PEMBARUAN DALAM ISLAM, FENOMENA KEJENUHAN BERMAZHAB
PEMBARUAN DALAM ISLAM,
FENOMENA KEJENUHAN BERMAZHAB
Oleh Noor Chozin
Agham *)
Selama berabad-abad, pemikiran
dalam bidang Syari'ah atau fiqih Islam yang dikenal luas dan banyak dijadikan
pegangan dalam syari'ah komunitas Sunni atau Aswaja (Ahlussunnah Waljama’ah)
termasuk di Indonesia, yaitu pemikiran yang dikembangkan oleh Nu'man bin Tsabit bin Zauta at-Taimi
yang kemudian dikenal dengan nama Imam
Hanafi (wafat 150 H./767 M.), Malik
bin Anas bin Abi Amir al-Asbahi yang kemudian dikenal dengan nama mam Malik w.179 H./798 M.), Abu Abdullah Muhammad bin Idris
asy-Syafi'i yang kemudian dikenal dengan nama Imam Syafi'i (w.204 H./820 M.) dan Ahmad bin Muhammad bin Hanbal yang kemudian dikenal dengan
nama Imam Hanbal (w.241 H./855 M.)
Pemikiran keempat tokoh tersebut
telah diterima masyarakat dan masing-masing mempunyai pengikut, baik itu
pemikiran Imam Hanafi, Imam Syafi'i, Imam Malik maupun Imam Hanbal. Para pengikutnya membentuk paguyuban atau jama'ah dengan
nama tokohnya masing-masing. Penggemar pemikiran Syafi'i menyebut dirinya Syafi'iyah atau Mazhab Syafi'i, Hanafi
dengan Hanafiyah atau Mazhab Hanafi,
Malik dengan Malikiyah atau Mazhab
Maliki dan Hanbal dengan Hanbaliyah
atau Mazhab Hanbali, yang dalam perkembangannya masing-masing mempunyai wilayah
sendiri-sendiri. Misalnya mazhab Hanafi (Hanafiyah), berkembang dan banyak
diikuti di Pakistan,
Afganistan, Tunisia, India, Libanon, Syuriah, Mesir dan
Irak. Mazhab Maliki berkembang di negara-negara seperti Aljazair, Maroko,
Spanyol, termasuk pula Mesir dan Tunisia. Mazhab Hanbali mayoritas
diikuti di Arab Saudi, dan mazhab Syafi'i berkembang di Mesir, Yaman, Suriah,
Bahrein, Asia Tengah, Afrika Timur,
Malaysia
dan Indonesia.
Dalam perkembangan berikutnya,
para pengikut atau para pelanjutnya telah menyepakati, bahwa hanya keempat
orang tokoh (Hanafi, Malik, Syafi'i dan Hanbal) itulah yang layak disebut
sebagai imam mazhab dan mujtahid. Sebab, menurut para
pengikutnya bahwa keempat imam mazhab ini telah memenuhi syarat-syarat ijtihad
yang dirumuskannya. Walaupun ada pula kelompok yang tidak puas dengan keempat
mazhab tersebut lalu mereka membentuk kelompok atau mazhab yang lain, misalnya
mazhab At-Tauri, mazhab An-Nakha'i, mazhab At-habari, mazhab
Al-Auza'i dan mazhab Az-Zahiri, tetapi para tokoh pendirinya tidak masuk
kategori mujtahid, dan para pengikutnya pun tidak atau kurang banyak kendati
sampai saat ini masih ada, terutama mazhab az-Zahiri.
Kesepakatan tersebut membuat
masing-masing pengikut menjadi terikat dengan mazhabnya. Paling tidak, mereka
harus konsisten terhadap Imam Mazhabnya masing-masing. Bagi penganut
pemikiran Imam Syafi'i misalnya, mereka mau tidak mau
harus mengikuti pikiran-pikiran atau mazhab Syafi'i. Begitu pula dengan
pengikut mazhab Hanbali, Maliki dan Hanafi. Mereka harus konsisten terhadap
mazhabnya masing-masing.
Konsistensi bermazhab tersebut,
memang suatu keharusan dalam dunia fiqih. Walaupun berkonsekuensi telah menutup
pintu ijtihad, tetapi hal ini dianggap tidak apa-apa bahkan sebenarnya memang
pintu ijtihad harus ditutup agar kehidupan bermazhab tetap subur. Seseorang
kalau sudah bermazhab Syafi'i harus berprinsip, sekali Syafi'i tetap Syafi'i.
Kalau sudah bermazhab, tidak boleh lagi mengikuti mazhab lain, tidak konsisten
atau berpindah-pindah mazhab kecuali pada situasi dan kondisi
tertentu yang dibolehkan oleh mazhabnya. Misalnya dalam hal ibadah haji,
seseorang harus tetap suci (dalam keadaan berwudlu). Menurut fatwa atau mazhab
Syafi'i menjadi batal wudlunya kalau bersenggolan atau tersenggol lawan jenis,
tetapi fatwa ini tidak berlaku saat berhaji, atau saat melempar jumrah
misalnya.
Namun demikian, bagi pengikut
mazhab tertentu, misalnya mazhab Syafi'i, mungkin takkan mau disebut orang yang
menutup pintu Ijtihad. Pasalnya,
dalam mazhab Syafi'i, ulama jumhur mengakui kelengkapan mazhab yang satu ini.
Di samping fatwa-fatwa Imam Syafi'i yang memang sangat lengkap, Imam Syafi'i
juga memberi jalan untuk siapa yang mau berijtihad dengan syarat-syarat dan
metode-metode yang sudah diatur dalam Ushulul-Fiqh karya Imam Syafi'i sendiri.
Baik ijtihad insya'i, ijtihad intiqa'i
ataupun yang lainnya, Imam Syafi'i telah memberikan jalan untuk melakukannya.
Di sinilah mereka akan tetap beranggapan bahwa bermazhab pada mazhab Imam
Syafi'i, tidak termasuk kategori menutup pintu ijtihad. Silahkan berijihad
kalau Anda memenuhi syarat-syarat berijtihad, begitu kata mereka. Sedangkan,
syarat-syarat ijtihad yang telah disepakati oleh para ulama mazhab, ushul-fiqh,
sampai saat ini masih belum ada yang berani mengoreksinya, dan terasa
belum ada pula seorang tokoh yang memenuhi persyaratan untuk berijtihad.
Jadi, bukan karena pintu ijtihad ditutup tetapi karena diyakini belum dan
takkan ada yang bisa memenuhi syarat-syarat, begitu alasan para penganut
Syafi'i.
Prinsip bermazhab yang memerlukan
sikap konsisten seperti tersebut di atas, secara tidak langsung sebenarnya
telah berkonsekuensi terjadinya ketidakberanian mengeluarkan pendapat di luar
mazhabnya. Hal seperti ini sama dengan telah bertaqlid dan menutup pintu
ijtihad. Sampai sekarang, kenyataannya memang demikian, pintu ijtihad telah
tertutup tepatnya sejak masa diterimanya mazhab-mazhab sampai akhir abad ke-13
Hijriyah atau akhir abad ke-19 Miladiyah.
Di akhir abad ke-19 itu, walau
gejala fanatisme atau konsistensi bermazhab masih ada, tetapi telah muncul
jama'ah yang menamakan dirinya kelompok pembaharu, yaitu kelompok (jama'ah)
yang tampaknya tidak mempedulikan mazhab yang sudah ada, bahkan cenderung
membentuk mazhab baru. Walau dalam hal memahami Islam secara metodologis masih
ada kaitan dengan apa yang dirumuskan para imam mazhab, tetapi keterkaitannya
itu banyak yang menilai hanya ketepatan, bukan sengaja mengembangkan pemikiran
imam mazhab, khususnya dalam hal metodologi tadi. Lahirnya kelompok pembaharu
yang tidak ada kaitan dengan pemikiran para imam mazhab ini secara tidak
langsung berarti menunjukkan adanya rasa kejenuhan, paling tidak merasa tidak
berkepentingan terhadap mazhab yang telah ada.
Kelompok atau jama'ah
pembaharu yang gerakannya mulai kelihatan di abad ke-19 Miladiyah tersebut, di
antara tokohnya yaitu Muhammad bin Abdul
Wahab (Arab Saudi), wafat tahun 1201 H./1787 M. (akhir abad XVIII). Para pengagumnya menamakan dirinya sebagai kelompok Al-Muwahhidun, sedangkan para
penentangnya menyebut pengikut Abdul Wahab ini dengan Wahabi. Walaupun ada yang bilang sebagai penganut mazhab Hanbali,
tetapi dilihat dari inti gerakannya yang berupaya memurnikan tauhid, maka lebih
tepat kalau Muhammad bin Abdul Wahab ini disebut sebagai tokoh yang melahirkan
mazhab baru seperti yang disebut oleh penentangnya tadi, yaitu Wahabi atau Al-Muwahhidun.
Di samping Abdul Wahab, ada
totoh lain seperti Jamaluddin Al-Afgani (w. 1897 M.). Dan, walau Jamaluddin ini
dilahirkan di lingkungan keluarga yang bermazhab Hanafi, tetapi beliau bukanlah
pengikut Hanafi. Dilihat dari banyak literatur yang membicarakan Jamaluddin,
ternyata Jamaluddin inilah tokoh yang bersuara keras menentang taqlid,
termasuk taqlid pada mazhab. Mahasiswanya yang bernama Muhammad Abduh (w.1905
M.), adalah sebagai pelanjutnya yang getol menyuarakan untuk anti taqlid dan
keharusan membuka pinu ijtihad. Begitu pun murid Abduh, yaitu
Rasyid Ridla, sama seperti pendahulunya (Jamaluddin Al-Afgani dan Muhammad
Abduh), beliau menentang taqlid dan menyerukan untuk membuka lebar-lebar pintu
ijihad.
Kemunculan Abdul Wahab,
Jamaluddin Al-Afgani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridla, dalam dunia fiqih
dikenal sebagai penganjur adanya fiqih baru, yaitu fiqih yang tidak berkiblat
pada empat mazhab yang ada. Seperti disinggung di atas, bahwa keempat tokoh
pembaharu ini sama-sama menentang taqlid. Sedangkan taqlid yang dimaksudkan
yaitu mengikuti pendapat imam mazhab dengan penuh sikap dan rasa konsisten.
Sedangkan sikap dan rasa
konsistensi dalam bermazhab seperti tersebut, memberi peluang kepada
pengikutnya yang mempunyai kreativitas berfikir untuk merasa jenuh atau bosan
di naungan sebuah mazhab, Syafi'i sekalipun. Banyak fenomena yang menunjukan
adanya kejenuhan ini. Misalnya, kasus Kiai Fulan yang telah menikah tanpa wali,
tanpa saksi, tanpa mahar dan hanya semalam. Kiai Fulan yang anggota bahkan
salah seorang Pengurus Pusat organisasi Islam terbesar di Indonesia yang
bermazhab Syafi'i dan berhaluan Ahlussunnah Waljama'ah, dalam melangsungkan
pernikahannya, Kiai Fulan tadi seharusnya mendatangkan wali, saksi dan
menyediakan mahar.
Dengan dan dari apa yang
diuraikan di atas dapat dikatakan, bahwa pada dasarnya merasa jenuh atau bosan
terhadap konsistensi dalam bermazhab sama dengan membuka kembali pintu ijtihad.
Jadi, merasa jenuh atau menghindari bermazhab tidak perlu dipermasalahkan, dan
bahkan suatu keharusan. Paling tidak, dalam bermazhab tidak perlu lagi
konsisten dalam mengikuti ajaran-ajarannya. Malahan, hemat penulis bahwa merasa
jenuh atau menghindari ajaran mazhab merupakan suatu yang mubah, yang pada
suatu saat bisa jadi wajib, minimal sunnah muakkad dalam rangka pencarian dan
pemantapan keyakinan melalui gerakan-gerakan pembaruan.
*) Ketua FSK; Forum Studi
Khilafiyah, Pendiri dan Ketua Yayasan Dakwah dan Pendidikan (YDP)
ADILUHUNG, dosen Fikih pada STAI Madinatul Ilmi, Depok., disampaikan dalam
acara diskusi rutin Forum Studi Khilafah, 22 Juni 1997, di Wisma Sieraj,
JAKARTA)
Komentar
Posting Komentar