PERAN CINA DALAM SEJARAH DAKWAH ISLAM DI INDONESIA
PERANAN CINA DALAM AWAL PENYEBARAN
ISLAM DI NUSANTARA
A. Pendahuluan
Mungkin, ada klaim mustatir yang terterka dari dan dalam kepala tulisan (Peranan Cina dalam Awal Penyebaran Islam di Nusantara) ini, yaitu sudah harga mati, bahwa Cina telah berperan dalam penyebaran agama Islam di Nusantara, dan karena itu keberadaan (warga) Cina tidaklah perlu dipermasalahkan. Klaim tersembunyi ini, mengemuka karena memang permasalahan Cina – secara politik – telah mendepan sejak suasana kehidupan kebhinnekaan dalam negeri terkena polusi verbal yang mengepul dari dwiwarna ideologis nusantara yang saling menabok, yaitu ideologi Komunis Nusantara dan ideologi Khilafah Nusantara (juga). Komunis Nusantara dilogokan dengan palu arit berwarna merah marun; berarti pemberani (mati, katanya), sedangkan khilafah Nusantara dilambangkan dengan liwa atau apa yang mereka sebut dengan bendera tauhid yang berwarna putih ngeplak; berarti suci dan pemberani mati (syahid, katanya juga). Kemudian ada klaim mustatir berikutnya, bahwa logo palu arit tersebut telah divilialkan ke dan dengan “Cina”, sedangkan khilafah Nusantara telah disanadkan ke dunia “Arab”; yang dalam konteks ini keduanya diapit dengan tanda petik sebagai takhsis; tanda bahwa Cina dan Arab yang dimaksud tentu bukan dalam arti umum (generally) melainkan dalam arti tertentu (certain one)..
Untuk menghindari klaim mustatir atau klaim apalah-apalah tersebut, dipastikan (dan pasti) membutuhkan kajian serius, baik dari segi historiologi (ilmu sejarah) ataupun historiografi (ilmu penulisan sejarah), yang niscaya menunjukkan bahwa Cina memang telah memunyai peranan penting dalam perkembangan awal agama Islam di kepulauan/nusantara. Karenanya, ada beberapa hal yang tampaknya sangat perlu dikedepankan terlebih dahulu untuk mengetahui peranan Cina dalam masa awal penyebaran agama Islam di Nusantara. Beberapa hal yang dimaksud, yaitu: Pertama, perlu mengetahui kapan yang dimaksud dengan “awal” penyebaran agama Islam menyebar ke kepulauan/nusantara dan ke atau di Cina. Dalam konteks ini, terbatas dan dibatasi selama rentang waktu prakolonial yakni hingga era kolonial, Selanjutnya, Kedua, teori analisis apa yang digunakan dalam penemuan, penetapan dan penulisan prihal ketersebaran dakwah Islam pra-kolonial, baik yang ke Cina maupun yang ke Nusantara. Ketiga, perlu mengetahui kepastian penyebaran Islam itu, ke Nusantara atau ke Cina yang lebih dulu. Kepastian ini penting karena – Keempat – dengan mengetahui mana yang lebih dahulu, diharapkan akan lebih mudah untuk menyigi peran apa yang diberikan Cina dalam penyebaran ajaran Islam di Nusantara sebelum masa kolonial; atau sebaliknya – Kelima – peran apa yang ditampakkan oleh Nusantara untuk Cina.
Kelima hal tersebut di atas, itulah yang sesungguhnya juga melatari kenapa Peranan Cina dalam Awal Penyebaran Islam di Nusantara perlu mendapat perhatian sekaligus menuliskannya. Tentu saja, dengan tujuan “serba minimal” yaitu antara lain: (1) minimal untuk mengingatkan atau menambah pengetahuan bagi yang berkesempatan membacanya; (2) minimal untuk menambah referensi bagi siapa saja yang berkepentingan dalam penulisan sebuah karya akademik; (3) minimal, melengkapi daftar bacaan atau daftar pustaka, baik untuk pustaka pribadi, atau pustaka umum (perpustakaan), dan (4) minimal dapat memahami makna tanda petik (“) yang mengapit kata Cina dan Arab.
B. Pembahasan
1. Perbandingan Waktu Penyebaran Islam di Cina dan di Nusantara
Prihal kapan Islam masuk dan berkembang di dan ke (kepulauan) Nusantara, para ahli sejarah berkesesuaian dengan nalar historiologi atau historiografi formal, yaitu sejak komunitas-komunitas yang resmi di kalangan masyarakat Islam terbentuk. Komunitas format atau resmi yang dimaksud, yaitu kerajaan-kerajaan Islam – yang oleh komunitas Muslim (dan misi) tertentu – disebut khilafah Islamiyah. Sedangkan kerajaan Islam yang dimaksud, yang pertama kali berdiri di Nusantara, berdasarkan kesepakatan para pemerhati sejarah, yaitu kerajaan samudra pasai tersepakati berdiri pada akhir abad ke-13 Miladiyah atau abad ke-4 Hijriyah.
Ada teori untuk sampai pada kesesuaian (kesepakatan) dan atau simpulan Samudra Pasai sebagai komunitas pertama yang memeluk Islam di Nusantara. Teori yang dimaksud, oleh masyarakat akademisi tingkat (strata) satu biasa menyebutnya dengan istilah metode, yaitu metode deduktif dan induktif, yang dalam istilah disiplin ilmu fikih kayaknya dapat dikategorikan sebagai metode istinbat dan metode istiqra. Metode deduktif (istinbat) dapat diurai sebagai cara untuk mengambil simpulan mikro (khusus) dari fakta dan data yang umum. Metode ini (deduktif), dalam literatur Islam dipakai untuk menelaah sekaligus menjelaskan dalil-dalil dalam al-Qur’an atau Hadits dari segi kebahasaan. Sedangkan metode induktif (istiqra) yaitu cara untuk mengambil simpulan umum yang disadur dari fakta-fakta dan data khusus. Simpulan yang dimaksud, yaitu penetapan yang berkonsekwensi hukum atas suatu masalah yang sesungguhnya masalah tersebut tidak secara nyata dan tidak disebutkan rincian konsekwensi hukumnya. Mengenai tepat atau tidaknya penerapan kedua metode dalam persoalan ini, itu nanti saja akan terbahas dengan sendirinya. Yang pasti sekarang, untuk menelisik data dan fakta umum dalam kasus ini, tentu telah diketahui bahwa umat manusia dalam segala kasus dipastikan tidak akan pernah diam keberadaannya dalam persoalan yang dimaksud.
Ketidakdiaman seseorang dalam dan selama hidupnya, dalam bahasa lain dapat dikatakan sebagai seseorang yang aktif, baik aktif secara ragawi atau jasmani, maupun aktif secara rahani atau spiritualiti. Aktivitas demikian, meniscayakan seseorang tadi dapat berlayar, melancong, berhenti, ishama, dan berangkat berlayar atau melancong lagi di sekitar dan antara pulau; dari pulau ke pulau lain, atau antara nusa, dari nusa ke nusa yang lain; yang belakangan disebut nusantara. Kepulauan/nusantara yang tentu terdiri dari banyak pulau, yang masing-masing pulau idealnya memunyai nama sendiri-sendiri, dan untuk lebih memudahkan penyebutannya, dipilihlah nama Samudra Pasai. Demikian kira-kira logika deduktif atau narasi deduktif yang dimaksudkan. Sedangkan nalar induktifnya, dapat dianalisis melalui data-fakta parsial atau individual yang terdapat dalam teritorial samudra pasai. Data-fakta parsial atau individual, dimaksudkan sebagai data-fakta khusus, yang dalam hal ini dapat dimungkinkan bahwa para pelaku sejarah secara individual mereka memang lebih dekat dan bersetuju dengan penyebutan Samudra Pasai.
Di samping teori di atas, ada teori lain dalam penulisan sejarah yang menyangkut syi’ar dan dakwah Islam, yang bisa disebut dengan tarikh, atau sejarah kebudayaan Islam (SKI), yang dalam penulisannya masuk ke dalam kategori penulisan peristiwa masa lalu, atau dikenal juga dengan historiografi. Sampai pada pengertian ini, berarti penulisan sejarah memerlukan batasan-batasan, yang menurut Taufik Abdullah terdapat 4 (empat) hal yang perlu dibatasi. Pertama, pembatasan yang berhubungan dengan waktu. Kedua, pembatasan yang berhubungan dengan peristiwa. Ketiga, pembatasan yang berhubungan dengan tempat, dan Keempat pembatasan yang berhubungan dengan seleksi. Jadi, kata Taufik Abdullah, bahwa sejarah itu merupakan rekontruksi peristiwa masa lampau, dan karenanya tentu membutuhkan penelitian seteliti mungkin terhadap peristiwa zaman old yang dimaksud.
Dalam masalah yang berhubungan dengan peran Cina terhadap (pada masa) permulaan penyebaran agama Islam di kepulauan/nusantara, dalam memperbincangkannya tentu mengharuskan bicara tentang sejarah atau peristiwa masa lalu, maka karena itu keempat batasan yang dikemukakan Taufik Abdulah di atas sangat mendukung untuk melahirkan keyakinan terhadap kebenaran simpulan terkait dengan penetapan Samudra Pasai sebagai komunitas yang pertama dalam menerima dan menyebarkan ajaran Islam di Nusantara. Batasan pertama, terkait dengan waktu; yaitu kesepakatan menetapkan pada abad keempat hijriyah, atau abad ke-13 miladiyah. Batasan kedua, terkait dengan peristiwa, yaitu membatasi hanya persoalan masuknya penyebaran agama Islam (Islam sebagai agama). Batasan ketiga, terkait tempat, yaitu ditetapkannya Samudra Pasai sebagai tempat sekaligus markas kerajaan Samudra Pasai. Batasan keempat, terkait dengan seleksi, atau pemilihan batasan-batasan tersebut (ketiga batasan sebelum batasan seleksi).
Beberapa teori penelaahan terhadap sejarah awal penyebaran Islam di Nusantara sebagaimana tersebut di atas, itu menunjukkan sangat jelas, ada proses yang cukup panjang sebelum khalifah bani Pasai berdiri. Ibarat kelahiran NKRI yang diketahui bareng diawali dengan tahapan-tahapan perjuangan yang berdarah-darah, khalifah Bani Pasai pun terlahir melalui embrio bertahap, bahwa sejak awal abad masehi, atau tepatmya sejak awal zaman prasejarah, di wilayah Nusantara telah ada halte-halte atau rute pelayaran atau perdagangan di sekitar kepulauan/nusantara atau lebih khusus lagi di sekitar samudra pasai.
Hilir-mudik kaum pedagang melalui rute-rute perdagangan tersebut sesungguhnya telah ada jauh sebelum Arab kedatangan agama Islam (pra-Islam) antara para saudagar Arab dengan para saudagar dari Pantai Selatan Cina, dan mencapai puncak ketika pedagang laut Arab memeluk Islam pada masa (dan di bawah kekuasaan) dinasti Yuan Mongol. Hubungan lama Cina dan interaktif dengan berbagai suku dan kekaisaran Steppe, melalui perdagangan, perang, subordinasi atau dominasi telah meratakan jalan bagi komunitas Muslim di Cina membuahkan hasil, para tokoh Muslim banyak dilibatkan dalam pemerintahan sebagai administrator, jenderal, dan pemimpin-pemimpin lain yang dipindahkan ke Cina dari Persia dan Asia Tengah untuk mengurus kekaisaran Mongolia. Banyak juga Muslim yang masuk ke Cina dari Vietnam dan Kamboja, sehingga ada banyak tempat komunitas Muslim, mulai dari yang sekedar berupa paguyuban yang cukup besar bermunculan karena pemerintah Muslim di India. Ini berperan besar dalam menciptakan komunitas Muslim yang besar di Yunnan, yang menjadi konsentrasi terbesar Muslim di luar provinsi utara. Muslim di Cina mengatur praktik kepercayaan mereka di Cina, kadang-kadang melawan keganjilan yang besar. Sejak abad ke-7 Islam merupakan satu agama yang diorganisasikan secara resmi di Cina, diawali oleh Utsman bin ‘Affan, khalifah ketiga dinasti khulafaur al-Rasyidin, atau dinasti pasca-Rasulullah Saw.
Waktu itu, tepatnya tahun 650 Miladiyah Khalifah Utsman bin Affan telah mengirim utusan resmi ke Cina, dipimpin oleh Sa’ad bin Abi Waqash r.a. melalui rute sutera (daratan) yang luas dan panjang juga melahkan, dan pada tahun 651 M. delegasi pimpinan ibnu Abi Waqash tersebut tiba di kota Chang’an, Ibukota Tang, untuk menemui Kaisar Gaozong dari Dinasti Tang. Salah satu misi diutusnya yaitu berdakwah sembari berdagang, mengajak Kaisar untuk bersama-sama memeluk agama Islam dan berkongsi dalam perdagangan. Walau kabarnya utusan Khalifah Utsman bin Affan itu gagal meyakinkan Kaisar untuk masuk memeluk Islam, tetapi Kaisar bersetuju berkongsi niaga, lalu mengizinkan Abi Waqash untuk berdagang sambil meng-Islamkan orang-orang di Cina sampai sang Kaisar Gaozong memerintahkan pembangunan Masjid pertama di Cina di tengah kota Chang’an (Ibukota Tang) untuk menunjukkan rasa hormat kepada agama Islam dan Khalifah Utsman bin Affan yang mengutusnya. Pada masa Dinasti Tang, Masjid Agung Xi'an (Chang’an) ini salah satu Masjid tertua di Cina peninggalan Dinasti Tang (618-907). Waktu itu, rombongan yang menyertai Abi Waqash yang berhasrat bermukim, ditempatkan di sekitar Masjid disebut Da shi itu. Waktu itu pula, tepatnya pada tahun-tahun berikutnya (dari tahun 713 hingga 756 M) penduduk Muslim di ibukota Tang (sekitar Masjid) yang disebut dari Da’shi tadi, terus berkembang melalui dialog cinta (pernikahan) dan mereka umumnya kaum pedagang dari Arab, khususnya Persia dan Irak.
Terkait itu, dalam sebuah sumber menyebutkan, bahwa selama Dinasti Tang, sebuah aliran yang kuat dari pedagang Arab dan Persia tiba di Cina melalui jalur maritim dan rute laut melalui pelabuhan Quanzhou. Tidak semua imigran Muslim, tapi beberapa dari mereka yang tinggal dan membentuk basis populasi Muslim Cina dan kelompk etnis Hui. Imigran Persia memperkenalkan hasil kreatifitasnya seperti polo, masakannya, instrumen musiknya, dan pengetahuannya tentang pengobatan kepada warga Cina. Selanjutnya, pada masa Dinasti Song (960-1279) banyak Muslim datang ke Cina untuk berdagang, dan Muslim-muslim itu mulai memiliki pengaruh ekonomi yang besar dan berpengaruh terhadap negara, dan karenanya Muslim di Cina mendominasi perdagangan luar negeri dan industri import/eksport ke segala penjuru yang dijumpainya.
Adapun perniagaan atau barang dagangan yang populer kala itu, di samping rempah-rempah, yaitu nekara perunggu, yakni gendang perunggu berbentuk seperti dandang berpinggang pada bagian tengahnya dengan selaput suara berupa logam atau perunggu. Di samping nekara perunggu, ada Gong Nekara buatan kebudayaan Dong Son, yang terdapat di delta Sungai Merah Vietnam Utara. Gong ini diproduksi pada sekitar 600 tahun sebelum masehi atau bisa juga sebelumnya, sampai abad ketiga Masehi. Pembuatan gendang dan gong perunggu menggunakan metode pengecoran logam yang telah hilang, yang oleh para peneliti sejarah dianggap sebagai salah satu contoh terbaik dari budaya pengerjaan dan atau kerajian (berbahan baku) logam.
Menurut Wikipedia, Gong Nekara ini memunyai 3 (tiga) fungsi pada masanya, yakni fungsi Keagamaan, fungsi sosial-budaya, dan fungsi Politik. Fungsi keagamaan yaitu sebagai alat komunikasi, upacara, dan simbol. Sementara fungsi sosial budaya yaitu sebagai asesoris, simbol status sosial, perangkat upacara dan karya seni yang mempunyai daya magis religius. Sedangkan fungsi politik yaitu sebagai tanda bahaya atau isyarat perang. Dari segi desain, Gong Nekara mempunyai luas lingkaran sebesar 396 cm persegi, luas lingkaran pinggang 340 cm persegi, dan tinggi 95 cm persegi. Keunikan yang dimiliki gong yang dikenal sakral itu adalah adanya gambar bermotif flora dan fauna terdiri dari gajah 16 ekor, burung 54 ekor, pohon sirih 11 buah dan ikan 18 ekor. Sementara dipermukaan gong bagian atas terdapat 4 ekor arca berbentuk kodok dengan panjang 20 cm dan di samping terdapat 4 daun telinga yang berfungsi sebagian pegangan. Pada bidang pukul terdapat hiasan geometris, demikian pula pada bagian tengah gong terdapat garis pola bintang berbentuk 16. Nekara secara vertikal terdiri atas susunan kaki berbentuk bundar seperti silinder, badan dan bahu berbentuk cembung.
Sejak masa itu, nekara dan gong sebagai barang dagangan primadona yang memiliki jangkauan cukup luas dan merata ke seluruh peloksok Nusantara. Dalam pemberitaan Cina dari permulaan abad miladiyah melaporkan, bahwa perdagangan-perdagangan dengan komoditas nekara dan gong itu tadi, plus rempah-rempah atau hasil bumi yang lain berikut wilayah-wilayah yang menjadi rutenya, semua menunjukkan dan ditulis dalam bahasa atau lafal Cina. Karena itu untuk memahaminya memerlukan keseriusan, ketelitian, dan ilmu tersendiri; dalam hal ini yaitu ilmu toponomi, yakni studi keilmuan dalam bidang linguistik yang memperbincangkan asal-usul penamaan dan penemuan nama tempat, wilayah, atau suatu bagian lain dari permukaan bumi dan lautan. Dari toponomik inilah kemudian ditemukan dari berita atau laporan Cina tadi menyebutkan daerah-daerah dan tempat di Sumatera, Jawa, dan Kalimantan.
Seperti diketahui, bahwa Cina atau bisa juga disebut Negeri Tiongkok, dalam bahasa Cina disebut Zhuo Guo adalah negara yang lebih dulu kedatangan agama Islam daripada kepulauan/nusantara (Indonesia). Dengan kata lain, bahwa dakwah agama Islam ke dan di negeri Gajah, ternyata lebih dahulu daripada berdirinya kerajaan Islam Samudra Pasai. Tidak heran jika – sebagaimana tersebut di atas, bahwa – rute-rute peredaran komoditas dalam berbagai bentuk menggunakan tulisan berbahasa Cina, yang ternyata melalui telaah toponomik akhirnya ditemukan nama dan tempat di daerah-daerah Sumatera, Jawa, dan Kalimantan, termasuk juga, mungkin penamaan Samudra Pasai itu sendiri.
Argumentasi naratif, bahwa Cina lebih dahulu tersentuh dan menyentuh dakwah Islam daripada kerajaan Samudra Pasai, yaitu terlihat dari banyak referensi yang mensinyalir bahwa Zhuo Guo (Negeri Tiongkok) yang memiliki arti Negara Tengah tersebut, yang saat ini lebih dikenal dengan sebutan Cina, merupakan salah satu negeri yang memiliki kebudayaan dan peradaban tertua di dunia. Misalnya Daratan Cina yang sangat luas, dipersatukan pada tahun-tahun sebelum masehi atau tepatnya pada tahun 221-207 SM oleh Kaisar Shi Huang Thi pada masa Kekaisaran Dinasti Qin.
Sejak masa sebelum masehi itu, hingga awal-awal abad permulaan, atau yang oleh sejarah disebut masa klasik, negeri Cina merupakan negara yang maju dan berbudaya. Pada era Dinasti Tang (618-719 M) misalnya, kemasajayaan Cina memuncak, hingga pada masa awal dinasti Tang inilah dakwah Islam masuk ke wilayah Cina, atau ada sumber lain yang mengatakan, bahwa Islam masuk ke Cina pada masa akhir Dinasti Sui dan awal Dinasti Tang, yakni sekitar tahun 618 M, dan ada juga yang mengatakan, bahwa dakwah Islam masuk ke daratan Cina pada tahun 651 M. atau pada masa pemerintahan Kaisar Yong Hui (sebelum dinasti Tang). Pendapat yang disebut terakhir ini (651) yang lebih masyhur, referensinya lebih banyak dan secara analisis lebih rasional dan argumentatif.
Ya, lebih rasional dan argumentatif, karena sebagaimana diketahui, bahwa agama Islam yang disempurnakan oleh kitab suci al-Qur’an yang diwahyukan kepada Nabi akhir zaman; Muhammad Saw adalah agama yang secara resmi edar sejak diterimanya wahyu yang pertama, yaitu surat al-‘Alaq, diperkirakan pada tahun 610 masehi. Karena itu, jikalau pendapat yang pertama (618) diterima sebagai tahun masuknya agama Islam ke Cina, kurang rasional, sebab pada tahun 618 itu Nabi Muhammad Saw masih hidup dan baru berjalan 8 tahun Kerasulannya. Waktu itu (618) keadaan Nabi Muhammad Saw masih berada di Makkah Mukarramah, masih dalam keadaan sibuk yang luar biasa, yaitu lagi gencar-gencarnya menghadapi rintangan dan hambatan yang dilakukan kaum kafir Quraisy, sampai akhirnya Rasulullah Saw mendapatkan wahyu untuk berstrategi, mengatur bagaimana cara menyelamatkan agama Islam, para sahabat, dan diri beliau sendiri. Strategi yang dimaksud, yaitu melaksanakan hijrah dari Makkah Mukarramah ke Madinah Munawwarah, terjadi pada tahun 622. Jadi, tidak mungkin pada tahun 618 sudah ada ajaran Nabi Muhammad Saw sampai di wilayah Cina.
Sebaliknya, sebagaimana disebutkan di atas, bahwa Islam masuk ke negeri Cina diawali oleh kebijakan Khalifah Utsman bin Affan yang telah mengirim utusan resmi ke Cina, dipimpin oleh Sa’ad ibn Abi Waqash r.a. melalui rute sutera (darat) yang luas dan panjang juga melahkan, dan pada tahun 651 M. delegasi pimpinan Abi Waqash itu tiba di kota Chang’an, Ibukota Tang, untuk menemui Kaisar Gaozong dari Dinasti Tang dan mencoba mengajaknya untuk masuk Islam. Walau kabarnya utusan Khalifah Utsman bin Affan itu gagal meyakinkan Kaisar untuk masuk islam, tetapi Kaisar mengizinkan Abi Waqash untuk meng-Islamkan orang-orang di Cina dan memerintahkan pembangunan Masjid pertama di Cina di tengah kota Chang’an (Ibukota Tang) untuk menunjukkan rasa hormat kepada agama Islam dan Khalifah Utsman bin Affan yang mengutusnya. Pada masa Dinasti Tang, Masjid Agung Xi'an (Chang’an) ini salah satu Masjid tertua di Cina peninggalan Dinasti Tang (618-907). Waktu itu, negara Arab yang bermukim di sekitar Masjid disebut Da shi. Waktu itu pula, tepatnya pada tahun-tahun berikutnya (dari tahun 713 hingga 756 M) penduduk Muslim di ibukota Tang (sekitar Masjid) yang disebut dari Da’shi tadi, terus berkembang melalui dialog cinta (pernikahan) dan mereka umumnya kaum pedagang dari Arab, khususnya Persia dan Irak.
Sedangkan masuknya Islam ke Nusantara, sebagaimana juga disebutkan di atas, yaitu dimulai dari dan oleh komunitas yang kemudian disebut Kekhalifahan Samudra Pasai, yang berdiri pada akhir abad ke-13 Miladiyah atau abad ke-4 Hijriyah, di mana pada masa-masa sebelumnya, berita keberadaan Islam di negeri Cina sudah mengalami kejayaannya sebagaimana juga disebutkan di atas. Walau ada sumber yang menuliskan bahwa masuknya Islam di Indonesia atau pertama kali masuk ke Nusantara pada abad pertama Hijriyah. Yakni, pada masa pedagang-pedagang sufi Muslim Arab memasuki Cina lewat jalur sarat dan laut bagian barat. Kesimpulan itu didasarkan pada manuskrip Cina pada periode Dinasti Tang. Manuskrip Cina itu mengisyaratkan adanya pemukiman sufi-Arab di Cina, yang penduduknya diizinkan oleh kaisar untuk sepenuhnya menikmati kebebasan beragama.
Peristiwa sejarah domestik yang derajatnya hampir bertaraf “mutawatir”, bahwa Islam berkembang dan sampai ke daerah yang ditujuanya di wilayah Nusantara, yaitu melalui interaksi perdagangan. Seperti yang sudah disinyalir di atas, bahwa barang dagangan yang paling banyak digemari, atau katakanlah barang dagangan yang best seller, yang laku keras, yaitu Nekara Perunggu, yakni gendang perunggu berbentuk seperti dandang berpinggang pada bagian tengahnya dengan selaput suara berupa logam atau perunggu. Di samping nekara perunggu, ada Gong Nekara buatan Dong Son, yang berasal dan terdapat di delta Sungai Merah Vietnam Utara. Industri atau kerajinan tangan dalam bentuk gendang dan gong berbahan baku perunggu menggunakan metode pengecoran logam yang yang oleh para peneliti sejarah dianggap sebagai salah satu contoh terbaik dari budaya kerja dan atau teknologi (industri) logam saat itu. Komoditas dari bahan baku nekara ini, ternyata juga digemari penduduk Nusantara kala itu bahkan sampai sekarang.
Dari gambaran di atas, dapat diprediksi bahwa para saudagar Arab telah melakukan transaksi perdagangannya dengan saudagar Cina, yang dengan begitu berarti mereka telah berinteraksi dan sekaligus menjalin hubungan yang lebih mendalam, yang bisa jadi pada saat itulah terjadi dan terbentuk komunitas Muslim Arab-Cina seperti digambarkan di atas. Giliran berikutnya, komunitas ini pulalah yang kemudian melakukan dakwah (menyebarkan) Islam ke (melalui) rute-rute perdagangan antara lain di semenanjung kepulauan/nusantara. Karena tokoh-tokoh pertama yang datang ke Cina adalah para utusan yang dikirim oleh sahabat Nabi Muhammad Saw.; khalifah Utsman bin Affan r.a. yaitu rombongan yang dipimpin oleh Sahabat Sa’ad bin Abi Waqash r.a. maka itu suatu hal yang niscaya jika missi dakwah Islamiyahnya langsung mendapat sambutan yang menggembirakan, yang pada giliran tahun-tahun berikutnya, mereka pun ikut melaksanakan missi Islam sembari berdagang datang ke wilayah Nusantara.
Suatu hal yang dapat dibenarkan, jika (dan memang sejak) zaman itu ada etnis Cina Tionghoa yang berperan besar dalam penyebaran agama Islam di Samudra Pasai khususnya dan di Nusantara atau Indonesia pada umumnya. Dapat dibenarkan juga jika selama ini, ada orang yang hanya mengetahui bahwa hanya orang Arab dan Indialah yang menyebarkan agama Islam di Nusantara. Padahal, sejak awal abad pertama Hijriyah Cina dan Arab telah memiliki hubungan dagang yang erat, yang saling menjual-belikan komoditas hasil negaranya masing-masing, untuk kemudian dijualnya lagi ke negara lain termasuk ke kepulauan Samudra Pasai, baik melalui jalur darat atau jalur sutra, maupun jalur maritim (laut). Jalur udara waktu itu masih belum ada.
Hubungan dagang antara Arab dengan Cina, informasi yang beredar kala itu, kabarnya terjadi jauh sebelum al-Qur’an diwahyukan kepada Nabi Muhammad Saw. Ini dapat diketahui dari tarikh Nabi Muhammad itu sendiri, yang semua Muslim tahu, bahwa Nabi Muhammad – sebelum diutus sebagai Rasulullah Saw – adalah seorang keluarga pedagang. Abdul Muthallib yang sebagai kakeknya, pedagang kelas padang pasir yang bersinyal tinggi. Ketika Muhammad mulai terlihat remaja karakter pedagangnya terlihat, maka kemudian mempersilakan Muhammad (cucunya) untuk ikut Abi Thalib bin Abdul Muthalib (adik kandung Ibu Aminah – ibunda Muhammad) untuk ikut membantu berdagang dan sukses besar. Lalu, Abi Thalib sebagai sang paman, lama-kelamaan merasa kurang enak-hati jika ponakannya itu terus-menerus disuruh membantunya untuk selalu berlayar, berdagang dari kabilah ke kabilah, dari kampung ke kampung, tanpa memberinya imbalan layaknya seorang sales profesional.
Abi Thalib kemudian menemui Siti Khadijah, seorang pedagang besar – mitra bisnis ayahnya (Abdul Muthalib) yang sedang membutuhkan karyawan ekspedisi yang bertugas mengirim pesanan komoditas para pelanggannya. Pucuk dicinta alam pun tiba; Siti Khadijah tentu merasa senang sekali atas kedatangan Abi Thalib, sekaligus menerima pemuda Muhammad yang sudah terlatih dan terdidik, plus sudah terkenal jujur dalam berdagang selama ikut Abi Thalib; mitra bisnisnya itu. Kemudian, setelah Muhammad diterima dan beberapa kali Muhammad menjalankan tugas dengan hasil besar; membuat Siti Khadijah pun kian sukses besar, menjadi pedagang dan grosir “tanpa tanding”; bukan hanya di wilayah sekitar jazirah Arab melainkan juga, mungkin, hingga Cina, minimal syi’ar atau keterkenalannya yang membuat ada sahabat Nabi yang mengatakan : uthlubul ’ilma walau bish-Shiin (tuntutlah ilmu kendati ada di negeri tirai bambu).
Dalam beberapa referensi, menyebutkan bahwa hubungan dagang antara Arab-Cina atau sebaliknya Cina-Arab yang terjadi pada awal-awal abad pertama Hijriyah, terutama setelah delegasi Ustman bin Affan pimpinan Abi Waqash bertandang ke Cina, maka hubungan dagang tersebut tambah lama tambah erat, bisa jadi untuk saling bekunjung pun terjadwalkan. Prediksi selanjutnya, dapat diterima akal sehat jika dalam kontak-mengontak itu terjadi pula interaksi spiritual. Pihak Arab datang ke Cina bukan saja untuk kepentingan bisnis, pun pula pihak Cina datang ke Arab, juga tidak hanya terkait kepentingan bisnis melainkan keduanya dipastikan untuk saling belajar, saling betukar ilmu, termasuk juga belajar al-Islam bagi delegasi Cina. Ini, nyata. Beberapa dari mereka (delegasi Cina) memeluk agama Islam dan saat kembali ke Cina merekapun menyebarkannya ke semua orang yang ditemui dan yang menemuinya. Misalnya ketika mereka berlayar untuk berdagang atau mencari barang dagangannya, sama dengan pemeluk Islam yang lainnya, yaitu minimal mereka menginformasikan agama Islam yang baru dianutnya, lalu mengajaknya untuk bersama-sama beragama Islam.
Agama Islam yang berkitab suci al-Qur’an, pada masa itu benar-benar masih berusia baru, baru lahir, atau baru seumur jagung. Beda jauh dengan agama Kristen. Agama Islam lahir bersamaan dengan wahyu pertama diterima Nabi Muhammad Saw., pada tahun 611 Miladiyah, atau awal abad ke-7 M. (17 Ramadhan tahun gajah, maksudnya tahun sebelum Hijriyah/ - 11 H./622 M.), sedangkan tahun kunjungan Abi Waqash a.s. ke Cina yaitu tahun 651 M. Dengan demikian, berarti usia agama Islam saat diterima Cina baru berusia 19 tahun (tahun kunjungan Abi Waqash, 651 M. dikurangi dengan tahun turunnya Q.S. al-‘Alaq, 611 M.), atau baru 8 tahun jika dilihat dari tahun Hijriyah.
Perbandingan masa tersebut, jika dibandingkan dengan proses sejarah kelahiran dan penetapan Samudra Pasai sebagai awal penyebaran agama Islam di kepulauan/nusantara, sangat jauh berbeda. Kalau ke dan di Cina, Agama Islam masuk tahun 651 Mesehi, sedangkan di dan ke Samudra Pasai, yaitu pada abad ke-13, tepatnya antara tahun 1270 – 1275, atau abad ke-6 Hijriyah, tepatnya antara tahun 569 – 575. Artinya, bangsa Cina mengenal Islam pada tahun 651 M., sedangkan Samudra Pasai diformalkan sebagai kerajaan pertama kerajaan Islam berdiri, yaitu sekitar tahun 1270 atau 1275. Jarak yang sangat lama inilah, yang menggambarkan kepastian ada peran Cina dalam proses penyiaran agama Islam di Nusantara, seperti yang akan diuraikan di bawah ini.
2. Perbandingan Waktu Masuknya Cina dan Arab (Islam) di Nusantara
Setelah memperhatikan prihal perbandingan waktu masuknya agama Islam di dan ke Cina dan Samudra Pasai, giliran berikutnya, yaitu mengetahui perbandingan waktu; agama Islam (bangsa Arab) yang lebih dahulu masuk ke wilayah Nusantara, ataukah bangsa Cina (non-Muslim) yang lebih dulu? Sejarah mencatat, ternyata bangsa Cina lebih dahulu menjadi pendatang di Nusantara.
Pada dasarnya memang, peristiwa awal masuknya agama Islam (bangsa Arab) di wilayah Cina yang sebagaimana dikedepankan di atas, itu masih terdapat perbedaan pendapat di kalangan para sejarawan. Namun, perbedaan yang dimaksud, tidak memengaruhi posisi Cina dalam perbincangan tentang perbandingan ini. Dengan kata lain, bahwa sebagaimana disebutkan di atas, sebagian besar sarjana berpendapat bahwa agama Islam masuk ke daratan Cina pada pertengahan abad ke-7 M yang bertepatan pada masa kepemimpinan Utsman bin Affan (Khalifah ketiga), yang ketika itu mengirim Saad bin Abu Waqqas ke Cina pada tahun 651 M untuk menghadap Kaisar Yong Hui di Ibu Kota Changan, dengan tujuan mengajak damai, agar Kaisar Cina kala itu tidak melibatkan diri dalam masalah peperangan antara pasukan Islam dan Persia. Pada saat itu Dinasti Tang yang berkuasa atas negeri Cina 618-905 M. Peristiwa ini diperkuat dengan adanya fakta yang berupa naskah annals pada masa Dinasti Tang. Banyak ahli sejarah Cina yang mengatakan demikian, antara lain Dr. Kong Yuan Zhi, Prof. Sachiko Murata, dan Dr. Marshall Bromhall.
Yang menarik, Dr. Ibrahim Tien Ying Ma berpendapat, bahwa agama Islam masuk ke wilayah Cina pada masa Rasulullah Saw, yakni sekitar tahun 618 M. (bukan 651 M sebagaimana tersebut di atas). Persentuhan yang pertama dibawa oleh sahabat Rasulullah Saw, yang bernama Sa’ad bin Lubaid. Menurut Ibrahim Tien Ying Ma, bahwa kedatangan Sa’ad bin Lubaid ke wilayah Cina karena pada masa itu para sahabat Nabi telah mengawali hijrah ke Ethiopia, tetapi suasana di Ethiopia dianggap kurang pas dan karenanya Sa’ad bin Lubaid meneruskan perjalanannya yang kemudian berlabuh di Kanton; pusat perdagangan di wilayah Cina pada saat itu. Pendapat ini diperkuat dengan adanya masjid pertama Kwang Tah Se di Kanton dan masjid Chee Linsee, yang didirikan oleh Sa’ad bin Lubaid dan Yusuf. Kedua masjid ini merupakan masjid tertua di daratan Cina yang kabarnya hingga saat ini masih ada. Kabarnya, sebelum Sa’ad bin Lubaid datang sebagai seorang Sahabat Nabi, ternya di Kanton sudah ada komunitas Arab dan atau para pedagangnya yang sudah bermukim di sana (Kanton) yang ternyata pula Kanton tersebut merupakan Bandar Perdagangan Internasional di dunia kala itu, dan itulah; sangat wajar jika Cina sejak dan atau kala itu sudah sangat terkenal. Wajar pula kalau kemudian tersebar ungkapan Arab (yang diduga banyak kalangan Muslim menyebutnya sebagai Hadits, yaitu uthlubul ‘ilma walau bish-Shien (tuntutlah ilmu kendati ada di daratan tirai bambu).
Pertanyaannya kemudian, apakah dengan masuknya agama Islam ke Cina itu kemudian sekaligus juga dapat dipahami bahwa bangsa Cina dengan Islamnya itu lalu masuk ke Nusantara? Atau, apakah ketika Cina masuk ke Nusantara sekaligus juga dengan membawa Islam? Tentu tidak. Tetapi, Cina ternyata lebih dahulu (pertama kali) menginjak bumi Nusantara diperkirakan jauh sebelum al-Qur’an diwahyukan kepada Nabi Muhammad Saw. atau jauh sebelum bangsa Arab (agama Islam) masuk ke wilayah Nusantara. Berdasarkan kajian arkeologis, bahwa ada benda di Sumatera Selatan, namanya genderang perunggu berukuran besar (tinggi 1 meter dan berat lebih dari 100 kg). Benda ini (di atas disebut “Nekara”) buatan Cina tahun 600 sebelum masehi, sekali lagi “Sebelum Masehi” pada masa dinasti Han (600 sm – abad ke-3 Masehi). Keberadaan benda tersebut di Sumatera Selatan itu, diperkirakan sejak antara abad ke-4 hingga abad ke-7, yang berarti bangsa atau benda produk Cina sudah masuk (ada yang membawanya ke) Sumatera Selatan mulai abad tersebut (abad ke-4 – ke-7 miladiyah), ambil jalan tengahnya, abad ke-5 masehi.
Jika dipahami lewat “jalan tengah” tadi, yang berarti bahwa bangsa Cina masuk ke Nusantara (Indonesia) sekitar abad ke-5 berarti memang sebelum agama Islam (baca –al-Qur’an diwahyukan), dan berarti pula bahwa mereka (bangsa Cina) yang datang ke Nusantara, agama yang dianutnya, tentu agama yang kala itu sudah ada di negeri Cina. berdasarkan kajian sosiologis, pada awalnya masyarakat Cina tidak memiliki agama, bahkan nama negaranya pun tidak punya. Keduanya (nama negara dan nama agama di Cina, masing-masing) berasal dari nama tokoh, yaitu: Pertama Taoisme yang kemudian berkembang menjadi Tiongkok, dikenal juga dengan Daoisme yang diprakarsai oleh Laozi, yang nama lahirnya Zhang Jue atau Zhang Jiao. Kedua Kong Hu Cu atau Konfusius (551 – 479 SM), seorang guru yang sangat bijak dan dikenal juga sebagai filosof Tiongkok, yang dalam perkembangan berikutnya dinobatkan pengikutnya sebagai seorang Nabi, dan Konghucu sah sebagai nama agama. Yang pertama tadi (Taoisme), di samping – dalam perkembangannya – menjadi (asal usul dari nama) Tiongkok, juga menjadi sebuah agama, yaitu agama Taoisme, agama yang dalam perkembangan kalah populer dengan agama Budha yang masuk ke Cina pada abad ke-2 Masehi.
Selain Toisme dan Konghucu, terdapat juga agama Budha, yang masuk dan dianut sebagian masyarakat Cina mulai abad ke-2 Masehi, yang berarti memang – bisa jadi – yang datang berlayar dan berdagang di wilayah Nusantara, dipastikan bukan Muslim. Kuat dugaan, beragama Budha. Sementara, Islam sendiri baru datang diperkenalkan dan berkembang di Cina yaitu pada akhir abad ke-7, tepatnya tahun 651 Masehi. Secara keseluruhan grafik agama nasyarahat Cina yaitu : 1 atheis/komunis 73.56%, Taoisme, Sekte rakyat dan organisasi keagamaan 15,87%, Kristen 2,53%, dan Islam 0,45%
3. Peran Bangsa Cina dalam Penyebaran Islam di Nusantara
Setelah mengetahui runutan waktu penyebaran agama Islam di Cina dan di Nusantara (yang ternyata di Cina lebih dahulu mengenal agama Islam daripada di semenanjung Nusantara), dan runutan masuknya agama Islam dan bangsa Cina ke Nusantara (yang, lagi-lagi Cina lebih dahulu masuk dan menyebar di Nusantara daripada Islam), maka, untuk sementara dapat diprediksi, bahwa Cina yang lebih dahulu masuk ke Nusantara tersebut (daripada bangsa Arab) dan oleh karena itu pasti Cina memunyai peran penting ketika penyebaran agama Islam atau bangsa Arab memasuki wilayah Nusantara. Adapun, alasan kenapa dan apa peran Cina dalam mengembangkan atau mendakwahkan agama Islam di semenanjung Nusantara, insya Allah akan tergambar dalam uraian panjang dan sederhana dalam naskah ini.
Sebagaimana ditunjukkan dalam pendahuluan tulisan ini, bahwa untuk memperbincangkan peran Cina dalam penyebaran Islam di Nusantara, apakah ada atau tidak, sebesar apa peran itu jika memang ada, cukup penting untuk menelaah dan mengungkap prihal khilafah Nusantara. Iya, penting banget. Pasalnya, gelombang dan frekwensi penyebaran politik mazhab khilafah Nusantara, kini kian tampak waw atau ih kendati sesungguhnya baru muncul pada akhir-akhir era reformasi periode Jokowi. Untuk saat yang tidak bisa diprediksi kapan berakhirnya, mereka terlihat sangat aktif dalam mensyi’arkan profile dan gerakannya (yang mengaku lebih berperan) dalam hal ber-Islam secara kaffah, terutama dalam hal kekhalifahan atau kekhilafahan dalam sejarah masuk dan perkembangan agama Islam di semenanjung Nusantara.
Jadi, pengungkapan prihal Khilafah Nusantara ini sesungguhnya bukan saja dimaksudkan untuk menyerbut HTI (Hisbut Tahrir Indonesia dan sejenisnya yang muncul di era reformasi, walau sudah dibekukan izin keberadaannya di Indonesia), melainkan juga (karena dalam kasus tertentu hampir sama dengan ormas terlarang lainnya, yaitu masih gentayangan dan terkesan ada kelompok intelektual yang berada di belakang masing-masing) untuk mengimbangi (ngeladeni) gerakan mazhab khilafah yang tampaknya sedang berusaha memalingkan bahkan menghilangkan, minimal mengurangi peran historis masyarakat (bangsa) Cina di Nusantara.
Ditulisnya naskah ini, bisa jadi pula dianggap masuk dalam salah satu geng “Nusantara” itu. Walau naskah ini ditulis dan menuliskan apa adanya; tidak ada niat untuk masuk apalagi memihak ke salah satu geng; khilafah Nusantara atau komunis Nusantara, semuanya diserahkan pada hasil simpulan masing-masing pembaca naskah ini. Dalam hal khilafah misalnya, hanya berharap pada semua untuk melihatnya sebagai suatu istilah yang perlu diberikan pengertian (definisi) yang bersifat kontekstual, hanya berkaitan dengan disiplin ilmu orang yang mendefinisikannya. Orang yang mempunyai keahlian (disiplin ilmu) politik misalnya, maka dia bisa saja mendefinisikan istilah khilafah sebagai sinonim dari kata khalifah, imam, amir, ulil amri, raja, perdana menteri, kepala negara, presiden, atau para pejabat kepala daerah, semuanya adalah bagian dari pengertian khilafah. Orang yang mempunyai disiplin ilmu ekonomi manajemen, istilah khilafah bisa masuk dan dipahami dengan mengaitkan persoalan manajerial; misalnya bisa dikaitkan (khilafah tadi) disinonimkan dengan presiden komisaris (preskom), komisaris, direktur utama, direktur, kepala kantor, kepala bagian, dan seterusnya, itu semua bagian dari pemahaman/konsep khilafah. Jadi, istilah khilafah – sekali lagi – tidak perlu diperdebatkan, ia hanya sebuah istilah keilmuan yang edar di kampus-kampus, termasuk kampus merdeka.
Bahwa istilah khilafah tersebut sebenarnya tidak sesederhana itu, ia memang saat ini sudah menjadi konsumsi publik politik yang tidak mudah untuk mengembalikan ke pangkalnya (sebagai istilah keilmuan semata). Iya, tidak mudah, karena ternyata memang ada beberapa istilah dalam al-Qur’an atau dalam al-Hadits yang sering dipahami untuk kemudian menjadi sebuah nama komunitas yang pada giliran berikutnya, komunitas tersebut menjadikannya sebagai sebuah aliran (mazhab) yang mengikat sistem kehidupan, baik kehidupan duniawi (transenden) maupun intransenden.(ukhrawi), baik yang terpisah (tersendiri; aspek ukhrawi saja) maupun yang kedua-duanya (ukhrawi dan duniawi).. Misalnya, dalam al-Qur’an ada/ditemukan kata (dalam bahasa Arab disebut “kalimat”) Ahmad, lalu kata itu menjadi sebuah nama komunitas/mazhab “Ahmadiyah” . Kata (kalimat) ahlul-bait, menjadi kelompok atau jam’iyah mazhab. Kata atau kalimat “Muhammad”, menjadi/dijadikan nama kelompok (ada yang bilang mazhab) Muhammadiyah.
Tidak berbeda dengan istilah atau kata (kalimat) “khilafah” yang konon diklaim ada dalam al-Qur’an. terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 30, padahal yang sebenarnya dalam ayat tersebut kalimatnya yaitu : pxÿ‹Î=yz (kha – li – fatun), bukan khi – la – fatun. Jelasnya, ayat tersebut yaitu :
øŒÎ)ur tA$s% š•/u‘ Ïps3Í´¯»n=yJù=Ï9 ’ÎoTÎ) ×@Ïã%y` ’Îû ÇÚö‘F{$# Zpxÿ‹Î=yz (
Proses perubahan bentuk dari “khalifah” menjadi “khilafah”, terkesan sangat politis, dan memang bermakna dan bersifat politik. Kalaupun mendasari dengan nahwu, dalam hal ini tashrif atau i’rab, namanya juga i’rab atau tashrif politik. Khalifah, bisa menterjemahkan dengan pemimpin; pemimpin apa saja, sifatnya masih umum; khalifah fil ardhi atau fil ardhi khalifah. Sedangkan khilafah, bermanka “kepemimpinan” yang mengandung faham dan pengertian sistem. Dari sini, jika menjadikan kata khalifah berubah menjadi khilafah, lalu bermakna sistem kepemimpinan atau sistem pemerintahan, masih dapat diterima selama masih bersifat umum sistem atau sistem yang masih umum; tidak mengikatkan sistem dalam sistem khusus. Makna khilafah sekarang, terutama yang dikembangkan oleh khilafah Nusantara, ya, tadi, sistem pemerintahan yang sudah terdefinisikan berdasarkan paham mereka sendiri, yaitu faham atau mazhab khilafah, yang menilai dan sekaligus menolak sistem demokrasi Pancasila yang sebagai landasan negara kesatuan republik Indonesia
Yang menarik dari mazhab khilafah Nusantara tersebut, yaitu bahwa menurut mereka sistem pemerintahan khilafah di Nusantara sudah sangat mapan, dirujuk dari dan sejak rezim Khulafau Rasyidin. Terbukti dalam sejarah, bahwa dalam pergolakan sejarah nasional maupun sejarah masuknya Islam ke Nusantara, istilah raja atau sultan, sudah diperkenalkan sejak lama, sejak masa awal keberadaan Islam di Nusantara, yaitu dengan berdiri dan berkembangnya kerajaan atau kesultanan Samudra Pasai sebagaimana disebutkan di atas. Istilah raja, menurut faham khilafah Nusantara sama dengan makna khilafah yang dipraktekkan sejak masa Bani Umayah atau dinasti Muawiyah, pasca Khulafaur Rasyidin. Yang berkembang di Indonesia, hingga saat ini masih ada kerajaan dengan nama yang berbeda, yaitu sulthan atau kesultanan Yogyakarta misalnya. itu pertanda bahwa persoalan khilafah sudah ada sedari awal Islam hidup dan berkembang di Nusantara. Malahan, kata mereka, bahwa khilafah itu sendirilah yang membawa Islam dari Arab langsung ke Nusantara, dengan bukti bahwa khilafah dalam arti kerajaan memang nyata sudah ada dari awal Islam itu datang atau menyebar di Nusantara.
Dengan pemahaman prihal khilafah yang ada dan yang telah tergambar di atas, klaim selanjutnya menegaskan bahwa tidak ada peran warga (Muslim) Cina dalam proses kehadiran, kemenetapan, dan kegerakan agama Islam di Nusantara. Mereka bilang, bahwa masuknya agama Islam ke Nusantara, tidak ada kaitan dengan Cina. Islam datang ke Nusantara, katanya, langsung dari Arab; tidak melalui India apalagi Cina. Malah, kata mereka pula, bahwa justru Khilafah-lah yang berperan dalam penyebaran Islam di Cina, bukan sebaliknya. Pendapat demikian, diperkuat dan digambarkan lagi dengan diproduksinya film JKDN (Jejak Khilafah di Nusantara) yang saat ditulisnya naskah ini sudah beredar JKDN jilid (seri) keduanya. Walau kabarnya JKN yang pertama telah distop peredarannya tetapi dengan munculnya JKDN 2 mengesankan bahwa itulah “Mazhab Khilafah Nusantara” masih membandel, akan terus – secara mustatir – mengebiri peran Cina (yang dikatakannya sebagai “Komunis Nusantara”).
Dari pengungkapan seputar khilafah di atas, berikut pengungkapan prihal masuknya Islam ke Cina dan ke kepulauan/nusantara, dapat dipahami bahwa kehadiran masyarakat Cina ke Nusantara, ternyata “tanpa gejolak”. Baik Cina dalam arti suku atau bangsa, maupun Cina dalam arti Islam (Muslim Cina). Kehadirannya di Nusantara, yang ternyata lebih dulu daripada Muslim berbangsa Arab, murni dalam misi dagang, sama dengan kehadiran Cina ke Arab, pusat Agama Islam kala itu. Walau sesungguhnya pada masa awal kedatangan Cina ke Nusantara dengan membawa agama Budha, tetapi tidak ditemukan bukti atau naskah yang menyebutkan kedatangannya bermissi Budhaisasi dengan kekerasan. Bisa jadi, karena sesungguhnya pada saat kedatangan mereka (Cina) ke Nusantara, agama yang banyak dianut bangsa Nusantara juga beragama Budha, yang ketika Islam datang ke Nusantara ini sama dengan kedatangan Islam di/ke Cina, yaitu dengan damai, sejuk, dan menyejukkan serta tanpa perlawanan.
Berbeda jika pembawa ajaran agama Islam ke Nusantara itu mereka yang bermazhab khilafah (Nusantara). Pasti terjadi benturan selama tujuannya belum di dan tercapai.. Ya, pasti begitu karena itu tadi, bahwa khilafah itu sudah merupakan suatu mazhab politik yang tujuan perjuangannya pasti mengambil alih khalifah atau (merebut posisi) pemimpin berikut sistem kepemimpinannya. Diakui atau tidak, jika kata (kalimat) khalifah fil ardh atau fil ardhi khalifah sudah dipahami dengan dan oleh akal (apalagi nafsu) politik, pasti menjadi mazhab, sebagaimana tersebut di atas, yaitu mazhab khilafah, yang sudah terlihat metode dan atau gaya perjuangannya. Dengan bekal ayat-ayat jihad, amar ma’ruf nahi munkar, mereka tidak segan-segan untuk (minimal) melontarkan kalimat atau kata-kata yang memancing permusuhan. Jangankan kepada mereka yang tidak seagama, kepada yang seagama pun mereka takkan segan untuk menudingnya dengan kata kafir misalnya. Qulil-haqqa walau kaana murran!, teriaknya. Allahu akbar!, sahutnya.
Dengan begitu, berarti dapat dipastikan bahwa ada peran warga bangsa Cina yang sangat bermakna, yaitu turut memperlancar proses penyebaran ajaran (agama) Islam ke dan di Nusantara. Bisa jadi, justru bangsa Cina – karena datang duluan – yang mengawali penyebaran agama Islam di wilayah-wilayah di mana mereka datang berdagang dan menetap, atau karena – bisa jadi – bangsa Cina yang datang ke Nusantara terdapat pula pedagang (Cina) yang sudah beragama Islam karena tadi itu; Islam sudah duluan datang ke Cina baru kemudian ke wilayah-wilayah Nusantara.
Pengungkapan istilah “Komunis Nusantara” yang dialamatkan kepada bangsa Cina yang ada di Nusantara, yang karena memang mayoritas bangsa Cina beragama dan berpartai komunis (73, 56% tidak beragama/komunis), sebaiknya juga diposisikan sama dengan istilah khilafah Nusantara. Iya, sama dalam arti sama-sama istilah keilmuan yang sebaiknya hanya ditelaah-pahami untuk kepentingan sebatas jaga diri dari dampak yang ditimbulkannya. Dengan kata lain, istilah komunis (Nusantara) yang dinisbatkan dengan dan kepada bangsa Cina saja. Semisal dengan istilah kafir, munafik, dan sejenisnya, yang perlu untuk dipahami, bukan untuk dilaksanakan. Istilah-istilah dalam al-Qur’an tidak semua yang – jika sudah dipahami – perlu dilaksanakan, sebaliknya juga tidak semua untuk dihindari. Begitu juga istilah dalam bahasa yang lain, bahasa Indonesia misalnya, banyak yang perlu dipahami tetapi bukan untuk dilaksanakan. Istilah selingkuh, pacaran, maling, korupsi, dan sejenisnya, itu semua hanya perlu dipahami tetapi tidak dilaksanakan. Sama dengan “komunis”, baik komunis nusantara (PKI) maupun komunis Cina (Partai Komunis Cina), sama, hanya perlu dimengerti untuk dihindari (dan tidak dilaksanakan). Peran Cina dalam konteks ini, sudah memperlihatkan kepercayaan dan jati dirinya sebagai (yang kebetulan) Muslim Cina yang baik, yang - kendati di negeri asalnya dikatakan Komunis tetapi – tampak tidak melakukan perlawanan dengan dan terhadap ajaran Islam yang datang dan didatanginya di daratan atau lautan wilayah Nusantara.
Setelah agama Islam secara nyata anggota masyarakat mulai banyak yang masuk, membentuk komunitas, lalu melahirkan kerajaan Samudra pasai di Nusantara, peran Cina – di samping telah terlihat sukses membendung atau bahkan memutus mata rantai ideologi khilafah dan komunis – yaitu turut serta mensukseskan dakwah Islam, bukan saja pada saat-saat awal persyi’arannya tetapi juga pada tahun-tahun selanjutnya yang akan dijelaskan pada bagian lain (misalnya bagian/bab Islam dan Cina di era kolonial, era kemerdekaan, dan era kontemporer). Dalam naskah ini, sebagaimana tersebut di atas, hanya membicarakan peran Cina sebatas pada situasi dan kondisi sebelum dan sesaat kerajaan Samudra Pasai berdiri, hingga kedatangan kaum kolonial sekitar abad ketujuh belasan.
Di atas dikemukakan, bahwa kedatangan bangsa Cina ke kepulauan/nusantara jauh sebelum agama Islam datang ke Nusantara, yaitu diperkirakan pada abad ke-5 atau tahun 400-an dan Agama Islam masuk Cina abad ke-7. Ini menunjukkan bahwa pada saat agama Islam datang ke wilayah Nusantara, yang diperkirakan abad ke-13, tidak tertutup kemungkinan warga Cina yang ada di wilayah Nusantara saat itu adalah Saudagar yang sudah memeluk agama Islam, yang dengan demikian berarti pembawa agama Islam ke Nusantara, yaitu, entah siapa, prakiraan hanya menyebut pedagang atau saudagar Cina yang beragama Islam, yang tempat tinggalnya tidak jelas, menetap atau tidaknya juga tidak jelas, dan ketidakjelasannya inilah yang sebenarnya itu hanya berupa asumsi penaskah.
Supaya ketidakjelasan itu tadi menjadi jelas, maka perlu dijelaskan, bahwa kedatangan masyarakat Cina yang sudah beragama Islam, itu sudah jelas, ada, dan mereka itu yang – menurut istilah sekarang – disebut dengan imigran Muslim Cina yang datang ke Nusantara, yang tercatat, terjadi pada masa Dinasti Ming, hampir sepanjang abad ke-15, yang sebagian besar berasal dari Guang Dong dan Fujian. Imigran Muslim Cina ini, tujuannya mencari hidup dan kehidupan. Istilah sekarang mereka ini disebut TKA, tenaga kerja asing, yang akan bekerja sesuai bidangnya dan keahliannya. Ada yang kerja di bidang perdagangan, ada yang di bidang pertanian, dan ada juga yang bekerja di bidang pertukangan, tukang kayu atau tukang bata.
Yang menarik, para imigran Cina Muslim tersebut, ternyata bukan hanya sebagai TKA yang tekun bekerja, melainkan juga sebagai imigran yang tekun melaksanakan dakwah, menyebarkan ajaran Islam, bertindak sebagai guru ngaji, mengajarkan kembali pengajaran yang didapat, dan yang bisa saja berbuat kebaikan yang akan dapat mengisi-warnai sekaligus berperan penting dalam segala aspek penyiaran ajaran Islam di Nusantara. Beberapa daerah tujuan imigran Muslim Cina kloter pertama ini antara lain yaitu wilayah Sumatera, Palembang, Sambas, Lasem, Banten, Jepara, Tuban, Gresik, dan Surabaya. Menurut catatan sejarah, gelombang imigrasi Muslim Tiongkok ini, seperti disebutkan di atas, terjadi hampir sepanjang (awal-awal separo atau setengah) abad ke-15, tepatnya antara tahun 1405 sampai tahun 1433 M.
Yang menarik juga, ternyata para imigran Muslim Cina yang bersinggah bahkan menetap di daerah-daerah sebagaimana disebut di atas (Sumatera; Palembang, dst..) hampir semua daerah tersebut dikunjungi oleh petinggi (pejabat) Dinasti Ming yang beragama Islam, yaitu Laksamana Cheng Ho, pejabat atau petinggi dan tokoh Muslim Cina yang berperan besar dan bahkan sangat besar, yang Insya Allah takkan pernah dilupakan oleh minimal para ahli sejarah pergerakan Islam dan umat Islam di Indonesia hingga kini dan nanti karena memang Laksamana Cheng Ho yang beragama Islam ini sudah beberapa kali singgah di Nusantara.
Setiap kali Laksamana Cheng Ho berlayar melaksanakan missi dagang keliling dunia, kabarnya menggunakan kapal (dengan awak berjumlah) besar, selalu dan sengaja menghampiri Nusantara, yang kebetulan dikabarkan sudah ada warga Tionghoa yang sudah duluan berstatus imigran di perkampungan Nusantara. Anak buah (prajurit) Cheng Ho, mungkin karena dalam jumlah besar, walau tidak semuanya beragama Islam, dalam setiap kali kunjungannya, selalu di tempat-tempat (daerah) di mana yang di dalamnya terdapat imigran Muslim Cina yang sudah duluan tadi. Tujuannya, tentu banyak; bersilaturrahmi sesama etnis Cina, mengadakan pertemuan mendakwahi para imigran Cina khususnya dan anggota masyarakat sekitarnya, dan setiap kali pamit meninggalkan mereka Laksamana juga selalu memberi-tinggalkan kenangan.yang sangat bernilai-peran dalam penyebaran ajaran Islam di daerah sekitar khususnya, yang tentu akan menjadi bagian sangat penting dalam memperbincangkan peran Cina pada masa-masa selanjutnya di Nusantara umumnya.
C. Penutup
Untuk mengakhiri naskah nini, bukan simpulan yang dikemukakan, melainkan sebait kalimat harapan, yaitu : Bagi siapapun yang mengaku hidup beragama, apalagi yang ketepatan beragama Islam, maka selayaknya membaca-pahami, mengamalkan dan meneladani jejak-langkah Muslim imigran Cina yang pada periode atau tahun-tahun awal masuknya Islam di nusantara, mereka tampak tekun mencari nafkah, tekun beribadah; memohon berkah dan Rahmat dunia dan akhirat. []
Komentar
Posting Komentar