Komitmen Muhammadiyah : DARUL-AHDI WAS SYAHADAH

    Memaknai Komitmen Muhammadiyah: Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi was-Syahadah

 

Oleh : Noor Chozin Agham

 

 

            Dengan menegaskan bahwa Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi wa Syahadah, berarti secara langsung atau tidak langsung Muhammadiyah menempatkan negara Pancasila dalam hal ini Negara Kesatuan Republik Indonesia, betul-betul sudah final dan memfinalkan kembali, menjadi final dan memfinalkan. Artinya, bahwa Negara Pancasila itu sesungguhnya sedari (seusai) persetujuan terhadap pencoretan 7 kata dari Piagam Jakarta (16 Agustus 1945 yang disahkan dalam sidang PPKI 18 Agustus 1945)[1] sudah final, lalu oleh Muhammadiyah difinalkan kembali dengan fatwa politik bahwa Negara Pancasila adalah Darul Ahdi wa Syahadah yang diputuskan lewat dan atau melalui perhelatan akbar bertajuk Muktamar Muhammadiyah Ke-47, 2015 di Makassar.

Setelah – mungkin – ada kemantapan dari apa yang dikedepankan di atas prihal Muslim Pancasila, maka untuk penguatan lanjutannya diperlukan argumen normatif, agar menambah yakin atas kebenaran narasi yang diungkap sebelum ini. Argumen normatif yang dimaksud, yaitu dalil-dalil yang mendukung kemestian predikat Muslim Pancasila sebagai Muslim Wasathiyah, yang dalam bahasa pemerintah (politik) mengidentikkannya dengan istilah moderasi Islam menuju Muslim moderat. Naskah ini tidak bermaksud untuk mengkoreksi istilah moderasi dengan wasathiyah, melainkan untuk merunutkan argumen dari mulai penyatuan berbagai budaya dan suku yang beragama Islam suku lain (pendatang, Cina dan Arab misalnya) yang juga Muslim, selanjutnya menjadikan Muslim Pancasila, berkesudahan dengan Muslim atau Islam wasathiyah.

Muslim wasathiyah, dipastikan ada hubungan dengan Muslim Pancasila, untuk kemudian dipertemukan dengan konsep Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi wa Syahadah. Gambaran dari konsep-konsep itulah yang sesungguhnya sebagai wujud dari konsep Islam wasathiyah. Iya, karena dalam konsep Islam wasathiyah, yang pernah dikemukakan MUI saat Prof. M. Din Syamsuddin masih sebagai Ketua Umum MUI, yang sebenarnya juga diakui sebagai konsep dari dan untuk Muhammadiyah, yaitu dengan menempatkan Islam berada pada posisi tengah (Islam Tengahan) dan atau lurus (Islam garis lurus). Jika Islam diibaratkan sebagai jalan, pilih jalan tol dan ambil posisi di jalur tengah, bisa untuk menyalip dan disalip. Jika Islam yang lurus tadi diibaratkan/diumpamakan sebagai penggaris, ya, penggaris yang tentu berkonotasi lurus, menjadi garis lulus.  Ditempatkan di mana saja tetap lurus, jika diberdirikan, musti harus tegak-lurus supaya tidak roboh.

Islam Wasathiyah yang bermakna jalan tengah dan garis rulus tadi,dalam aplikasi atau penyatalaksanaannya, akan diterlihat atau bida digambarkan melalui sikap dan sifat, minimal:

Pertama, toleransi yaitu kepemilikan sikap dan perbuatan yang  menunjukkan simpatik, bukan berlawanan, bukan permusuhan, dan bukan dendam. Istilah yang sering semua dengar (seperti) toleransi beragama, itu artinya saling menunjukkan sikap simpatik, bersahabat, saling menghormati, menghindari permusuhan, meniadakan dendam. Banyak kasus atau permasalahan toleransi beragama yang sering muncul di permukaan, menjadi berita yang tidak pernah absen, yaitu terjadinya sekelompok orang penganut agama tertentu merusak atau membakar tempat ibadah, seperti Masjid atau Gereja. Ada beberapa Firman Allah yang memberi petunjuk kepada umat Islam supaya tidak mengolok-olok apalagi membakar tempat-tempat ibadah umat lain yang sama-sama mengakui keberadaan Tuhan. Contoh kasus yang juga sering muncul yaitu seputar perayaan Natal bagi Katholik dan Protestan. Banyak tokoh Muslim yang masih dengan tegas mengatakan haram hukumnya turut mengucapkan Selamat Natal kepada mereka.

            Contoh kasus lainnya yang juga masih sering didiskusikan, yaitu menjawab atau mengucapkan Salam kepada dan dari mereka yang bukan Muslim, yang sesungguhnya juga ada kesamaan dan hubungan dengan kasus mengucapkan Selamat Natal. Terhadap kasus ini, Muslim Pancasila (wasathiyah) memandang boleh saja dilakukan. Salah satu alasannya, yaitu Firman Allah Swt. sebagai berikut:

#sŒÎ)ur LäêŠÍhãm 7p¨ŠÅstFÎ/ (#qŠyssù z`|¡ômr'Î/ !$pk÷]ÏB ÷rr& !$ydrŠâ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. 4n?tã Èe@ä. >äóÓx« $·7ŠÅ¡ym

Artinya:

Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu. (Q.S. al-Nisa/4: 86)

 

            Kedua, Moderat. Prof. M. Din Syamsuddin, sering kali memaknai “shirathal mustaqim” (Q.S. al-Fatihah: 6) atau “ummatan wasathan” (Q.S. al-Baqarah 143) dengan istilah moderat. Tanpa harus mengganti terjemahan umumnya yaitu “jalan yang lurus” atau umat tengahan, sudah dapat dipahami bahwa jalan yang lurus (shirathal-mustaqim) atau umat tengahan, adalah jalan yang tidak belak-belok; tidak ke kanan dan tidak ke kiri, tidak bergeser ke kanan dan tidak juga ke kiri, tetapi tetap ada di tengah. Bahasa lainnya, ya, moderat itu tadi, sesuai dengann Allah Swt. dalam Q.S. al-Fatihah: 6-7 dan  Q.S. al-Baqarah: 143.   Ketiga, Rasional. Dalam sebuah ungkapan Arab – yang menurut beberapa Ulama disebut Hadits, ad-Dinu aqlun, laa diina liman laa aqlalah. Agama (Islam) adalah akal, tidak ada agama bagi orang yang tidak berakal. Dalam al-Qur’an telah banyak dijumpai ayat yang menggedor-gedor manusia supaya menggunakan akal pikirannya. Istilah rasional dalam khazanah intelektual Islam lebih dikenal dalam disiplin ilmu kalam atau teologi, yang dialamatkan kepada teologi Muktazilah, sedangkan yang tidak rasional ditudingkan ke arah teologi Ahlussunnah Waljama’ah (Aswaja) yang lebih dikenal dengan istilah Sunny. Pertanyaannya kemudian, apakah rumusan-rumusan terminologis di atas lebih bercorak pada teologi Muktazilah, bukan Sunni? Jawabnya, bisa yes bisa juga no!,[2].  Di sini yang ingin disampaikan, bahwa definisi-definisi tentang Islam yang telah dikemukakan bersumber dari beberapa ayat al-Qur'an, sangat rasional dalam arti tidak ada yang bertentangan dengan akal sehat. Misalnya Q.S. al-Anbiya: 107 (wa maa arsalnaaka illaa rahmatan lil ‘aalamiin) dan Q.S. al-Maidah: 3 (al-yauma akmal-Tu lakum diinakum wa atmam-Tu ‘alaikum ni’matii …), adalah sangat masuk akal dalam kurung rasional. Ini jelas, karena semua orang mengakui ada yang Maha Pencipta dan Maha Sempurna serta Maha Segalanya di dunia ini, yaitu Tuhan, yang dalam bahasa Muslim wasathiyah, yaitu Allah Swt. Sangat tidak mungkin jika agama yang diwahyukan-Nya tidak sempurna. Dengan kata lain, siapapun yang menjadi umat-Nya, pasti akan meyakini kesempurnaan ajaran agama-Nya.

            Keempat, Plural dan Liberal. Istilah ini sangat tidak dikenal bagi golongan Islam tradisional, karena istilah ini mulanya hanya dikenal dalam disiplin ilmu ekonomi dan politik, kini (sudah lama) masuk ke dalam perkembangan pemikiran ke-Islaman. Kalau istilah ini sudah dikaitkan dengan isme, menjadi liberalisme, maka respon umat Islam pun menjadi beragam hingga muncul kembali istilah tandingan seperti ekstrimisme, eksklusifisme, radikalisme, dan fundamentalisme, lalu menuding pemihak liberal sebagai Spilis (skularisme, pluralisme, dan liberalisme). Firman Allah Swt dalam Q.S. al-Hujurat: 13 yang sudah dikutip di atas (yang terjemahnya) yaitu : Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan Anda semua dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian menjadikan Anda berbangsa-bangsa, bersuku-suku supaya Anda saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara Anda di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara Anda. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (Q.S. al-Hujurat: 13).

Ayat ini, diakui semua kalangan, bahwa Allah Swt. menciptakan manusia awalnya dari seorang diri, laki-laki, yaitu Adam As., lalu disusul dengan menciptakan Hawa sebagai pasangan (istri), lalu dari sepasang suami-istri (Adam-Hawa) ini beranak-pinak, yang secara alami berkembang, lalu menyebar ke segala penjuru dunia, lalu secara otomatis perkembangan fisik dan psikhisnya mengikuti kehendak (proses) alami yang tentu beraneka, lalu berbeda pula budaya, suku, ras, dan bangsanya, lalu giliran berikutnya sampailah kepada istilah masyarakat plural dan atau pluralisme, lalu berikutnya lagi dari segi budaya sangat sah disebut multikultural dalam dunia (globalitas). Kaku lagi, Allah Swt mewahyukan al-Qur'an (al-Islam) kepada para Rasul dan semua Nabi, sebagai hidayah dan rahmat Allah bagi umat manusia sepanjang masa, yang menjamin kesejahteraan hidup materiil dan spirituil, duniawi dan ukhrawi. Ini menunjukkan, bahwa Islam yang diwahyukan sejak Nabi Adam a.s. hingga Nabi Muhammad Saw. untuk keselamatan dan kesejahteraan umat manusia sepanjang masa. Atau, agama yang diwahyukan Allah Swt. bukan hanya kepada Nabi Muhammad Saw, melainkan juga kepada semua Nabi dan Rasul-Nya, seperti yang disinyalir dalam banyak ayat al-Qur’an antara lain Q.S. al-Baqarah: 136 yang terjemahannya:

Katakanlah (hai orang-orang mukmin): Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma'il, Ishaq, Ya'qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya. (Q.S. al-Baqarah: 136).

Para Nabi dan para Rasul yang dimaksud dalam definisi di atas, yang diteguhkan oleh Q.S. al-Baqarah: 136, antara lain termasuk Nabi Isa a.s. Seperti diketahui, bahwa Nabi Isa a.s.  (menurut sebagian umat manusia) adalah sebagai pembawa agama Kristen (Katolik dan Protestan).  Persoalan kemudian kenapa ada umat Nabi Isa a.s. dahulu dan sekarang tidak mau dikatakan Muslim (beragama Islam)? Hemat penulis, itu sesungguhnya secara sosiologis hanya karena persoalan politik yang hampir pasti tidak ada hubungannya dengan persoalan penamaan agama. Dalam sejarah perkembangannya, azas utama politik adalah kepentingan diri dan atau kelompok. Apapun persoalan yang dihadapinya, akan senantiasa dikaitkan dan mempertimbangkan kepentingan subjektif, dan karenanya  tidak perlu merasa heran kalau ternyata sebagian umat Nabi Isa a.s. masih mengklaim dirinya sebagai umat Kristen (Katolik dan Protestan), ditandai dengan masih ada di antara mereka yang tidak menyukai agama Islam, agama yang sesungguhnya dianut oleh Nabi Isa a.s.[3]

Kelima, Menggembira-Damaikan. Ber-Muslim wasathiyah, selayaknya adalah menggembirakan, Firman Allah Swt antara lain:  :

Wxß tûïÎŽÅe³t6B tûïÍÉYãBur žxy¥Ï9 tbqä3tƒ Ĩ$¨Z=Ï9 n?tã «!$# 8p¤fãm y÷èt/ È@ߍ9$# 4 tb%x.ur ª!$# #¹ƒÍtã $VJŠÅ3ym ÇÊÏÎÈ

Terjemahnya:

(Mereka diutus Allah) sebagai Rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya para Rasul itu. dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.(Q.S. an-Nisa: 165)

            Jelas sudah, bahwa Islam yang dianut dan dikembangkan oleh Muslim Pancasila (wasathiyah) adalah Islam yang menggembirakan, bukan saja untuk dan kepada umat Islam sendiri, tetapi juga untuk dan terhadap umat manusia secara keseluruhan (Rahmatun lil’alamin), termasuk umat Katholik, Protestan, Hindu Budha, dan Konghucu. Ini berarti, jika ada kelompok Muslim yang menakutkan, meresahkan, atau bahkan menyatroni golongan atau umat dan bangsa lain, menurut Muslim Pancasila (wasathiyah) sesungguhnya bukan karena persoalan ajaran Islam menghendaki demikian, tetapi lebih dikarenakan faktor lain yang berkecenderungan bersifat politis. Menurut Muslim Pancasila (wasathiyah), bahwa mereka – yang kadang kala disebut sebagai teroris – juga sesungguhnya bukan musuh yang harus dilawan, diusir atau diperangi, tetapi mereka adalah termasuk dalam kategori objek dakwah; yang perlu dirangkul, didekati, diajak dialog, untuk bersama-sama menyadari bahwa Islam adalah agama yang menggembirakan dan mendamaikan semua pihak.

            Firman Allah Swt. dalam Q.S. al-Baqarah ayat 208, seringkali dikutip para da’i dengan kurang lengkap, dipenggal-kutip mulai dari : Udkhuluu…. Dan diartikan dengan: masuklah kamu ke dalam (agama) Islam secara kaffah (sempurna/lengkap/keseluruhan), dan janganlah kamu turuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu. Lalu lahir penafsiran yang berlebihan, menganggap orang lain kurang sempurna dalam ber-Islam. Padahal, jika ayat ini dilihat secara utuh, diawali dengan Yaa ayyuhalladziina aamanuu… yang berarti ayat itu khithab-nya (objeknya) adalah orang-orang yang beriman. Pertanyaannya, apa mungkin orang-orang yang sudah beriman masih harus diajak (diseru) oleh Allah Swt. melalui para da’i untuk masuk Islam (udkhuluu fissilmi…)?  Mungkinkah orang yang sudah dinyatakan beriman belum masuk Islam atau masih disuruh masuk Islam? Padahal Allah Swt, telah menegaskan, bahwa hanya orang yang berimanlah orang yang sungguh-sungguh telah dan akan beruntung besar selamanya, seperti yang difirmankan-Nya dalam Q.S. al-Mu’minun, mulai dari ayat pertama dan seterusnya. Karena itu, arti dan terjemah Q.S. al-Baqarah: 208 sebagaimana tertera di atas itulah yang lebih mendekati kebenaran. Maksudnya, bahwa kata silmi dalam ayat tersebut kurang tepat jika diartikan dengan agama Islam, melainkan perlu diartiterjemahkan dengan perdamaian, dan karenanya ayat tersebut merupakan instruksi bagi orang-orang yang beriman untuk mewujudkan, mengawal, dan menjaga perdamain yang kaffah, perdamaian abadi, perdamaian global, mencegah konflik dan menghilangkan permusuhan antarsesama makhluk Allah Swt. di muka bumi ini.

 

Noor Chozin Agham, dosen al-Islam dan Kemuhammadiyahan (AIK) di UHAMKA dan UMT Indonesia, anggota Majelis Dikdasmen Pimpinan Pusat Muhammadiyah.



                [1]Bahwa pencoretan 7 kata dalam Piagam Jakarta, sesungguhnya tidak ada, terbukti sampai sekarang masih ada. Yang terjadi, pencoretan 7 kata dalam/pada sila pertama Pancasila, dilakukan oleh Bung Karno-Bung Hatta setelah mendapat persetujuan dari Ki Bagus Hadikusumo lewat loby yang dilakukannya sehari sebelum proklamasi 17 Agustus 1945.  Logika sederhananya, tidak mungkin Bung Karno memproklamirkan kemerdekaan RI sebelum Pancasila mempunyai kekuatan argumentasi teologis berupa persetujuan dari Ki Bagus Hadikusumo.   

[2]Ada buku kecil, tipis, dan terjemahan. Judulnya, Ber-Islam secara Rasional, ditulis oleh Tim Ulama Senior al-Azhar Mesir dan Syeikh ‘Athiyah Saqr, diterbitkan oleh Grafindo, Jakarta, 2005. Isinya, secara umum menghabisi praktek TBC (tahayyul, bid’ah, dan churafat). Cukup bagus untuk bacaan pemula keluarga Muhammadiyah. Sebagai pembanding, dapat juga menelaah buku Prof. Harun Nasution, Islam Rasional, diterbitkan oleh Mizan, Bandung, 1996.

[3]Menurut umat Kristen sendiri, bukan karena persoalan politik, tetapi karena memang kitab Injil menyebutkan begitu. Misalnya dalam Injil Matius, pasal 1: 16, disebutkan: And Yacob begat Joseph the husband of Mary, of whom was born Jesus, who is called Chist. Terjemahnya: Dan Yakub (dengan dan istrinya) melahirkan Yusuf, suami Maria yang melahirkan Yesus, yang disapa (disebut) Christ. Dalam ayat 18 (Matius 1: 18) disebutkan pula: Now the birth of Jesus Christ was on this wise: When as his mother Mary was espoused to Joseph, before they came together, she was found with child of the Holy Ghost. Terjemahnya: Kelahiran Yesus Kristus adalah sebagai berikut: Pada waktu Maria, ibu-Nya, bertunangan dengan Yusuf, ternyata sebelum hidup bersama (berseranjang) ia (Maria) telah mengandung dari Holy Ghost (Roh Kudus). Ini menunjukkan, bahwa – dari segi bahasa – Kristen adalah pengikut ajaran (agama) Kris (Christ). Mengenai persoalan apakah yang dimaksud Christ itu adalah Nabi Isa a.s. atau bukan, yang jelas, secara bahasa kata Kristen berarti pengikut Christ, selebihnya penulis hanya dapat katakan, itulah persoalan yang mungkin dapat ditanyakan lengsung kepada para aktivis Gereja.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ISLAM BERKEMAJUAN GAYA MUHAMMADIYAH

MELACAK SEJARAH KELAHIRAN IKATAN MAHASISWA MUHAMMADIYAH (IMM)

ISLAM NUSANTARA (NU) DAN ISLAM BERKEMAJUAN (MUHAMMADIYAH)