (dipraktekkan) oleh
masyarakat secara pribadi maupun secara umum. Artinya bagian ini penulis
mencoba menganalisis fenomena kehidupan keluarga yang berpoligami, baik kehidupan pribadi sebagai suami yang
beristri lebih dari satu atau pribadi estri yang bersuami bareng-bareng ataupun
kehidupan keluargaan.
Berkawan, atau terlibat langsung
bergaul dengan para pelaku poligami, adalah sebagai bahan utama dalam (untuk) membahas
bagian ini. Namun, tentu dengan metode keilmuan yang menghindari
ketersinggungan siapa yang penulis maksud kawan (berlawan) kecuali mereka yang
memang mudah terbaca atau mudah ditebak, yang dalam hal ini pernah penulis
ungkap dalam beberapa kesempatan, misalnya, penulis pernah mendokumentasi –
publikkan kalimat berikut :
Ayah saya seorang Kyai, adalah pelaku poligami. Kakak saya seorang Kyai, adalah pelaku poligami. Guru saya seorang Kyai, adalah pelaku poligami. Dosen saya seorang Profesor Kyai, adalah pelaku poligami. Dan saya sendiri, adalah disapa Kyai oleh orang-orang kampung saya, adalah penentang dan
bahkan mengharamkan poligami.
Kalimat di atas ada kata-kata
“ayah saya”. Yang disebut Kyai. Dalam kesempatan ini, penulis tidak bermaksud untuk ngata-ngatain
sang ayah yang berperan besar mendatangkan penulis ke dunia. Hanya saja untuk
konteks ini, secara objektif penulis katakan bahwa almarhum (meninggal saat
usia penulis masih 6 tahun) memunyai kelemahan-kelemahan karena berpoligami (ibu penulis sebagai istri muda). Bentuk kelemahan
yang mungkin terbesar bagi penulis, yaitu kenapa penulis dilahirkan dari hasil
pernikahan ibu penulis? Coba penulis dilahirkan bukan dari beliau, mungkin
penulis mendukung poligami. Tapi nyatanya tidak, penulis menentang dan
mengharamkan poligami. Menurut logika masyarakat awam, pasti penulis
ditudingnya sebagai anak haram atau anak durhaka. Tapi biarlah kalaupun tudingan ini
ada penulis toh hanya ingin menunjukkan ada kasus yang ketepatan keluarga penulis sendiri. Di
samping ingin supaya ibunda penulis merasa bahagia, walau nyatanya tampak
kurang/tidak, beliau (kini sudah almarhumah setelah penulis sarjana dan telah menghadiahkan
3 orang cucu) ditinggal selama-lamanya dalam kondisi yang dhu’afa dalam satu sisi, dalam arti kendati ada harta
pusaka yang ditinggalkan almarhum ayahanda penulis, tetapi karena almarhumah
Ibunda kurang mampu memanagnya, maka akhirnya terkesan masih kurang untuk
membiayai menghidupi anak-anaknya, termasuk penulis. Semoga Allah Swt.. memaafkannya.
Kata-kata lainnya dari kalimat
di atas yaitu “kakak saya”. Ini pun penulis tidak bermaksud untuk mengungkap
aib keluarga. Kakak penulis yang sudah almarhum meninggalkan 2 (dua) orang
istri, sama dengan almarhum ayahnya (ayah penulis juga), yaitu tidak mewarisi
harta yang cukup, sedangkan anak-anaknya banyak (lebih dari dua), dan berhak
untuk mengenyam pendidikan yang baik dan berlanjut. Selanjutnya, yaitu
kata-kata “guru saya”. Terus terang guru penulis yang sebenarnya juga masih ada
hubungan keluarga dengan penulis, kini sudah almarhum, adalah pelaku poligami yang hidupnya pas-pasan dan meninggalkan anak
istri yang kini tidak jelas nasibnya. Kepada mereka ini, masih beruntung,
karena eyangnya berpoligami, punya banyak saudara yang dengan ikhlas membantu
mengurangi beban kelangsungan pendidikannya. Inilah satu-satunya keberentungan
(manfaat) poligami dalam sebuah keluarga besar.
Kasus kehidupan keluarga poligami, yang penulis awali dari keluarga penulis,
sesungguhnya – bukan karena keluarga penulis tidak mengerti soal agama, bukan
karena tidak mampu dari segi materi, almarhum ayah penulis, saat masih hidup
terbilang sebagai Kyai yang kaya, yang punya usaha transportasi berupa
andong, mesin giling padi, sekolah dan pesantren di samping juga punya banyak
tanah yang berlebih dan cukup bila dimanag secara apik. Tanpa penulis
sebutkan bagaimana nasib masing-masing kelauarga penulis (almarhum ayah
memunyai 21 orang anak, 7 orang anak dari istri tua dan 14 orang anak dari
istri muda dan penulis bagian dari yang 14 orang, sebagai anak yang ke-12, anak
yang ke-13 meninggal saat dilahirkan dan yang ke-14 yaitu Abd. Rohim Ghazali, alhamdulillah masih sehat sampai ditulisnya buku ini dan
insya Allah masih panjang umur, amin). Jadi, entahlah, rasanya
penulis merasa kurang perlu mengungkap tuntas urusan keluarga tertutama
kakak-kakak penulis yang rata-rata hidup berpoligami. Yang pasti, yang penulis rasakan, bahwa almarhum
ayahanda belum tuntas untuk menyelesaikan tugasnya sebagai seorang ayah yang
begitu banyak memunyai anak dari dua orang istrinya. Beruntung, Ibunda penulis
tergolong Nyai (istri Kyai) yang cukup mengerti sampai akhirnya alhamdulillah Ibunda telah menyelesaikan tugas
menyekolahkan anak-anaknya. Allahumagh firlahuma warhamhuma, amien.
Selain contoh keluarga penulis (yang
sesungguhnya insya-Allah bisa penulis atasi), yang sesungguhnya lebih trenyuh
lagi, yang sesungguhnya masih berlangsung, dan yang sesungguhnya tak perlu
terjadi lagi, yaitu kasus kehidupan keluarga poligami yang banyak dialami teman penulis, baik teman
laki-laki maupun teman perempuan. Teman laki-laki sebut saja namanya “Rudi”
(bukan nama asli), “Boni”, dan “Rodi”. Tiga orang teman penulis ini adalah
pelaku poligami dari golongan bawah. Yang pertama (Rudi), berprofesi
sebagai guru SD Negeri, mempunyai dua orang istri. Kenal saat penulis menjadi
calon anggota legislatif (caleg pada Pemilu 2004), dan sebelumnya penulis belum
tahu kalau ternyata dia punya dua orang istri, sebagai tim sukses penulis yang
pengakuannya punya banyak teman dan
nyatanya juga sebagai guru, maka penulis pun percaya tanpa ragu, walau
harus terus-menerus mengurangi saku.
Belakangan, setelah penulis
gagal meraih juara mayoritas, penulis baru mengetahui kalau transport yang
sering penulis gelontorkan untuk dan melalui dia diselewengkan untuk menghidupi
kedua istri dan anak-anaknya. Penulis tidak kecewa, tetapi hanya memaklumi dan
terdorong untuk lebih intensif memperhatikan kehidupannya, sampai pada
kesimpulan, bahwa pak Rudi, sang Guru SD Negeri itu adalah suka berbohong,
bukan saja kepada para temannya, tetap yang paling parah adalah membohongi
istri-istrinya, yang masih punya dua orang anak yang masih balita.
Teman kedua, Boni (juga bukan
nama aslinya), berprofesi sebagai sales obat dan kosmetika, hingga penulis
tertarik untuk ikut menawar-nawarkan obat dan kosmetik. Boni penulis kenal saat
masih sama-sama satu kos-kosan. Penulis saat itu masih kuliah di IKIP Muhammadiyah (kini UHAMKA) Jakarta, sedangkan Boni sudah bekerja sebagai sales
obat-obatan ternama yang sukses, ke mana-mana dia sudah bawa citroen (mobil
sedan mini gaya dulu). Pernikahan pertamanya dengan Siti, penulis ikut datang
menyaksikannya di Bekasi. Lalu, tiga tahun berikutnya, dia bercerita telah menikah
lagi, dan tak lama kemudian dia datang menemui penulis dan teman-teman
se-kos-kosan dengan membawa istri keduanya dengan mobil espass, mobil keluaran
baru waktu itu.
Tahun 2004, saat musim kampanye,
penulis nyaleg tiba-tiba penulis teringat pada teman yang bernama Jawara obat
Boni ini. Boni orangnya baik, kenal baik pula, dia sudah sangat sukses
menjadi manajer produk obat. Saya cari dia ah, kali aja bisa bantu meminjamkan
dana untuk berkampanye, begitu kata penulis dalam hati. Seminggu berikutnya
penulis temukan nomor hand phonenya, langsung penulis hubungi dengan
mengungkapkan maksud mau minjam tadi.
Tidak usah bilang mau pinjam,
kalau saya ada pasti saya bantu, katanya
via telepon. Penulis sangat bergembira mendengar jawabannya, dan penulis pun berusaha
untuk mencari dan mendatangi alamat rumahnya dengan niat bersilaturahmi
politik, minta sumbangan.
Pak Boni yang mana, ya?
...... oh .... yang punya rumah ini dulu,
begitu jawaban penghuni rumah di Komplek Reni Jaya Ciputat. Penulis pun kaget,
lalu berupaya untuk tahu apa yang terjadi dan ternyata Boni kini hidup numpang
di rumah mertua pertamanya (istri pertamanya) di Bekasi. Rumah Boni yang
sedikit agak mewah telah dijualnya, mobil baru yang dimilikinya pun sudah
ditarik oleh dealer lantaran tak mampu lagi menyicil-lunasinya. Istri keduanya,
bernama Nunung, telah pergi untuk
selama-lamanya yakni meninggal dunia setelah habis-habisan dirawat lama banget
di Rumah Sakit Fatmawati. Penyakitnya tidak bisa disembuhkan, puluhan bahkan
ratusan juta sudah amblas, amblas pula nyawanya, dengan meninggalkan seorang
anak yang kini menginjak dewasa dan diboyong ke Bekasi untuk hidup bareng ibu
tiri yakni istri pertama Boni. Sampai saat ditulisnya buku ini, masih terngiang
beritanya, yaitu bermasalah terus-menerus dengan kedua anak dari istri
pertamanya. Kini, saudaraku Boni sudah tidak lagi berpoligami, dia hidup dengan istri pertamanya dan kabarnya
sedang bertobat sambil merasakan akibat dari hidup berpoligami. Semoga Allah Swt.. mengampuni dan memberinya jalan terbaik dalam
hidup bersama anak dan istri tuanya. Amien.
Kasus ketiga yaitu Rodi, yang
berprofesi sebagai ojek, yang proses pergaulan penulis dengannya, sama dengan
Rudi di atas, yaitu sebagai tim sukses. Namun bukan tim sukses penulis,
melainkan tim sukses istri penulis yang dalam Pemilu 2009 kemarin ikut jadi
caleg tapi senasib dengan penulis, suaminya yang jadi caleg pada pemilu 2004.
Nasib Rodi yang beristri 2 orang, adalah cerminan wajib bagi para pelaku poligami kelas bawah, tidak punya pekerjaan tetap tetapi
beristri 2 orang, yang keduanya sama-sama tidak punya pekerjaan tetap. Istri
yang pertama bekerja sebagai pelayan toko milik orangtuanya, sedangkan istri
kedua sebagai pembantu rumah tangga bagian cuci piring yang setiap hari harus
jigjag, pulang pergi jalan kaki.
Rodi, beristri dua, saat
dipercaya sebagai tim sukses, luar biasa liciknya. Pemilu baginya dibuat
sebagai ajang untuk membohongi semua Caleg yang dikenalnya. Rupanya di samping
sebagai tim sukses istri penulis, di luar pengetahuan penulis dia juga meloroti
kantong Caleg lain yang justru menjadi pesaing. Rupanya pula salah satu
istrinya pun demikian, telah didoktrin untuk merapat pada para Caleg.
Satu-satunya tingkah yang membuat penulis percaya, bahwa dia adalah teman
sekolah istri penulis, sedangkan istri penulis pun sudah sangat percaya kalau
dia akan membantu mendukung suara karena teman-teman ojeknya telah
mengangkatnya sebagai senior (koordinator) ojek di pangkalannya. Tanpa perlu
mengungkap bagaimana dan apa yang terjadi dalam kehidupan rumah tangganya,
penulis hanya berkesimpulan bahwa dia bukan suami yang dapat berbuat adil untuk
kedua istrinya.
Di samping contoh-contoh kasus
tersebut di atas, sesungguhnya masih sangat banyak kasus lain yang menunjukkan
ketidakharmonisan keluarga yang berpoligami. Andai kita
menyengaja ingin melakukan wawancara kepada mereka, berdasarkan
pengalaman penulis, kesannya kurang dapat dipercaya karena cenderung
menutup-nutupi kekurangan dan atau permasalahannya. Mereka menganggap bahwa aib
(rahasia) keluarga tidak boleh terungkap kepada publik. Dan karena itu kajian sosiologis ini sesungguhnya sangat diperlukan, tetapi
penekanannya bukan pada jumlah kasus (sampel), dan bukan pada penting atau
tidaknya mencari bukti melalui wawancara langsung dengan para pelaku, melainkan
bukti di lapangan yang diperoleh melalui pengamatan dan bersahabat langsung,
yang tentu saja membutuhkan ketelitian, kesabaran, dan kearifan sosial yang memadai.
Cara pengamatan langsung, sangat
mudah dilakukan kendati tidak diketahui oleh keluarga berpoligami yang bersangkutan. Dan inilah cara yang penulis
lakukan sebagaimana penulis sebutkan di atas. Kesengajaan melakukan survey – yang juga penulis sebutkan di atas – hanya
bersifat lokal sampling, yang tentu masih kurang, masih belum dapat
mewakili ribuan bahkan mungkin jutaan para pelaku poligami di Indonesia apalagi di dunia. Sedangkan
bersahabat langsung, juga dapat dikatakan lebih mudah untuk menemukan tambahan
argumentasi pengharaman poligami. Pengungkapan pengamatan dan perkawanan langsung
dengan Rudi, Boni dan Rodi di atas pun sebenarnya memang bukan mewakili para
pelaku poligami di Indonesia, sama dengan kesengajaan melakukan survey dan wawancara – dalam arti – sekali lagi – sama-sama
belum mewakili seluruh pelaku poligami di negeri ini.
Sebagai tambahan hasil
pengamatan fenomenologis, atau sosiologi, yang memperkuat pengharaman poligami perlu penulis ungkapkan pula bahwa ketika penulis
harus berkali-kali memposisikan diri sebagai anggota masyarakat kelas bawah,
seringkali terlibat ngobrol ngalor-ngidul dengan tukang becak, tukang ojek,
pedagang sayur gendong, pedagang asongan dan beberapa anggota masyarakat kelas
bawah lainnya. Pergaulan penulis dengan mereka yang sungguh sering terjadi
secara sengaja atau tidak sengaja, banyak sekali pengetahuan dari mereka yang
dapat dijadikan sebagai pengetahuan praktis yang sangat berguna untuk penguatan
argumentasi seputar pengetahuan poligami. Hal ini penulis yakini karena memang– sebagaimana
disebutkan di atas bahwa masyarakat golongan ekonomi kelas bawah banyak sekali
yang mempraktekkan poligami. Alasan tunggal yang mereka pegang yaitu karena
hukum berpoligami adalah halal dan bahkan sunnah. Mereka mengetahui kesunnahan poligami ini tidak lain karena Rasulullah Saw. sendiri
telah berpoligami, ditambah dengan banyaknya tokoh agama atau Kyai yang mempraktekkan poligami.
Fatwa halal atau sunnah melakukan poligami ternyata memang merupakan satu-satunya alasan bagi
masyarakat awam untuk ikut-ikutan berpoligami. Masalah persyaratan “adil” yang harus dipunyai
oleh para pelaku poligami bukan lagi merupakan suatu hal yang perlu
dipenuhi. Adil dalam persepsi mereka sangat gampang, tidak repot, yaitu akan
dapat dilaksanakan jika poligami sudah dilakukan. Bagaimana bisa disebut adil
kalau belum melaksanakan poligami?, tanya
mereka. Seseorang akan dapat merasakan atau mampu berbuat adil pada saat
dirinya sudah berpoligami, tambahnya.
Alasan ini, tampaknya merupakan alasan populer dari para pelaku poligami, dan ternyata alasan ini memang cukup rasional,
karena adil yang mereka pahami yaitu adil dari segi kwantitatif, yang bisa
dilihat dan diraba, dalam hal ini yaitu keadilan yang berhubungan dengan harta
yang dimiliki atau penghasilan atau gaji yang diperolehnya.
Dalam satu hari, penghasilan
bersih dari ngojek rata-rata Rp. 30.000,00/hari, lalu karena saya punya istri
dua, maka penghasilan itu saya bagi dua, sehingga masing-masing istri saya
mendapatkan bagian sebesar Rp. 15.000,00/hari. Ini kan adil namanya. Itulah salah satu alasan pelaku poligami dari golongan awam, Tuan Kodir namanya, dia tidak
merasa perlu berpikir mengenai cukup atau tidaknya uang yang diberikan kepada
masing-masing istrinya. Berapapun besarnya nilai uang yang diberikan, kalau
dilihat dari cukup atau tidaknya, pasti akan merasakan tidak cukup, kata
Tuan Kodir lagi. Jadi tampaknya tuan
Kodir beranggapan bahwa masalah cukup atau tidak, sudah dianggap di luar
konteks adil yang dipersyaratkan dalam berpoligami.
Pandangan Tuan Kodir tersebut,
ternyata merata di kalangan masyarakat awam, dan bahkan tidak hanya di kalangan
mereka tetapi hal tersebut itulah yang tampak justru mempersubur praktek poligami di semua kelas masyarakat. Walaupun persyaratan
adil selalu ditekankan oleh para penghulunya, tetapi memang tidak membuat
masyarakat menghindari poligami. Sebaliknya justru makin banyak dan sekaligus
makin menodai keadaan sosiologis.
E. Dampak Sosiologis dari Poligami
Segala aksi di dunia ini, baik
yang dinilai buruk, menjengkelkan, membosankan atau bahkan yang menyakiti,
semuanya itu pasti ada dampak positif dan negatifnya bagi masyarakat. Dalam hal poligami juga begitu, sudah tentu ada positif dan negatifnya juga. Dari segi sosiologis, dampak yang dimaksudkan yaitu seperti yang akan
penulis uraikan di bawah ini.
1. Dampak Positif
Secara sosiologis dampak positif dari poligami yang banyak disuarakan para pelaku dan pendukung poligami lebih bersifat retorik dan atau verbalistik, hanya permainan kata-kata manis dan puitis,
yang kurang realistis, karena sesungguhnya manfaat poligami dari segi sosiologi, ya, itu tadi, hanya bersifat verbalistik, dan ini memang sangat berguna untuk para
pelaku poligami itu sendiri. Kalaupun ada dampak positif yang fenomental, yang bukan verbal, itu secara sosiologis hanya ada pada seputar minoritas pelaku poligami, dan yang minoritas itu pun adalah mereka yang secara ekonomi berada pada
garis di atas menengah, yakni mereka yang bergelimang harta, segala hal yang
dihadapi selalu diselesaikannya dengan uang. Dengan cara ini, memang kemudian
tidak muncul ke permukaan aneka gelisah nurani yang diderita istri-istrinya
secara psikologis, rintihan pun tak terdengar. Inilah yang kemudian dinilai dengan
kesimpulan berpoligami itu indah.
Manfaat atau dampak positif yang verbalistik tersebut, yang kemudian menjadi kebanggaan dan
alasan sosiologis bagi para pelaku poligami, yaitu sebagai berikut : (1) Dengan banyak istri
akan memperbanyak jumlah kaum muslimin;[3]
(2) Bagi laki-laki, manfaat yang ada pada dirinya bisa dioptimalkan untuk
memperbanyak umat ini, dan tidak mungkin optimalisasi ini terlaksana jika hanya
memiliki satu istri saja[4];
(3) Untuk kebaikan wanita, karena sebagian wanita terhalang untuk menikah dan
jumlah laki-laki itu sedikit dibanding wanita, sehingga akan banyak wanita yang
tidak mendapatkan suami;[5]
(4) Dapat mengangkat kemuliaan wanita yang suaminya meninggal atau menceraikannya, dengan menikah lagi ada yang bertanggung jawab
terhadap kebutuhan dia dan anak-anaknya[6],
dan (5) Dapat lebih menundukkan pandangan dan menjaga kehormatan laki-laki dan
perempuan[7].
2. Dampak Negatif
Manfaat positif sebagaimana disebutkan di atas, tampaknya akan
sulit dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Misalnya banyak istri akan
memperbanyak jumlah kaum Muslimin. Padahal, belum tentu. Dalam beberapa kasus
orang yang berpoligami, bukan untuk menambah keturunan melainkan menambah
beban. Untuk zaman sekarang, bukan memperbanyak anak atau keturunan yang
diperlukan, melainkan peningkatan kualitas umat. Lagi pula, di samping menambah
beban, juga tidak jarang orang yang berpoligami hanya karena dorongan nafsu, bukan karena ingin
menambah keturunan; yang terjadi sebaliknya justru banyak orang yang berpoligami merasa enggan memunyai anak lagi. Jika istri
pertama sudah memunyai 3 (tiga) orang anak atau lebih, maka jika berlangsungnya
poligami pada saat demikian, sang suami tidak lagi
berkehendak untuk memunyai istri baru supaya dapat menambah anak. Menambah
istri sudah beban, apalagi istrinya disuruh beranak lagi, maka beban pun akan
bertambah.
Begitu juga mengenai manfaat
yang diduga akan mengangkat kemuliaan perempuan. Apanya yang dimuliakan jika poligami itu sendiri sudah masuk kategori membebani?
Seorang perempuan (istri) akan merasa dimuliakan jika dia terus dicintai tanpa
dimadu dan termadu. Tidak ada ceritanya seorang istri merasa dimuliakan
dengan dimadu. Tidak ada ceritanya seorang janda merasa dimuliakan lantaran diperistri seorang lelaki
yang sudah beristri. Sedangkan manmfaat yang berkaitan dengan akan dapat lebih
menundukkan pandangan dan menjaga kehormatan laki-laki, maka penulis sebagai
seorang laki-laki rasanya merasa terhinakan kalau sudah beristri lalu masih
tertarik pada perempuan lain. Lelaki yang beristri dua, tiga atau empat, apanya
yang dimuliakan? Jika memang itu merasa mulia lantaran bisa menikah lagi, maka
perasaan itu jelas-jelas berbau nafsu seks yang seharusnya bisa dicedah karena
sudah punya istri. Bayangkan, para pemuda lajang saja, jika mereka belum mampu
menikah, dianjurkan untuk berpuasa, bukan memaksakan diri menikah, itu yang
lajang. Logikanya, kalau orang itu sudah punya istri kemudian nafsunya
bergolak? Sungguh sangat nista; yang masih bujangan saja suruh berpuasa. Lalu
kenapa yang sudah beristri masih memaksakan diri untuk berselingkuh (berpoligami)? Malu dong sama pemuda-pemuda lajang; mereka bisa
menahan nafsu dengan berpuasa, kenapa yang sudah beristri tidak bisa sampai
kemudian merasa perlu menikah lagi?
Nah, dari gambaran di atas,
hal-hal yang dinilai bermanfaat bagi pelaku poligami, kenyataannya di lapangan justru berbalik. Secara sosiologis, hampir pasti tidak akan ditemukan lagi manfaat
berpoligami, dan sebaliknya justru dampak poligami sangat banyak dan sangat runyam, menggelisahkan
banyak pihak. Para sosiolog bilang bahwa dampak poligami benar-benar sudah menjadi penyakit masyarakat yang
sangat kronis, yang sudah tidak ada obatnya bila tidak dihentikan dari akar
permasalahannya. Sedangkan akar permasalahan poligami yaitu karena adanya penetapan “boleh” yang
kemudian menjadi sunnah. Dengan kata lain, dapat diyakini, bahwa gara-gara poligami ditetapkan sunnah oleh para pemuka agama (Islam) tempo dulu, akhirnya hampir semua suami punya
keinginan dan bahkan melaksanakan poligami. Persyaratan “adil” yang menyertai penetapan “sunnah” menjadi diabaikan dan bahkan dianggap tidak perlu
lagi.
Banyak kasus yang mencuat dari
dan dalam rumah tangga mereka yang berpoligami. Dalam pemberitaan sehari-hari sekarang, ada
seorang istri membunuh suaminya karena ketahuan mempunyai istri simpanan (poligami), atau sebaliknya, istri simpanan membunuh istri
tua suaminya lantaran dianggap sebagai penghalang hadir dan kemesraannya dengan
suaminya. Atau ada juga berita seorang suami yang membunuh istri tuanya karena
dianggap rewel atau sebaliknya yaitu membunuh istri mudanya karena dianggap
rewel pula. Jadi bunuh-membunuh antara istri tua dan istri muda sudah sangat
sering dilansir oleh pemberitaan media massa, baik cetak maupun elektronik
(radio, TV, internet, dan sejenisnya).
Pembunuhuan, siapapun yang
dibunuh dan yang membunuh, yang sering terjadi (diberitakan pers) dalam rumah
tangga yang berpoligami, adalah fenomena sosiologis, gambaran masyarakat, yang menjadi salah satu
bukti bahwa secara sosiologis dampak-dampak saatnya menjadi pertimbangan para Ulama untuk mencabut fatwa halal atau sunnahnya berpoligami. Tanpa upaya pencabutan fatwa bolehnya berpoligami diprediksi bahwa masyarakat akan terus mempermudah
peluang untuk berpoligami, sedangkan dampak negatif pun akan terus-menerus terjadi.
Bunuh-membunuh, memang bisa saja
terjadi bukan karena yang bersangkutan dalam hidup berpoligami. Atau yang monogami pun bisa melakukannya. Jadi, ini bukan alasan
untuk melarang poligami. Nah, inilah yang mungkin dapat dijadikan alasan
bagi mereka yang mempertahankan kehalalan poligami. Namun yang perlu diketahui, bahwa dalam konteks
pengharaman poligami, bunuh-membunuh di atas hanya menjadi salah satu
kasus yang terjadi akibat poligami. Di luar sebab poligami, tidak ada hubungan kendati bisa saja terjadi,
karena memang yang namanya akibat bisa bermacam-macam dan penyebabnya pun bisa
berbeda-beda pula. Kasus bunuh-mumbunuh di atas, jelas-jelas ada kaitannya
dengan poligami keluarga yang bersangkutan.
Dampak negatif lain dari poligami, yang sering dan bahkan selalu terjadi, yaitu
pertengkaran antara suami dengan istri-istrinya. Dampak ini pun, kalau dilihat
dari realtasnya, dapat saja terjadi dalam rumah tangga monogami, tetapi juga tidak bisa dikaitkan dengan alasan
untuk membiarkan poligami terjadi. Pertengkaran dalam rumah tangga yang berpoligami, berbeda dengan pertengkaran yang terjadi dalam
keluarga monogami. Perbedaannya, terletak pada “sebab”, seperti
halnya kasus pembunuhan di atas. Bagi (dalam) keluarga yang berpoligami, pertengkaran yang terjadi intensitasnya lebih
sering terjadi dan penyelesaiannya menjadi lebih rumit karena harus melibatkan
atau yang terlibat istri-istrinya yang tentu mempunyai karakter yang berbeda
dan maunya memang sendiri-sendiri. Lagi pula, perselisihan atau pertengkaran
dalam rumah tangga monogami, sering kali dipicu oleh pihak suami yang diduga
telah atau ingin berpoligami, tetapi sebelum terjadi istrinya menolak atau
tidak mau dimadu, akhirnya terjadilah perselisihan, yang bisa saja
berujung pada perceraian. Kasus seperti ini sangat sering terjadi dan
biasanya justru terjadi di kalangan masyarakat menengah ke atas, yang dalam hal
ini pihak perempuan (istri) berarti lebih memilih menjadi janda dari pada dimadu.
Kalau sudah terjadi dan memang
sering terjadi perceraian karena istri tidak mau dimadu (menolak poligami), beda dampak negatif sosiologis berikutnya akan bermunculan. Jika istri yang
lebih memilih jadi janda tadi kurang memunyai kesiapan mental, atau termasuk
kategori perempuan dhu’afa, maka tidak tertutup kemungkinan perempuan tersebut
menjadi kehilangan kontrol keagamaannya, atau hilang rasa keimanannya sampai
akhirnya terjerembab ke dalam hal-hal yang sangat mengganggu keindahan sosiologis. Survey membuktikan, banyak di antara mereka yang terjun
berprofesi sebagai perempuan malam, perempuan penggoda suami orang, atau dalam
bahasa rendahnya yaitu menjadi perempuan pekerja seks.
Perempuan pekerja seks atau perempuan penggoda suami orang tersebut,
sebagai lanjutan dari dampak negatif poligami, secara sosiologis jelas merupakan penyakit masyarakat yang sangat
berbahaya. Mereka terjun ke dalam dunia hitam sebagai pelarian dan pelampiasan
rasa demdam pada kelakuan suami yang telah menceraikannya, atau bisa juga sebagai dendam kepada sesama
kaum perempuan sendiri yang dinilainya telah merebut suaminya. Bisa diprediksi,
dia sebenarnya sangat menginginkan hidup damai sentosa dengan suami, karena ada
perempuan lain yang menggoda suaminya sampai terjadi perceraian, maka akhirnya diapun merasa terpanggil untuk
menuntut balas, atau paling tidak dia ingin juga memunyai teman yang senasib,
yang sama-sama menjadi janda dengan sebab yang sama pula. Dengan sebisa mungkin,
akhirnya profesi sebagai perempuan penghibur pun terpaksa dia lakukan juga. Dan
memang, banyak sekali perempuan penghibur yang berstatus janda cerai, lantaran suaminya dulu berselingkuh bahkan
memperistri perempuan lain.
Dari uraian di atas dapat
diprediksi bahwa makin banyak suami yang berhajat berpoligami akan makin banyak janda cerai, akan banyak pula perempuan penghibur, yang pada
giliran berikutnya bermunculanlah segala jenis penyakit sosial, mulai dari yang paling berat, yaitu pembunuhan,
perkelahian, minum-minuman keras, perampokan, penjambretan, pencurian,
penodongan, kecelakaan dan sebagainya. Semua ini, sah akibat dari poligami. Walaupun jelas poligami bukan satu-satunya penyebab, tetapi poligami memunyai andil lahirnya berbagai jenis penyakit
masyarakat tersebut.
Dampak negatif yang juga nyata lahir akibat poligami, yaitu terjadi pada putra-putri pasangan poligami. Banyak sekali survey yang menyimpulkan bahwa kenakalan remaja, atau kenakalan
pelajar terjadi karena psiko remaja atau pelajar tersebut, terganggu oleh
keadaan rumah tangga orangtuanya yang berpoligami. Mereka tertekan, serba salah menghadapi
orangtuanya yang selalu ribut, cekcok dan bahkan berantam, pukul-memukul,
cakar-cakaran dan gaya tengkar lainnya. Anak-anak menjadi tidak betah tinggal
di rumah dan kemudian keluar mencari tempat dan perlindungan yang dianggap
nyaman dan menyenangkan sesuai dengan perkembangan jiwanya.
Dampak negatif lain yang terjadi pada anak-anak, yaitu terlahirnya
sikap dan rasa antipati bahkan membenci orangtuanya sendiri, kepada ibunya atau
kepada ayahnya. Survey menunjukkan ketidaksukaan anak-anak lebih banyak
kepada ayahnya yang dianggap tega menyakiti perasaan sang ibunda lantaran
ayahnya kawin lagi. Sang ayah di mata anak menjadi rendah atau dinilai tidak
berperasaan. Walaupun ibunya tidak pernah memengaruhi anaknya supaya membenci
tingkah laku ayahnya tetapi anak-anak tersebut mempunyai nurani yang berkembang
secara alami, sehingga kendati tanpa dipengaruhi pun perasaan atau hati tadi
akan muncul dengan sendirinya.
Jika anak-anak sudah termakan
rasa kurang menyukai ayahnya, tidak tertutup kemungkinan lahir pula dampak
berikutnya, yaitu mereka (anak-anak) mulai jarang pulang. Lalu curhat pada (dengan) tetangganya, atau dengan
teman-temannya atau mungkin dengan pacarnya (kalau dia punya pacar). Berikutnya
berita poligami yang dilakukan ayahnya menyebar, sang ibu yang
merasa kecewa bertambah rasa kekecewaannya, rasa malu menjadi istri yang dimadu muncul dalam hatinya. Dapat dibayangkan betapa
gersangnya suasana rumah tangga tersebut, yang sangat longgar memberi peluang
untuk selalu berselisih, beradu mulut atau cekcok, yang mungkin akan
berujung pada munculnya simpati tetangga pada sang istri, atau malah sebaliknya
yaitu tetangga pun jadi ikut-ikutan membenci.
Andai tetangga sudah ikut
terlibat menaruh rasa benci, kegersangan rumah tangga akan kian menyerupai
neraka. Walau kita tidak tahu bagaimana tuh rasanya neraka, namun dari
cerita-cerita para Ulama bahwa neraka adalah sebuah balasan yang amat pedih
berupa siksaan. Rumah tangga poligami yang gersang, para tetangga pun ikut merasakan,
atau ikut membenci pula. Jelas, takkan ada rasa tenteram, damai dan ketenangan,
apalagi perlindungan.
F. Poligami dalam Survey
Survey lapangan adalah
syarat mutlak sebuah kajian sosiologis. Untuk kasus poligami, terutama yang dilakukan oleh masyarakat
kelas bawah, atau masyarakat awam, tidak
ada kesulitan, termasuk melakukan wawancara, penulis di samping juga telah
melakukan survey secara metodik, sering juga melakukan survey dengan metode wawancara gaya baru, yaitu dengan
ngobrol biasa dengan para pelaku poligami. Hasilnya sangat memuaskan, hampir segala hal yang
terkait dengan kehidupan berpoligaminya terungkap tanpa terasa, dan apa yang penulis
kemukakan di atas mengenai gambaran kehidupan berpoligami di beberapa kelas masyarakat, pada dasarnya juga
merupakan analisis dari hasil survey non-formal atau survey yang tidak direncanakan dengan segala bentuk dan
metode yang penulis lakukan.
Sedangkan survey-survey formal (terencana) yang penulis lakukan, yaitu
pertama, pada tahun-tahun di mana penulis saat itu berkantor di Masjid
Istiqlal, bertetangga dengan BP4. Antara tahun 1989-1995, atau kurang lebih 6
(enam) tahun, penulis terus memantau mereka yang datang untuk berkonsultasi
masalah keluarga. Sepanjang tahun-tahun tersebut hasil pemantauan yang
sekali-kali bahkan berkali-kali disertai ikut nimbrung – berkesimpulan bahwa problem
rumah tangga masyarakat kota yang paling mendominasi yaitu kasus adanya orang
ketiga, yang dalam bahasa sekarang PIL (perempuan/pria idaman lain). Dan, yang menarik justru
pasien, katakan begitu, yang datang berkonsultasi adalah justru kaum suami yang
intinya meminta petunjuk berpoligami, pasien ibu-ibu (para istri), yang dikonsultasikan
pun sama, meminta petunjuk bagaimana menyikapi suami yang sedang main mata
dengan perempuan lain, atau sedang berencana poligami.
Kemudian pada tahun 1994,
penulis bersama tim melakukan penelitian lapangan dengan menyebar angket kepada
para perempuan yang hidupnya berseliweran di malam hari di sekitar rel kereta
api di Tanah Abang Jakarta Pusat, dan di lokasi Keramat Tunggak Jakarta Utara
(yang kini sudah dibangun menjadi sebuah kompleks Islamic Centre). Penelitian ini sebenarnya tidak ada
kaitannya dengan proyek penulisan buku tentang pengharaman poligami, tetapi proyek dari dan bersama seseorang yang sedang
menyelesaikan disertasi program Doktor bidang sosial di sebuah universitas negeri bergengsi di Jakarta.
Penyebaran angket dalam rangka mencari solusi pengentasan mereka dari kebiasaan keluyuran malam.
Pertanyaan dalam angket seputar status pernikahan, keluarga, asal, usia,
pendidikan akhir, keterampilan yang dimiliki, cita-cita atau keinginan yang
sedang dan akan dicapai, dan lain-lain yang semuanya terdiri dari 20 (dua
puluh) pertanyaan dan jawaban yang tersedia (memilih). Jumlah angket 400
lembar, diedarkan di dua lokasi tersebut di atas, tentu dengan bantuan dan
kongkalikong bersama bos (mucikari) setempat yang tentunya tidak segampang yang
penulis bayangkan sebelumnya. Dalam waktu satu minggu, 400 lembar angket
tersebut terkumpul kembali dan Alhamdulillah sangat memuaskan, 372 lembar terisi dan hanya
8 lembar yang blank, tak terisi.
Dari 372 lembar angket yang
terisi, hasil rekapnya menunjukkan, yaitu 63% atau sekitar 207 lembar diisi
oleh janda, terdiri dari 172 orang janda cerai dan 35 orang janda tak jelas (tidak dicerai tapi ditinggal begitu saja oleh suaminya). 24% atau 106 orang bersuami/dimadu/termadu, dan 13% atau 59 orang masih lajang. Yang menarik 63% janda tersebut, penyebab yang paling mendominasi yaitu
karena dicerai paksa atau ditinggal begitu saja oleh suaminya yang
menemukan atau mengawini perempuan lain yang dipandang lebih dari dirinya. Yang
24% adalah bersuami tetapi berstatus istri kedua dan atau istri simpanan. 13%
yang lajang tersebut, adalah korban dari berbagai sebab, seperti korban PHK,
korban pemerkosaan, korban brokenhome, putus cinta, dan sebagainya, serta
semuanya berharap ada yang menikahi secara sah kendati harus menjadi istri
kedua, ketiga atau keempat.
Yang juga menarik, bahwa dari
total responden yang masuk (372 orang) tersebut yaitu bila dilihat pada aspek
(segi) pendidikan dan keterampilan. Pendidikan mereka paling tinggi yaitu tidak
lulus (tidak lanjut) ke jenjang perguruan tinggi. Secara umum, 55% hanya tamat
SMP, 32% tamat SMA, 9% tamat SD dan 4 persen pernah kuliah.
Empat tahun berikutnya, yaitu
pada tahun 1998, survey penulis lakukan kembali, bersamaan dengan rencana
kegiatan Nikah Massal dan Khitanan Massal, atas nama (dan ketika itu penulis
sebagai Ketua Dewan Pimpinan Cabang) Partai Amanat Nasional (PAN) Kecamatan
Setiabudi Jakarta Selatan. Terdata melebihi target, yaitu 211 pasang (dari
target 150 pasang) yang akan ikut pernikahan massal, dan dari jumlah itu, ada
sekitar 150 pasang lebih yang berstatus janda dan secara jujur mengaku telah hidup sekamar tidur
tanpa nikah dengan pasangannya. Mereka (yang janda) ini, hampir pasti kesemuanya merupakan korban
penghalalan poligami. Pasalnya, para mantan suami mereka pada mulanya
mengaku mampu memenuhi syarat poligami yang ditentukan para Ulama yang menghalalkannya, tetapi kemudian di tengah jalan
pernikahannya (poligaminya) berantakan dan akhirnya dicerai atau menuntut cerai. Yang menuntut minta cerai, survey acak membuktikan yaitu hampir 100% sebagai perempuan
yang mandiri dan berpendidikan cukup, sedangkan yang dicerai paksa, survey membuktikan pula yaitu mayoritas mereka yang
kemudian menyimpan rasa dendam sesama dan kemudian beralih berprofesi menjadi
penggoda suami orang sampai akhirnya selalu tidur sekamar dan pada giliran
berikutnya ada yang ikut kegiatan Nikah Massal.
Masih dalam dan pada tahun yang
sama (1998), bersamaan dengan proses penyelesaian administrasi peserta
pernikahan massal tersebut, dengan menyengaja penulis mencari data perceraian yang terjadi di KUA kecamatan se-Jakarta Selatan
dan se-Kabupaten dan Kota Tangerang yang seluruhnya pada tahun tersebut ada 80
kasus yang sudah diproses cerai oleh pengadilan agama. Dari 80 kasus, 78 % adalah
karena perselingkuhan. Baik perselingkuhan ringan, perselingkuhan sedang dan
perselingkuhan berat.
Perselingkuhan ringan, yaitu
karena sang istri atau sang suami mengantongi bukti-bukti penyebab
ketidakharmonisan dalam berumah tangga karena ada jalinan rasa cinta dengan
orang ketiga. Perselingkuhan sedang, yaitu dimaknakan sebagai penyelewangan
cinta yang sudah terbukti “ketahuan” berduaan dengan perempuan/lelaki lain.
Perselingkuhan berat, yaitu perselingkuhan yang sesungguhnya, yang terbukti
telah berbuat zina, dan termasuk perselingkuhan berat, yaitu sang suami telah
menikah secara sirri (poligami diam-diam), sedangkan sang istri tidak mengizinkan
dan karena sudah terjadi akhirnya memilih lebih baik dicerai atau menggugat minta cerai.
G. Poligami Bukan Solusi Sosial
Tragedi peperangan, mulai dari sejak zaman Nabi, zaman sahabat, zabat tabi’in dan tabiut’tabi’in, atau
sejak zaman dinasti Mu’awiyah, Abasyiyah sampai pada perang dunia pertama,
kedua dan perang-perang di era moderen, dari segi sosial-antropologis,
memang sangat memengaruhi populasi atau jumlah penduduk dunia. Karena
dalam tragedi tersebut lebih banyak melibatkan kaum lelaki, maka kemudian
muncullah asumsi bahwa jumlah penduduk dunia mayoritas adalah kaum perempuan.
Di Indonesia yang usai merdeka tidak pernah perang, walau terjadi juga bentrok
lokal dan tragedi PKI di mana-mana, yang melibatkan laki atau perempuan, tetapi
karena Indonesia bagian dari dunia, maka akhirnya ada juga asumsi bahwa
penduduk Indonesia pun lebih banyak kaum perempuan daripada kaum lelaki.
Menyikapi populasi penduduk yang memang cenderung tidak
berimbang tersebut, memang agak rasional kalau kemudian poligami dianggap sebagai solusi untuk menanggulanginya. Namun, solusi demikian lebih kental kesan negatifnya bagi kaum
perempuan daripada alternative lain. Pasalnya, kaum perempuan secara tidak
langsung menjadi tertuduh, yaitu sebagai kaum yang lahir untuk memenuhi
kebutuhan seks kaum lelaki. Selisih jumlah yang sesungguhnya bersifat relatif,
fluktuatif, seolah dipatenkan selalu demikian (selisih), sehingga kaum
perempuan selalu pula dianggap sebagai kaum yang – jika tidak dimadu dan termadu – tidak akan pernah menikmati indahnya hidup bersama
suami. Anggapan yang sesungguhnya sangat negatif ini diperparah pula dengan adanya anggapan seolah
dengan sebab itu kemudian banyak perempuan yang alih profesi, dari yang
seharusnya sebagai istri menjadi penghibur suami orang yang berkeliaran di
jalanan atau di tempat-tempat hiburan. Hal demikian, sungguh sangat menyakiti
perasaan kolektif kaum perempuan.
Ada Hadits Nabi yang menurut hemat penulis masuk kategori Hadits lemah[8],
yang mengisyaratkan kaum perempuan lebih banyak daripada kaum lelaki. Hadits yang tampaknya menjadi salah satu alasan perlunya
mereka (kaum perempuan) dimadu dan termadu ini, kebenaran matannya sangat diragukan. Pasalnya,
perselisihan jumlah penduduk lelaki dengan perempuan, sungguh tidak dapat
dijadikan alasan penguat perlunya berpoligami. Ya, karena sesungguhnya sensus penduduk yang
demikian, umumnya untuk konsumsi politik, baik politik ekonomi, politik
kependudukan ataupun politik kepartaian. Sebagai konsumsi politik, maka dapat
saja diduga bahwa dengan ditetapkannya kaum perempuan lebih banyak, berarti ada
peluang bagi partai politik untuk mengkampanyekan pentingnya kaum perempuan
untuk dilibatkan dalam segala proses politik untuk tujuan politik pula.
Selisih jumlah penduduk, kalaupun terjadi, dapat
dipastikan tidak memengaruhi atau tidak ada kaitan dengan pembolehan berpoligami dan sebaliknya justru amat dekat dengan
pengharaman poligami secara teologis. Pasalnya, di samping alasan di atas, juga karena
perbedaan itu kalaupun terjadi dapat diprediksi terletak pada perbedaan usia
yang tentu saja berhubungan dengan usia nikah. Misalnya di sebuah Kabupaten atau Kota, jumlah
penduduknya selisih 400 jiwa; 2000 perempuan 1600 laki-laki. Maka, angka 400
jiwa tersebut bisa jadi mereka (perempuan) yang sudah uzur (usia lanjut) atau
malah usia anak-anak yang belum masuk usia nikah. Atau, gampangnya begini : dalam sebuah keluarga
terdapat 10 (sepuluh) orang anggota keluarga, terdiri dari 6 (enam) orang
perempuan dan 4 (empat) orang laki-laki, yang berarti perempuan lebih banyak
daripada laki-lakinya, yaitu selisih 2 (dua) orang.[9]
Nah, dua orang perempuan yang tidak mendapat pasangan, katakanlah tidak
bersuami, kemungkinan besar sudah nenek-nenek yang berarti sudah kenyang
menjadi istri (janda tua yang sudah waqaf, berhenti dan tidak membutuhkan
suami lagi), atau mungkin juga masih anak-anak. Kalaupun kedua orang tadi
berusia nikah, maka bagiannya (jodohnya) ada di keluarga atau daerah lain yang jumlah
anggota keluarga atau warga masyarakatnya kebanyakan lelaki. Yang demikian,
justru menambah banyak arti (manfaat) pernikahannya, antara lain networking
untuk kepentingan perluasan persaudaraan. Jadi, jelas, selisih jumlah penduduk,
tidak bisa dijadikan alasan sosiologis untuk membolehkan poligami. Allah Swt.. berfirman:
$pkr'¯»t â¨$¨Z9$# (#qà)®?$# ãNä3/u Ï%©!$# /ä3s)n=s{ `ÏiB <§øÿ¯R ;oyÏnºur t,n=yzur $pk÷]ÏB $ygy_÷ry £]t/ur $uKåk÷]ÏB Zw%y`Í #ZÏWx. [ä!$|¡ÎSur 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# Ï%©!$# tbqä9uä!$|¡s? ¾ÏmÎ/ tP%tnöF{$#ur 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3øn=tæ $Y6Ï%u ÇÊÈ
Artinya :
Hai sekalian manusia,
bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu semua dari seorang diri,
dan darinya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang
banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling
meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu (Q.S. an-Nisa: 1).
Firman Allah Swt. ini, secara tegas dapat dijadikan alasan untuk
membantah kalkulasi penduduk yang dikabarkan tidak berimbang populasinya antara
jumlah laki-laki dengan jumlah perempuan. Ya, karena memang Allah Swt. menciptakan segala sesuatu di dunia ini,
termasuk menciptakan manusia yaitu dengan berpasangan dan berimbang.
Perkembangan laki-laki dan perempuan, digambarkan oleh ayat ini, yaitu sama
banyak atau berimbang. Begitu juga yang digambarkan dalam ayat (firman Allah) sebagai berikut :
`ÏBur Èe@à2 >äóÓx« $oYø)n=yz Èû÷üy`÷ry ÷/ä3ª=yès9 tbrã©.xs? ÇÍÒÈ
Artinya:
Dan segala sesuatu Kami
jadikan berpasang-pasangan, agar kamu sekalian berfikir. (Q.S. az-Dzariyat
ayat : 49)
z`»ysö6ß Ï%©!$# t,n=y{ ylºurøF{$# $yg¯=à2 $£JÏB àMÎ7/Yè? ÞÚöF{$# ô`ÏBur óOÎgÅ¡àÿRr& $£JÏBur w tbqßJn=ôèt
Artinya :
Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan segala sesuatu
berpasang-pasangan, baik tumbuh-tumbuhan maupun diri mereka sendiri dan lain-lain
yang tidak mereka ketahui. (Q.S. Yasin :
36)
Kedua ayat tersebut (Q.S. az-Dzariyat: 49 dan Q.S. Yasin
: 26), menegaskan bahwa apa pun yang diciptakan Allah di dunia ini yaitu dengan berpasang-pasangan.
Misalnya, ada langit ada bumi, ada siang ada malam, ada laki-laki ada
perempuan, dan lain-lain. Nah, kalau ada suami ya pasti ada istri, bukan ada
suami ada istri-istri. Di sini berarti sangat tidak mungkin ada perbedaan
(selisih yang sifatnya permanen) antara jumlah laki-laki dengan kaum perempuan.
Jika kita tidak meyakini yang demikian, secara teologis berarti salah, dan secara fikih berarti haram.
Kalau kemudian dalam realitasnya masih lebih banyak kaum
perempuan, sehingga ditengarai ada yang belum kebagian suami, lalu menjadi
buruh kasar, buruh halus, buruh kering, buruh basah, buruh darat, buruh laut,
buruh jalanan, buruh gedongan, dan buruh lainnya, termasuk buruh ranjang atau
buruh seks, maka itu sifatnya sementara. Perempuan yang belum mendapatkan
suami, mungkin karena ada yang salah, atau karena belum mendapatkan suami.
Kalau kemudian pada saat kosong (belum mendapatkan suami) menjadi agak liar,
misalnya menjadi buruh ranjang atau buruh seks, maka untuk mengatasinya bukan
dengan menjodohkan mereka dengan lelaki yang sudah beristri, tetapi jodohkan dengan yang belum memunyai istri (lajang). Allah Swt. berfirman:
(#qßsÅ3Rr&ur 4yJ»tF{$# óOä3ZÏB tûüÅsÎ=»¢Á9$#ur ô`ÏB ö/ä.Ï$t6Ïã öNà6ͬ!$tBÎ)ur 4 bÎ) (#qçRqä3t uä!#ts)èù ãNÎgÏYøóã ª!$# `ÏB ¾Ï&Î#ôÒsù 3 ª!$#ur ììźur ÒOÎ=tæ ÇÌËÈ
Artinya:
Dan nikahkanlah orang-orang yang sedirian di antara kamu, dan
orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan
hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (Q.S. an-Nuur: 32)
Satu hal yang perlu diketahui,
bahwa para perempuan yang nganggur (baca tak bersuami), ada survey yang membuktikan bahwa kebanyakan dari mereka adalah
para janda, yang dapat ditengarai sebagai korban (penghalalan) poligami. Ya, karena para suami mereka sebelumnya memandang
bahwa poligami sebagai hal yang boleh bahkan disunnahkan,
akhirnya cenderung untuk tidak memperdulikan perasaan istri yang di rumah dan
nekad menikah lagi (poligami), lalu giliran berikutnya berantem dan
kemudian bercerai, puncaknya menjadi “nganggur” lalu berprofesi sebagai
buruh seks (penzina). Untuk mengentaskannya, apakah para suami harus menikahi
mereka? Tidak. Solusinya, nikahkan dengan laki-laki lajang atau dengan duda yang sama-sama berpengalaman dalam berumah tangga.
Allah Swt.. berfirman:
ÎT#¨9$# w ßxÅ3Zt wÎ) ºpuÏR#y ÷rr& Zpx.Îô³ãB èpuÏR#¨9$#ur w !$ygßsÅ3Zt wÎ) Ab#y ÷rr& Ô8Îô³ãB 4 tPÌhãmur y7Ï9ºs n?tã tûüÏZÏB÷sßJø9$# ÇÌÈ
Artinya:
Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina,
atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini
melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian
itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin
(Q.S. an-Nuur: 3)
Bagi para suami, menikahi perempuan
nganggur atau perempuan buruh seks (penzina), maka menurut ayat tersebut
berarti suami (yang menikahinya) adalah berderajat sama, penzina juga. Dengan
kata lain, jika ada pendapat bahwa poligami adalah untuk mengurangi para janda yang terjerumus dalam dunia zina, itu artinya suami
yang berhasrat berpoligami menikahi mereka adalah sama, penzina juga. Karena
itu, jelas, berpoligami bukan solusi sosial melainkan justru menambah masalah, baik untuk
dirinya, untuk istri pertamanya, untuk istri barunya, untuk keluarganya
masing-masing dan untuk masyarakat serta bangsa secara keseluruhan.
Sekali lagi, bahwa para
perempuan buruh seks yang kebanyakan para janda korban poligami, diakui atau tidak dalam bahasa al-Qur’an disebut dengan suka berzina, artinya jika poligami diniatkan untuk menikahi mereka dengan alasan
sebagai solusi social atau membantu mereka supaya tidak berlama-lama berprofesi
sebagai perempuan gituan, maka suami yang menikahi mereka sama dengan
pezina juga. Mau dibilang begitu? Kalau mau ya silakan, berpoligamilah dengan menikahi para pezina itu. Apa ini yang
disebut poligami sebagai solusi sosial? Mungkin, yang mereka maksudkan bukan begitu
melainkan untuk mencegah jangan sampai para janda berbuat nekad menjual diri menjadi pezina. Kalau ini
yang dimaksudkan, juga tidak benar, karena ternyata para janda itu tadi – survey membuktikan – adalah justru korban penghalalan poligami; mulanya dia bersuami, karena suaminya serong lalu
menikahi perempuan lain (memadu/berpoligami), dia kemudian nggak betah menjadi istri
tua dan akhirnya menuntut cerai, dan jadilah dia janda korban poligami, yang jika keimanannya kurang terbina akan dendam
dan menjadi penggoda suami orang.
Jadi,
jelas sekali bahwa berpoligami bukanlah solusi sosial, karena memang landasan berpijak bagi bangunan sosial dalam rumah tangga adalah keimanan, seorang Muslim
idealnya menikah dengan Muslimah juga, atau minimal dengan orang-orang yang berakhlak baik. Bagi seorang suami (sudah beristri) kemudian
menikahi perempuan yang jarang dibelai (jablai) suami (karena memang belum
punya atau pernah punya/janda), yang berprofesi sebagai buruh seks (we-te-es), yang
berarti suka berzina, apapun alasannya, berarti suami tersebut memang, maaf, hampir sama dengan profesi perempuan yang
dinikahinya. Dengan penegasan lain,
bahwa berpoligami sungguh bukan solusi, melainkan kontra-solusi atau sebuah problem yang laten, yang memerlukan solusi juga; salah satunya, haramkan poligami. Ini baru solusi. Ya, karena, itu tadi. Poligami adalah masalah, apalagi dengan para perempuan janda yang berstatus buruh ranjang. Solusinya,
seperti disebutkan di atas, yaitu Allah Swt. berfirman yang artinya: Dan nikahkanlah
orang-orang yang sendirian atau lajang; duda atau janda (Q.S. an-Nuur:
32). Tegasnya, Allah Swt. tidak pernah memerintahkan menikah kepada
laki-laki yang sudah (sedang) beristri. [*]
[1] Bandingkan dengan Robert H
Lauer, Perspective on Sosial Change. (alih bahasa : Mandan. Perspektif tentang Perubahan Sosial), Ardi
Maha Sasya, Jakarta, 2003, hlm. 4
[2] Bandingkan dengan Selo
Sumarjan, Masyarakat dan Manusia
dalam Pembangunan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993, hlm. 25
[3] Manfaat demikian, untuk saat ini sudah
tidak diperlukan. Sebab, peningkatan umat Islam yang sangat diperlukan adalah
peningkatan kualitas, bukan peningkatan kuantitas.
[4] Alasan ini mengada-ada. Sama dengan
manfaat yang pertama. Kalau hanya untuk memperbanyak umat Islam, sudah tidak diperlukan optimalisasi
yang demikian.
[5] Manfaat demikian, sangat merendahkan
derajat kaum perempuan. Lagi pula, alasan populasi perempuan lebih banyak dari
laki-laki, sifatnya lebih kondisional dan situasional. Pada masa Fir’aun,
setiap ada kelahiran bayi laki-laki diputuskan untuk dibunuh atau dikubur
hidup-hidup, akibatnya jumlah lelaki sedikit. Pada masa Rasulullah Saw dulu, memang
umat Islam masih sangat sedikit dan sering
terjadi peperangan yang menyebabkan banyak istri yang ditinggal suaminya yang
gugur di medan perang. Sekarang tidak lagi demikian. Secara tegas Allah menciptakan laki-laki dan perempuan,
sama-sama banyak, hal ini tergambar dalam Q.S. an-Nisa ayat 1, atau diciptakan
secara berimbang (seimbang) seperti yang disinyalir dalam Q.S. asy-Syura: 17,
Q.S. az-Dzariyat: 49, dan Q.S. Yasin: 36, dan ayat-ayat lainnya.
[6] Kemuliaan yang demikian, tidak
akan terjadi jika dinikahi oleh lelaki yang sudah menjadi suami orang. Para janda yang mau dimadu, atau bersedia dinikahi lelaki yang
sudah beristri justru secara sosiologis sangat direndahkan, dan oleh
sesama kaumnya pun malah dituding mengganggu rumah tangga orang lain.
[7] Ini memang merupakan salah
satu manfaat dari pernikahan, tetapi ini bukan manfaat dari poligami. Pasalnya, karena adanya fatwa kebolehan poligami, kaum lelaki akhirnya merasa
leluasa larak-lirik mencari mangsa yang mau dinikahi atau dimadu.
[8] Hadits yang dimaksud yaitu
berupa catatan sejarah, dan dikatakan lemah karena menurut para ahli Hadits tidak termasuk hadits ahkam, yakni tidak termasuk hadits yang dapat dijadikan sumber hukum
dalam hal ini membolehkan poligami. Padahal, dilihat dari segi
konteks, bahwa hadits tersebut tidak lepas dari kondisi
masyarakat Islam kala itu yang telah melakukan perang
melawan kaum musyrik, yang dalam tarikh disebut perang uhud, di mana pasukan
Muslim yang langsung dipimpin oleh Rasulullah Saw mengalami kekalahan. Para
Sahabat Nabi Saw banyak yang gugur menjadi
syuhada, dan sekaligus meninggalkan istri dan anak-anaknya. Dengan kata lain,
bahwa pada saat itu, jelas, banyak istri kehilangan suaminya. Padahal
sesungguhnya, kejadian demikian hanya bersifat temporer. Kajian tentang ini, dapat dilihat antara lain
dalam : Badriyah Fayumi, Perempuan dalam Fiqh Munakahat, dalam Wacana Fiqh Perempuan dalam Perspektif Muhammadiyah, MTPPI dan UHAMKA, Jakarta, cet.I, 2005, hlm.
128-130.
[9] Sensus penduduk tahun 2000
menunjukkan untuk usia 25 – 29 tahun, 30 – 34 tahun, 45 – 49 tahun, jumlah
laki-laki lebih banyak daripada jumlah perempuan. Ini menunjukkan bahwa
argument statistik untuk membolehkan poligami sama sekali tidak berdasar. Di
samping faktanya menunjukkan selalu berubah, juga karena bertentangan dengan
ayat-ayat al-Qur’an yang banyak mengungkap mengenai
penciptaan makhluk yang senantiasa berpasangan, seperti tertera dalam Q.S.
an-Nahl: 72, Q.S. ar-Ruum: 21, Q.S. ad-Dzariyat: 49, Q.S. Yaasin: 36, dan masih
ada yang lainnya.
Komentar
Posting Komentar