GELIAT PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH DALAM MEMAJUKAN UMAT DAN BANGSA
Geliat Pendidikan Muhammadiyah dalam:
GERAKAN
PENCERAHAN UNTUK INDONESIA BERKEMAJUAN
Oleh : Noor Chozin Agham
Setahun
sebelum K.H. Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah, tepatnya pada tanggal 1
Desember 1911, beliau telah mendirikan sekolah dasar dengan nama Kweek School Muhammadiyah. Kemudian pada
tanggal 18 November 1912, K.H. Ahmad Dahlan meneguhkan nama Muhammadiyah
sebagai nama yayasan yang mengelola Kweek School tersebut (H.S. Prodjokusumo:
1984: 15). Ini artinya, seperti dikatakan alm. H.S. Prodjokusumo dan dikuatkan
Prof. M. Yunan Yusuf (mantan Ketua Majelis Dikdasmen) bahwa K.H. Ahmad Dahlan, sebelum
mendirikan Muhammadiyah terlebih dahulu mendirikan sekolah (Kweekschool
Muhammadiyah) – (M.Yunan Yusuf: 1995: 2), yang berarti pula dapat dipahami
bahwa Muhammadiyah didirikan antara lain untuk memberikan pendidikan sekaligus mencerahkan pemikiran
dan gerakan anak bangsa di sekitar Yogyakarta yang kala itu hidup dalam kegelapan
lantaran cengkeraman kolonial.
Supaya
sekolah kweek tersebut tidak dinilai sebagai sekolah liar tetapi sebagai
sekolah yang sah, yang unggul, yang sederajat dengan sekolah negeri (pemerintah
kolonial), maka K.H. Ahmad Dahlan dengan dan lewat Muhammadiyah yang
didirikannya terus-menerus berusaha membenahinya. Banyak hal yang dilakukan
K.H. Ahmad Dahlan dalam dan untuk Muhammadiyah dan sekolah yang didirikannya. Menurut
telaahan alm. H.S. Prodjokusumo (mantan Ketua Mappendappu), sejak K.H. Ahmad
Dahlan, antara Muhammadiyah sebagai yayasan (organisasi) dengan sekolah yang
didirikannya tidak dapat dipisahkan. Muhammadiyah didirikan (antara lain) untuk
mengelola sekolah sesuai manajemen moderen, dan sekolah didirikan untuk
menerjemahkan dan melaksanakan maksud dan tujuan Muhammadiyah (H.S.
Prodjokusumo, 1984: 16).
Keterkaitan antara sekolah dengan maksud dan tujuan Muhammadiyah, tergambar
dalam 2 (dua) dokumen resmi sejarah perumusan tujuan Muhammadiyah, yaitu (1) rumusan
hasil Rapat Umum Anggota Muhammadiyah, 15 Juni 1914 di Yogyakarta, dan (2)
rumusan hasil Rapat Umum pada tahun 1920. Rumusan tahun 1914, tujuan Muhammadiyah
yaitu: a.Menjebarkan pengadjaran Igama Kandjeng Nabi Moehammad Shallallahoe
‘alaihi wasallam kepada pendoedoek Boemipoetera di dalam residensi Jogjajarta. b.
Memadjoekan hal Igama kepada anggauta-anggautanya) Sedangkan rumusan tahun
1920, ditingkatkan lagi menjadi: (1. Memajoekan dan menggembirakan pengadjaran dan peladjaran
Igama Islam di Hindia Nederland, dan 2. Memadjoekan
dan menggembirakan tjara kehidoepan sepandjang kemaoean Igama Islam kepada lid-lidnja/segala sekoetoe-sekoetoenja. Baik dalam rumusan pertama (1914)
maupun rumusan kedua (1920), sama-sama menekankan pentingnya pembelajaran untuk
pencerahan anak bangsa, jauh sebelum Indonesia merdeka.
Gerakan pendidikan sebagai gerakan pencerahan anak bangsa yang
diperankan oleh Muhammadiyah sejak sebelum Indonesia merdeka, dipimpin langsung
oleh K.H. Ahmad Dahlan. pendiri Muhammadiyah. Beliau memimpin selama 11 (sebelas) tahun, tepatnya
dari tahun 1912 s.d. 1923. Selama 11 tahun kepemimpinannya, Muhammadiyah sudah memiliki sekolah sebanyak 8 (delapan) jenis,
yaitu (1) Opleiding School Muhammadiyah di Magelang, (2) Kweeck School Muhammadiyah di Magelang dan Ponorogo; (3) Normaal
School Muhammadiyah di Blitar; (4) NBS Muhammadiyah di Bandung; (5) Algemeene Midelbare School (AMS) Muhammadiyah di Surabaya (6) Tablighschool (TS) Muhammadiyah di Yogyakarta; (7) Sekolah Guru Muhammadiyah di Kotagede; (8)
Hoogere Kweek School Muhammadiyah di Purworejo. Yang menarik, selama kepemimpinan K.H.
Ahmad Dahlan, kesewenangan kolonial hampir pasti tidak berpengaruh pada pendidikan Muhammadiyah. Pasalnya, seluruh sekolah Muhammadiyah yang ada telah terdaftar dan sesuai dengan prosedur
serta persyaratan yang dikehendaki kolonial.
Setahun setelah pemerintah kolonial memberlakukan undang-undang ordonansi sekolah (1923),
tepatnya pada tahun 1924, melalui Muktamar ke-13 di Yogyakarta, secara
struktural permasalahan pendidikan di bawah koordinasi Bagian Pemuda dengan
ketua H. Mohammad Hisyam, lima tahun kemudian, pada Muktamar ke-18 tahun 1929 di
Surabaya masalah
pendidikan dilepas dari Bagian Pemuda
dan berdiri sendiri menjadi Bagian Sekolah, dengan ketua tetap,
yaitu H. Mohammad Hisyam, yang kemudian pada tahun 1932 melalui Muktamar ke-22 di
Makassar tahun 1932 H.M. Hisyam terpilih sebagai Ketua PP Muhammadiyah. Kemudian setahun setelah K.H.M. Hisyam terpilih sebagai Ketua PP Muhammadiyah (dan setahun setelah undang-undang ordonansi sekolah
tahun 1923 dibatalkan pada tahun 1933) tepatnya melalui Muktamar ke-23 tahun
1934 di Yogyakarta, nama-nama sekolah Muhammadiyah diperbaharui atau dilakukan perubahan total. Mulai
tahun 1933 inilah nama sekolah yang menggunakan istilah Belanda (kolonial) tidak lagi digunakan, misalnya Kweekschool Moehammadijah, diganti
dengan nama Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah, Kweekschool Istri Moehammadijah, diganti dengan nama Madrasah Mu’allimat Muhammadiyah, dan seterusnya.
Pada tahun 1934, yakni tahun
perubahan nama-nama sekolah Muhammadiyah tersebut, adalah tahun di mana Muhammadiyah saat itu masih dipimpin oleh K.H. M. Hisyam. Perubahan itu jelas terkait dengan dibatalkannya ordonansi
kolonial yang sangat mengikat sekolah-sekolah swasta. Sekolah
swasta, terutama sekolah Muhammadiyah yang mulanya harus mengikuti apa kata kolonial, termasuk istilah untuk menamakannya, maka dengan
dicabutnya ordonansi memberi keleluasaan bagi Muhammadiyah untuk menyesuaikan nama sekolahnya dengan nama yang
lebih akrab dengan lisan masyarakat pribumi kala itu. K.H.M. Hisyam sebagai komandan Muhammadiyah, setelah perubahan nama-nama sekolah tadi segera
melakukan koordinasi dengan para pengelola sekolah. Langkah pertama yang
dilakukan, tentu menyesuaikan diri dengan sekolah-sekolah kolonial dari segi sistem dan termasuk kurikulumnya, sebagai konsekwensi dari keikutsertaan Muhammadiyah menolak ordonansi. Penataan sekolah-sekolah Muhammadiyah, menuai hasil, antara lain diterimanya kembali
subsidi dari pemerintah kolonial kepada sekolah-sekolah Muhammadiyah. Walau kebijakan “menerima subsidi” ini mendapat
penolakan dari kalangan muda Muhammadiyah yang menginginkan sikap revolusioner dalam menghadapi
kolonial, tetapi dengan penuh kearifan Pimpinan Pusat Muhammadiyah maka akhirnya sekolah-sekolah Muhammadiyah tetap berjalan dan bahkan makin menapak mantap
memandu zaman.
Pada tahun 1936 tampuk
pimpinan Muhammadiyah diamanatkan kepada K.H. Mas
Mansur hingga tahun 1942. Geliat dan atau perkembangan sekolah-sekolah Muhammadiyah semakin mapan di hati para pejuang kemerdekaan. Pada
tahun 1938, jumlah sekolah yang dimiliki Muhammadiyah sudah mencapai 881 buah
dengan jumlah siswa 60.182 orang, berbeda jauh dengan yang – pada tahun 1930-an
– dimiliki Taman Siswa, 56 buah (padahal kelahirannya ditetapkan sebagai Hardiknas)
dengan 6.500 murid (Suyatno, 2005: 4). Tidak heran jika kemajuan-kemajuan yang
terjadi pada masa kepemimpinan K.H.M. Hisyam, benar-benar dirasa-mantapkan pada masa kepemimpinan K.H. Mas
Mansur. Walau pada masa itu (1936-1942) situasi politik di Hindia Belanda dan
negara-negara jajahannya, termasuk di Indonesia, sedang mengalami kegelisahan
luar biasa lantaran pasukan Jepang sudah menginvasi ke wilayah Asia Timur yang
kemudian pada tahun 1942 itu pula para pasukan gagah berani kolonial harus menekuk lutut, tunduk, lalu kabur dari Indonesia. Ini
artinya, bahwa sekolah-sekolah Muhammadiyah pada masa kepemimpinan K.H. Mas
Mansur, tampak benar-benar sedang diuji-tangguh untuk menghadapi jajahan jilid
kedua yaitu Jepang.
Dalam konteks kependidikan Muhammadiyah, K.H. Mas
Mansur adalah tokoh pendidik yang nyaris
sempurna. Sebagai Ketua PP Muhammadiyah, beliau sekaligus juga sebagai kepala guru dan
Direktur Mu’allimin Muhammadiyah di Yogyakarta yang secara rutin mengajar filsafat
(logika atau mantik). Hanya saja, secara
umum pula permasalahan pendidikan pada masa kepemimpinan K.H. Mas
Mansur, terkesan tidak terkoordinasi; masing-masing sekolah berjalan
sendiri-sendiri; dan K.H. Mas Mansur pun tampak sangat aktif dalam dunia dakwah politik di
samping memimpin Mu’allimin Muhammadiyah. Satu hal yang perlu dicatat, pada periode Mas
Mansur inilah Bung Karno dibuang ke Endeh, lalu oleh PP Muhammadiyah (K.H. Mas
Mansur) diusulkan supaya dikembalikan ke Jawa, tetapi pemerintah kolonial menolaknya dan memindahkan Bung
Karno ke Bengkulu, dan di Bengkulu inilah Bung
Karno dipilih, dipercaya, dan bersedia menjadi Ketua Majelis Pengajaran Muhammadiyah Bengkulu.
Pada tahun 1942, tahun
permulaan cengkeraman kekuasaan Jepang di Indonesia setelah menekuk kekuatan kolonial Belanda, dan pada tahun itu pulalah K.H. Mas
Mansur menyerahkan tampuk Pimpinan Pusat Muhammadiyah kepada Ki Bagus Hadikusumo untuk masa bakti 1942-1953. Dan ternyata pula,
dalam periode Ki Bagus Hadikusumo pergolakan politik kian seru, dan Ki Bagus Hadikusumo pun sama dengan pendahulunya (K.H. Mas
Mansur), yaitu aktif sekali dalam kegiatan revolusi dan politik. Pada masa
kekuasaan Jepang yang dalam sejarah disebut masa penjajah jilid II ini, seluruh
ormas dan orpol dibekukan, kecuali yang mengubah tujuannya supaya turut
membela, memperbanyak, dan memperkuat posisi dan pendudukan Jepang di
Indonesia. Sekolah-sekolah Muhammadiyah diharuskan menggunakan bahasa Jepang sebagai bahasa
pengantar. Moral dan budaya Jepang, juga masuk mata pelajaran wajib. Begitu
pula apel bendera tiap pagi sebelum jam pelajaran dimulai, semuanya wajib apel
dan menghormat pada bendera Jepang. Keadaan demikian, membuat Muhammadiyah
akhirnya terpaksa menyesuaikan maksud dan tujuannya, menjadi: Sesuai dengan
kepercayaan untuk mendirikan kemakmuran bersama seluruh Asia Timur Raya di
bawah pimpinan Dai Nippon, dan memang
diperintahkan oleh Tuhan Allah, maka perkumpulan ini: (a) hendak menyiarkan agama Islam, serta melatihkan hidup yang selaras dengan tuntunannya; (b)
hendak melakukan pekerjaan kebaikan umum; (c) hendak memajukan pengetahuan dan
kepandaian serta budi pekerti yang baik kepada anggota-anggotanya.
Sampai pada saat
diproklamirkannya kemerdekaan Republik Indonesia oleh Ketua Majelis Pengajaran Muhammadiyah Bengkulu, Ir. Soekarno, 17 Agustus 1945, atau tiga tahun setelah Muhammadiyah dipimpin Ki Bagus Hadikusumo, perkembangan pendidikan Muhammadiyah hanya berjalan di tempat. Artinya, hampir tidak ada
perkembangan yang signifikan. Menurut pengamatan almarhum H.S. Prodjokusumo, bahwa pada zaman Jepang, sekolah-sekolah Muhammadiyah sesungguhnya tidak ditutup, tetapi tetap berjalan di
luar jam pelajaran. Hal ini dilakukan, menurut H.S. Prodjokusumo, yaitu untuk menghindari pelaksanaan apel pagi
yang mengharuskan seluruh pelajar Muhammadiyah menghormat kepada bendera Jepang. Dengan kata lain,
daripada para siswa sekolah-sekolah Muhammadiyah dipaksa untuk setiap pagi hari apel bendera
menghormati (bendera) Jepang, maka lebih baik sekolah diliburkan pada pagi
hari, dan seluruh sekolah Muhammadiyah masuk siang atau sore hari untuk menghindari apel
bendera pagi hari. Jadi, perkembangan sekolah-sekolah Muhammadiyah sebenarnya tetap stabil dan bahkan kian meningkat.
Terbukti, setelah Indonesia merdeka, kendatipun situasi politik masih belum
stabil, masih menyita waktu para tokoh Muhammadiyah di tingkat pusat, tetapi sampai tahun meletusnya
G-30-S/PKI (1965) sekolah-sekolah Muhammadiyah masih tetap eksis walau terkesan di beberapa daerah
berjalan sendiri-sendiri tanpa koordinasi langsung dari pusat.
Pada masa orde baru,
sekolah-sekolah Muhammadiyah semakin bergeliat ke seluruh negeri. Tak ada
wilayah provinsi yang tidak memiliki sekolah Muhammadiyah, kecuali di Wilayah
Timor Timur (Timtim) yang kemudian – (mungkin) gara-gara belum ada sekolah
Muhammadiyah? – akibatnya Timtim telah memisahkan diri dari NKRI dan menjadi
Timor Leste, Tegasnya, pada masa orde
baru pimpinan H.M. Soeharto (alumni SMP Muhammadiyah) ini sekolah-sekolah
Muhammadiyah yang lama diperbarui dan yang baru didiri-adakan di daerah-daerah
yang belum ada. Sampai kemudian di penghujung orde baru (tepatnya berdasar
laporan dalam Muktamar Muhammadiyah 1995), jumlah lembaga pendidikan mencapai 9.309
buah terdiri dari berbagai tingkatan. Sedangkan menurut perhitungan alm. H.
Lukman Harun, pada masa orde baru jumlah lembaga pendidikan Muhammadiyah telah
mencapai puncaknya, yaitu sebanyak 12.000 unit sekolah di seluruh Indonesia (H.
Lukman Harun, 1995: 14).
Selepas orde baru, muncul
era reformasi, geliat sekolah-sekolah Muhammadiyah masih tetap mengagumkan semua pihak; bukan saja di dalam
negeri, tetapi juga di luar negeri, bukan saja dari segi kuantitas tetapi juga
dari segi kualitas. Hal menarik yang dapat ditelaah dari geliat pendidikan
dasar dan menengah Muhammadiyah dari masa K.H. Ahmad Dahlan hingga ke masa reformasi
kini, adalah semangat dakwah amar ma’ruf
nahi munkar (AMNM) dari para pengelolanya. Semangat demikian (dakwah AMNM)
untuk saat ini dapat mewakili semua standar pendidikan nasional, khususnya yang
menyangkut kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan. Hanya saja, mungkin
karena semangat AMNM kurang dapat dipahami secara akademik dan komprehenshif
oleh para pendidik dan tenaga kependidikan (PTK) Muhammadiyah, maka akhirnya
terlahir kesan dari dan untuk mereka, bahwa di antara mereka (PTK) masih ada yang
abai terhadap aspek kualitas. Walau secara nyata banyak pula sekolah
Muhammadiyah yang bermutu, berkualitas dan unggul dalam aspek-aspek tertentu,
tetapi memang jumlahnya masih sangat terbatas.
Menyadari masih kuatnya
semangat AMNM di atas, maka Majelis Dikdasmen Muhammadiyah ke depan, masih
harus tetap mensyukurinya secara aktif, dalam arti masih harus terus memupuk
dan menguatkannya. Konsep AMNM dalam kependidikan yang dimanifestasikan melalui
materi AIKA di semua tingkatan, harus diintegrasikan pula dengan 8 (delapan)
standar nasional pendidikan (Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005), meliputi (1)
standar isi, (2) standar kompetensi lulusan, (3) standar proses, (4) standar
tenaga pendidik dan tenaga kependidikan, (5) standar sarana dan prasarana, (6) standar
pengelolaan, (7) standar pembiayaan, dan (6) standar penilaian, yang
masing-masing standar tersebut telah diterjemahkan melalui Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Republik Indonesia No.22 Tahun 2006 (tentang Standar Isi),
No. 23 Tahun 2006 (tentang Standar Kompetensi Lulusan), No. 12 Tahun 2007
(tentang Standar Pengawas Sekolah/Madrasah), No. 13 Tahun 2007 (tentang Standar
Kepala Sekolah/Madrasah), No. 16 Tahun 2007 (tentang Standar Kualifikasi
Akademik dan Kompetensi Guru), No. 19 Tahun 2007 (tentang Standar Pengelolaan
Pendidikan oleh Satuan Pendidikan Dasart dan Menengah), No. 20 Tahun 2007
(tentang Standar Penilaian Pendidikan), dan No. 24 Tahun 2007 (tentang Standar
Sarana dan Prasarana..).
Pada prinsipnya, peraturan
pemerintah lengkap dengan peraturan mendiknasnya sebagaimana tersebut di atas,
merupakan penjabaran amanat dari UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, yang secara umum dimaksudkan untuk mencerahkan dan memajukan
Indonesia. Bagi Muhammadiyah, itu semua bukan hal yang baru. Pasalnya,
sebagaimana disebutkan di atas, bahwa pendidikan Muhammadiyah sejak
kelahirannya sudah merefleksikan kecerdasan dan kemajuan anak-anak bangsa,
hingga – disadari atau tidak – mereka (pendidik dan peserta didik Muhammadiyah)
menjadi pejuang kemerdekaan, perebut kemerdekaan, pengisi dan pemandu
kemerdekaan RI. Dengan modal semangat AMNM, yang dikemas dengan AIKA yang
terintegrasi dan pendidikan (Muhammadiyah) yang holistik, yang kemudian dalam
implementasinya dipandu dengan qaidah, pedoman atau peraturan Majelis Dikdasmen
PP Muhammadiyah yang terus berubah sesuai dengan perkembangan dan kebijakan
pimpinan dari period eke periode, maka – Insya Allah – pendidikan dasar dan
menengah Muhammadiyah akan terus bergeliat dalam gerakan dan pencerahan untuk
Indonesia yang berkemajuan.[]
Komentar
Posting Komentar