KHITTAH IKATAN MAHASISWA MUHAMMADIYAH
KHITTAH IKATAN MAHASISWA MUHAMMADIYAH
MENEGUHKAN VISI INTELEKTUAL DAN TANTANGAN KEAKANAN
Oleh: Noor Chozin Agham
(Pendiri dan Mantan Sekjen Kornas FOKAL IMM)
A. Iftitah
السلام
عليكم ورحمه الله وبركا ته
الحمد
لله
لاإله إلا الله وحده, صدق وعده,
ونصرعبده ,وأعزجنده وهزم الأحزاب وحده,
والصلاه والسلام
على رسول
الله
وعلى
أل
رسول
الله
وعلى
أصحاب رسول الله وعلى
أل
أصحاب
رسول
الله
وعلي
جميع أمه رسول الله وعلى أل
أعضائ
رابطه
الطلبه المحمديه, أما
بعده
B. Makna
Khittah
Tema pesanan dari Panitia, Kembali ke Khittah
Gerakan Ikatan, Meneguhkan Visi Intelektual, sangat menarik dan terasa pas
dengan harapan keluarga besar persyarikatan khususnya IMM. Dari tema inilah
kemudian saya menulis dengan judul di atas, tentu dimaksudkan supaya kader IMM
memahami, sekaligus menyadari akan pentingnya khittah Ikatan untuk meneguhkan
visi intelektualnya.
Istilah khittah, sebenarnya hampir
pasti milik Muhammadiyah. Namun, istilah ini dimunculkan dan terkesan dimiliki
oleh tetangga yang kala itu (1990) sedang galau, lalu bermuktamar dan
melahirkan keputusan “kembali ke khittah 1926”. Padahal. Di interen
Muhammadiyah, istilah khittah sudah dikenalkan jauh sebelum (1990 ) itu dengan
nama Khittah Perjuangan Muhammadiyah,
yang dirumuskan pada tahun 1956, 1969, 1971 (MT Arifin, 1990: 255), dan
dipertegas kembali dalam keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-40 di Surabaya 1978,
lalu dimantapkan dalam Khittah Denpasar
(2002).
Secara lughawi, arti khittah
sebenarnya yaitu desa atau kampung (Mahmud Yunus, 1972: 118), namun banyak
tokoh memaknainya dengan “garis” (khattah). Jadi, kalau keputusan muktamar tetangga tadi
“Kembali ke khittah” berarti mereka kembali ke desa atau kembali ke kampung
halaman setelah mereka malang-melintang dan galau dalam kegiatan politik praktis. Tidak heran jika kemudian banyak tokoh senior
Muhammadiyah ikut senang, di samping banyak pula yang ikutan prihatin, bahkan
galau juga, jangan-jangan, dengan kembali ke khittah tersebut, mereka akan
kembali bangkit (nahdhah) bereaksi membendung gerakan Muhammadiyah. Pertanyaannya
kemudian, apakah tema tersebut berarti mendorong supaya kader IMM kembali ke
kampung?
Untuk menghormati tetangga yang
“kembali ke khittah 1926”, katakan saja iya; IMM perlu kembali ke kampung.
Lalu, apa dan di mana kampung IMM? DPP IMM Periode Mas Ton, telah menerbitkan
tabloid dengan nama KAUMAN. Walaupun nama ini disebutnya sebagai akronim dari
(? – saya lupa) tetapi setidaknya secara tekstual telah mengindikasikan bahwa
kampung IMM adalah Kauman. Anda setuju atau tidak, sebaiknya tidak perlu
didebat-kusirkan, sebab, saya sendiri belum tahu apa definisi khittah menurut
panitia DAM. Untuk sementara, saya hanya dapat memprediksi dengan memahami
kalimat berikutnya, yaitu Meneguhkan Visi Intelektual. Artinya, khtittah
yang dimaksud yaitu khittah yang dapat meneguhkan visi itu tadi, intelektual!
Bukan kampung apalagi kampungan, tetapi “garis” seperti yang dipahami Haedar
Nashir.
C. Khittah
IMM
Merujuk pada pengertian sekilas
tentang khittah dan contohnya di atas, dapat dipahami bahwa yang dimaksud
dengan khittah adalah rumusan kesepakatan/pemikiran organisasi tempo doeloe
(jadul) atau yang bersifat dokumentatif, historis, bermakna dan dapat memandu
perkembangan organisasi. Rumusan pemikiran organisasi IMM yang demikian, dapat
ditemukan dan dilihat pada :
1. Deklarasi Kota Barat Solo, 1965;
Deklarasi ini lahir di sini (Solo), di
akhir acara Muktamar I IMM, tanggal 1-5 Mei 1965.
Isi deklarasinya, (1) IMM, adalah gerakan
mahasiswa Islam;
(2) Kepribadian Muhammadiyah, adalah landasan perjuangan IMM; (3) Fungsi IMM, adalah sebagai eksponen mahasiswa dalam Muhammadiyah
(stabilisator dan dinamisator); (4) Ilmu, adalah amaliyah
IMM dan amal adalah ilmiyah IMM; (5) IMM, adalah organisasi
yang sah mengindahkan segala hukum, undang-undang, peraturan dan falsafah
negara yang berlaku,
dan (6) Amal IMM, dilahirkan dan diabadikan untuk kepentingan agama, nusa dan
bangsa.
2. Deklarasi Garut, 1967;
Pada tanggal 25-28 Juni 1967, Ikatan
Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) telah melaksanakan Konferensi Nasional II. Pada
akhir penyelenggaraannya, tepatnya tanggal 28 Juni 1967, lahir deklarasi Garut
yang diberi judul Modernisasi dan Pembangunan. Isinya menegaskan
pentingnya peningkatan kualitas Ikatan sebagai aparat pencerah, pembaru, dan
berkemajuan, satu proses yang selalu dituntut oleh satu bangsa ataupun satu
kaum yang selalu menginginkan kemajuan. Demikian pula kami tegaskan dalam deklarasi
tersebut, suatu identitas kepribadian Ikatan untuk membekali dan
melengkapi dirinya dengan kemantapan akidah serta kematangan intelektual,
3. Deklarasi Kalibening, Magelang, 1970
Deklarasi Magelang ini, digelindingkan 4 Juli
1970 di Kalibening Magelang, yang isinya memuat rumusan teks dan penjelasan
identitas IMM, yang sangat dikenal di interen Ikatan.
4. Deklarasi Semarang (Masjid Raya
Baiturrahman), 1975);
Deklarasi ini dirumuskan sebagai salah satu
keputusan Muktamar IV IMM, 21-25 Desember 1975 di Semarang. Secara
konsepsional, deklarasi ini merupakan penegasan
ulang untuk memerankan IMM bukan saja sebagai organisasi kader Muhammadiyah,
tetapi juga organisasi kader umat dan kader bangsa.
5. Deklarasi Kota Padang, 1986 (Kebangkitan)
Pada acara penutupan Muktamar V IMM (14-18
April 1986) pada tanggal 18 April 1986, di Kota Padang, Sumatera Barat, telah
dideklarasikan Kebangkitan IMM, yang sering disebut dengan kebangkitan jilid
II. Jilid pertamanya, dinisbatkan pada Deklarasi 5 Mei 1965 di Solo. Inti dari deklarasi ini, berisi
kesatuan tekad Muktamirin, untuk terus-menerus membina dan mengawal perjalanan
Ikatan, jangan sampai terjadi kembali kevakuman (kemandegan) kaderisasi dalam
semua level, dari tingkat pusat hingga tingkat komisariat (kelompok). Dalam
deklarasi ini pula, mengamanatkan kepada para alumni atau eks aktivis IMM di
semua level untuk terus ikut berparan aktif sesuai kemampuannya dalam mengawal
dinamika Ikatan. (teks lengkap deklarasi, belum terlacak).
D.
Khittah IMM Berbasis Ideologi Muhammadiyah
1.
Ideologi Muhammadiyah
Secara historis atau sejarah peradaban,
istilah ideologi hanya dikenal dalam dunia politik, dan ia sebenarnya
dikembangkan dan dipakai oleh dan untuk sekelompok partai pencari atau penikmat
kekuasaan. Ideologi yang paling mewarnai politik sejarah dunia, yaitu
liberalisme dan sosialisme, termasuk di Indonesia ikut-ikutan memakai kedua
ideologi tersebut dengan nama yang berbeda, yaitu ideologi Pancasila. Artinya,
ideologi liberalisme boleh hidup di Indonesia asal ditambah dengan dan menjadi liberalisme
Pancasila. Sosialisme juga boleh, asal sosialisme Pancasila. Mungkin karena
itulah, Muhammadiyah pun telah lama tidak mengenal atau tidak menggunakan
istilah ideologi untuk semua rumusan pemikirannya.
Dalam perkembangan linguistik,
istilah-istilah yang mulanya hanya ada dalam disiplin ilmu tertentu (misalnya
ideologi tadi, mulanya hanya ada dalam disiplin ilmu politik, istilah mazhab
dulu hanya dikenal dalam disiplin ilmu fikih, dan beberapa istilah lain), sekarang
tidak begitu lagi; tetapi sudah menyebar ke segala khattah (garis), khittah
(kampung), dan kelompok masyarakat (LSM) atau organisasi yang beraneka karena memang dalam KBBI,
Ideologi diartikan sebagai kumpulan konsep bersistem yang dijadikan asas pendapat
yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup. (KBBI, hlm. 417).
Karena itulah, istilah ideologi akhirnya dipakai pula oleh Muhammadiyah, yang
menurut Haedar Nashir (ideolog Muhammadiyah) baru dimunculkan setelah Orde Baru
tumbang (2006: xxxiii).
Di atas dijelaskan, bahwa
ideologi adalah rumusan pemikiran. Sedangkan rumusan pemikiran Muhammadiyah
yang populer (sering) disebut sebagai ideologi Muhammadiyah yaitu: (1) Muqaddimah
Anggaran Dasar; (2) Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup (MKCH) Muhammadiyah;
yang kemudian disempurnakan dan dijadikan panduan hingga saat ini, yaitu: (3) Pedoman
Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIW) Muhammadiyah. Selain yang tiga ini,
masih ada rumusan lain yang sah disebut sebagai bagian dari ideologi
Muhammadiyah, seperti (4) Kepribadian
Muhammadiyah, (5) Khittah Muhammadiyah, (6) Khittah Ujung Pandang tahun 1971,
(7.) Khittah Denpasar, 2002, dan (8) Dua belas Tafsir Langkah Muhammadiyah
(Haedar Nashir, 2006: 101 dst).
Dengan memperhatikan rumusan
pemikiran Muhammadiyah tersebut, dapat dipastikan, bahwa sesungguhnya yang
disebut ideologi Muhammadiyah adalah paham keagamaan menurut Muhammadiyah. Sedangkan
paham agama (Islam) menurut Muhammadiyah yaitu dirumuskan sebagai ajaran
(agama) yang diwahyukan Allah Swt sejak Nabi Adam hingga Nabi Muhammad Saw.
Artinya, semua agama yang diturunkan kepada para Nabi, adalah Islam. Bedanya,
Islam yang dibawa atau diwahyukan kepada para Nabi, yaitu Islam yang belum
sempurna, sedangkan Islam yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad Saw. yaitu Islam
yang sudah disempurnakan (Q.S. al-Maidah: 3), yang berlaku sebagai agama
rahmatan lil-‘alamin (Q.S. al-Anbiya: 107).
Paham keagamaan, dalam dunia
fikih disebut dengan Mazhab. Namun, ideologi Muhammadiyah, yang sebenarnya
dapat juga disebut sebagai fikih Muhammadiyah, tetapi bukan berarti Muhammadiyah memunyai paham dan
madzhab sendiri (baru) di luar/dalam/samping madzhab yang sudah ada. Sebab
Muhammadiyah selalu menegaskan tidak bermadzhab tetapi tetap berpegang teguh
atau kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah al-Maqbulah, tentu dengan
menempatkan pendapat para imam madzhab sebagai salah satu rujukan. Secara garis
besar, paham agama (Islam) menurut Muhammadiyah yang tergambar dalam rumusan
ideologinya (MKCHM/PHIWM), yaitu meliputi empat pilar atau empat tema besar,
yakni (1) akidah, (2) akhlak, (3) Ibadah, dan (4) Mu’amalah Duniawiyah.
2. Meneguhkan Visi Intelektualitas Ikatan
Jika
ditilik kembali rumusan khittah Ikatan yang tergambar dalam deklarasi-deklarasi
di atas, tampak sangat niscaya untuk dinobatkan sebagai penjabaran dari
ideologi Muhammadiyah sekaligus sebagai khittah peneguhan visi intelektual
Ikatan. Dengan kata lain, bahwa rumusan-rumusan (matan) dari khittah IMM di
atas, pada dasarnya merupakan bagian tafsir dari rumusan ideologi Muhammadiyah.
Jadi, IMM sebagai kader inti dan kader yang paling militant di antara AMM,
sudah seharusnya menjadikan ideologi Muhammadiyah sebagai titik-tolak, atau sebagai
soko-guru untuk membina diri (ikatan) menjadi kader yang senantiasa bervisi
intelektual dalam segala aktivitasnya.
Muhammadiyah
sebagai gerakan tajdid (modernisasi) atau gerakan tanwir (pencerahan), sangat
sarat dengan peran akal dan atau kecerdasan. Karena Islam gaya Muhammadiyah
terdiri dari 4 pilar di atas (akidah, akhlak, ibadah, dan mu’amalah
duniawiyah), itu berarti tajdid dan tanwir yang harus selalu disemprotkan yaitu
terhadap keempat pilar (bidang) tersebut. Dengan kata lain, tajdid dan tanwir
dalam bidang akidah, harus senantiasa digenjot. Tajdid atau tanwir dalam bidang
akhlak, harus selalu dinakhodai. Tajdid atau tanwir dalam bidang ibadah, juga
harus terus terjaga dan teraplikasikan dalam kehidupan. Pun pula tajdid dan
tanwir dalam bidang mu’amalah duniawiyah, wajib terus digelindingkan.
Panggilan
dan keharusan untuk menghentakkan semangat tajdid dan tanwir terhadap empat
pilar tersebut itulah, maka sebagai alternatif lewat beberapa kesempatan
berdunia-maya atau berdunia nyata, saya sedang rajin memasyarakatkan 4 pilar
ajaran Islam gaya Muhammadiyah, yang saya sebut sebagai 4 kecerdasan bagi kader
Muhammadiyah, khususnya IMM, yaitu kecerdasan berideologi Muhammadiyah, yang
berarti (1) kecerdasan akidah, (2) kecerdasan akhlak, (3) kecerdasan ibadah,
dan (4) kecerdasan mu’amalah duniawiyah, yang sesungguhnya merupakan
pengejawantahan dari khittah Ikatan dalam hal ini Identitas IMM sebagai kader
yang tekun studi, mampu memadukan ilmiyah dan akidahnya, dan tekun ibadah (yang
buncit sebagai juru kunci).
Kecerdasan akidah, adalah kecerdasan teologis,
sebuah kemampuan penalaran yang berbasis keyakinan bahwa segala sesuatu di
dunia ini ada yang menciptakannya. Kecerdasan akidah juga sebagai kecerdasan
fundamentalisasi dan radikalisasi yang kini sudah disalahgunakan oleh
kelompok-kelompok ekstrimis yang sering juga disebut kelompok fundamentalis dan
radikalis, bahkan teroris. Jadi, kecerdasan akidah, atau tajdidul-’aqidah,
bukan mengarah pada ekstrimitas dan eksklusifitas, melainkan mengarah ke
ekstrainitas dan inklusifitas, yang berbasis pada pluralitas dan atau
liberalitas.
Kecerdasan akhlak, adalah kemampuan dan
sekaligus mewujudkan akhlakul-karimah, yang sesungguhnya telah dicontohkan oleh
Allah Swt dan Rasul-Nya. Konsep “al-Rahman” yang menegaskan Allah sangat
toleran terhadap semua jenis watak, suku, agama, keyakinan bangsa manapun,
hampir tidak pernah ditelaah oleh kebanyakan Muslim yang mengaku taat beragama.
Akhlak, adalah ilmu terapan yang berbasis pada Wahyu. Dalam implementasinya
disebut dengan “hablun minanas”, yang
secara nyata menyangkut persoalan etika dan moral. Persoalan etika lebih
berbasis pada ilmu, sedangkan moral berbasis pada budaya.
Kecerdasan ibadah, adalah tajdidul-Ibadah,
sebagai awal dan sumber kekuatan batin yang akan menepis segala kegundahan dan
kegalauan, adalah kemampuan menelaah untuk mengetahui sekaligus mengamalkan
persoalan ritualitas terpandu oleh Wahyu (al-Qur’an dan Sunnah) yang sifatnya absolut mutlak yang secara
lahiriyah bersifat monoton, tidak memerlukan penambahan atau pengurangan.
Tajdid dalam konteks ini, bermakna penguatan komitmen dan konsistensi,
pembiasaan diri tanpa henti.
Kecerdasan mu’amalah duniawiyah (MD), adalah
awal dari penyadaran diri untuk terus-menerus terlibat dalam pemenuhan
kebutuhan lahiriyah, atau kegiatan-kegiatan inovatif, produktif, dan
prospektif, yang berbasis amal saleh atau amal yang profesional, sesuai dengan
disiplin ilmu yang diperoleh.
Keempat kecerdasan inilah yang oleh Ikatan
(IMM) sebagai kader inti harus terus diprioritaskan dengan semboyan
“fastabiqul-khairat” yang selama ini masih terlihat “nempel” di logo Ikatan
yang kadang ditulis dan dipahami belum memadai.
E.
Tantangan Intelektualisasi Ke-Akanan
1. Tantangan Interen
Datang
dari dalam persyarikatan (Muhammadiyah dan bahkan IMM) sendiri. Dalam lintasan
perjalanan Ikatan (IMM), sering terdengar ada IMM yang tertekan di rumahnya
sendiri, seperti antara pimpinan atau anggota IMM dengan pimpinan PTM, atau
pimpinan Muhammadiyah setempat. Terhadap kasus-kasus yang sering terjadi,
biasanya hanya karena kesalahpahaman yang dipicu oleh kekurangmengertian pihak
PTM atau pimpinan Perysrikatan terhadap eksistensi IMM, ditambah lagi oleh
kekurangsabaran aktivis (IMM) sendiri dalam menghadapinya. Kalau sudah
demikian, akan runyam-lah jadinya.
Terlepas
dari beberapa kasus yang terjadi, saya hanya dapat katakan, bahwa selama IMM
belum melahirkan kader dan atau alumni yang militan, selama itu pula IMM akan
dianggap sebagai kader pinggiran. Saya sering memperoleh bisikan dari para
senior (alumni) IMM, bahwa para petinggi Muhammadiyah dan khususnya petinggi
PTM, belum semuanya alumni IMM. Padahal seharusnya demikian. Pimpinan
Muhammadiyah dan terutama PTM, sudah pasti adalah sarjana, atau pernah kuliah. Saat
mereka jadi peserta didik pada level Dikdasmen, bisa saja mereka jadi aktifis
IPM (kader juga), tetapi ke mana mereka saat jadi mahasiswa? Mereka bisa saja
kekeuh mengaku dirinya sebagai aktivis Pemuda Muhammadiyah atau NA, tetapi –
pertanyaan yang sama – ke mana dan di mana mereka saat menjadi mahasiswa?
Keasingan
mereka pada IMM saat menjadi mahasiswa, secara psikologis dan sosiologis, akan
menentukan dan melahirkan jarak (antara) mereka (yang/jika memimpin PTM atau
Persyarikatan) dengan IMM. Inilah yang terjadi saat ini dan nanti, dan karena
itu IMM-isasi Persyarikatan dan AUM-nya (khususnya PTM), mutlak harus
terus digelorakan. Langkah konkritnya, mulailah dari dalam. Para aktivis IPM
wajib didekati, supaya mereka saat berkuliah aktif pula di IMM. Kepemimpinan NA
wajib direbut oleh aktivis Immawati, dan begitu juga dengan pimpinan Pemuda
Muhammadiyah, mutlak wajib direbut oleh aktivis atau eks aktivis IMM. Lebih-lebih
lagi dengan Pimpinan Muhamadiyah di semua level, kepada para aktivis dan atau
alumni IMM – dengan bekal khittah Ikatan di atas – mari berusaha dan diusakan. Fastabiqul-Khairat;
IMM,bisa..!
2. Tantangan Eksteren
Yang
paling menarik adalah tantangan politik praktis. Bisa jadi, hampir semua
aktivis mahasiswa, mungkin termasuk IMM tergoda oleh makhluk yang satu ini. Kenapa?
Banyak hal yang perlu didiskusikan. Untuk saat dan kesempatan ini, saya hanya
bisa katakan, bahwa politik ilmu boleh masuk tetapi politik praktis wajib
ditolak, tidak boleh masuk ke wilayah kaderisasi IMM. Kenapa? Silakan
diskusikan. Fastabiqul-Khairat! []
(Disampaikan 8 Juni 2013, pada acara Darul
Arqam Madya (DAM) Pimpinan Cabang Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Kota Surakarta,
5 – 9 Juni 2013, di Pondok Hajjah Nuriyah Shobron UMS).
Komentar
Posting Komentar