TASAWUF, TAREKAT, DAN PARTAI POLITIK




STUDI TENTANG TASAWUF (MISTISISME)
DALAM PERSPEKTIF POLITIK

Oleh : Noor Chozin Agham
Dimuat dalam JURNAL TASAWUF - Edisi Juli 2012
Pusat Kajian Buya Hamka
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF.DR.HAMKA (UHAMKA)

 


Pendahuluan

Konsep apapun, yang muncul di permukaan bumi ini, tampaknya tidak terlepas dari pemikiran sosio-historis yang mengitarinya. Tentu, termasuk konsep pemikiran yang bertalian dengan Islam. Tasawuf, yang diduga sebagai apresiasi dari ajaran Islam menurut para pemukanya, tentu pula merupakan pemikiran yang muncul sebagai reaksi dari situasi yang yang menyebabkan kelahiran dan perkembangan tasawuf itu sendiri. Apalagi masalah tasawuf dan atau mistisisme dalam dunia pendidikan tinggi masuk sebagai salah satu sub bahasan mata kuliah pendekatan dalam memahami Islam, maka bisa saja difatwakan bersifat langgeng dan abadi, sejalan dengan perkembangan agama Islam itu sendiri, maka perwujudannya pun akan tampil dalam bentuk yang varian, seiring dengan faktor-faktor yang membelakanginya.
            Dari gambaran singkat tersebut, penulis tidak yakin jika tasawuf bersifat murni, hanya sebagai gerakan spiritual dan moral, Sebaliknya, penulis lebih yakin, bahwa tasawuf telah memiliki visi dan gerakan politik. Ya, sebab, hemat penulis, pandangan yang melegalisir tasawuf hanya merupakan gerakan moral adalah merupakan pandangan yang massif, yang jika kita lakukan kajian historis, agaknya pandangan tersebut telah mengalami pergeseran. Walaupun pergeseran itu bukan untuk memupuskan tasawuf sehingga kehilangan jati dirinya yang orisinil. Bisa saja, keabadian ajaran tasawuf tetap utuh, namun dalam kemajuan sejarahnya ia mengalami reposisi sesuai dengan posisi di mana tasawuf itu dikembang-praktekkan.
           

Deskripsi tentang Tasawuf (Mistisisme)

            Banyak teori dan definisi tentang tasawuf. Ada yang bilang sebanyak 78 definisi, bahkan ada yang sangat pantastis, yaitu lebih dari reribu definisi[2], antara lain yaitu tasawuf adalah penyucian atau pembersihan jiwa dari pengaruh-pengaruh keduniawian[3], atau bisa disebut sebagai upaya taqarrub (pendekatan) kepada Tuhan dengan menggunakan intuisi, daya emosional dan spiritual yang dimiliki manusia[4]. Begitu pun asal-usulnya, tidak jelas pula[5], ada yang bilang, antara lain berasal dari kata sof, sophos, sufi, dan suf[6]. Yang terakhir ini (kata suf), banyak dipetik dan dibenarkan para peminat kajian tasawuf. Pasalnya, kata suf yang mengandung arti wol kasar ini, mereka mengaikannya dengan pakaian sufi yang biasanya terbuat dari wol kasar sebagai gambaran kesederhanaannya[7]
Istilah penyucian jiwa (tazkiyah) ataupun taqarrub, dilihat dari simantiknya, banyak disebut dalam al-Qur’an, dan ini memang ditempuh oleh siapa saja yang menjadi umat Muhammad Saw. Kemudian mereka yang terbiasa bertaqarrub ilallah para fuqaha menyebutnya dengan zuhud. Istilah zuhud inilah yang kemudian menjadi sebuah gerakan yang dipelopori oleh ulama besar Hasan al-Bashri awal abad ke-2 H. (w. 110 H./728 M.), dijuluki Abu Ali, Abu Muhammad, atau Abu Sa’id, sangat dijunjung tinggi dan dimuliakan oleh para sufisme[8]. Dalam konteks tasawuf, istilah zuhud berarti orang yang telah berhasil mengubur rasa cinta yang berlebihan pada hal-hal yang bersifat kedunian[9], yang dalam perkembangan berikutnya berubah menjadi aliran mistik[10], dan ajaran mistik yang diusahakan segolongan umat Islam untuk disesuaikan dengan ajaran Islam, disebut dengan tasawuf[11]. Jadi, tasawuf yang ada sampai di era reformasi ini, adalah tasawuf zuhud, yang dalam perkembangannya terdapat 3 (tiga) aliran besar, yaitu (1) aliran salafi atau aliran Madinah, (2) Aliran Basrah, yang kemudian dikenal dengan tasawuf sunni, dan (3) Aliran Kuffah, yang dalam perkembangan selanjutnya disebut aliran tasawuf falsafah.[12]
Dari gambaran di atas, tampaknya hakekat tasawuf ialah kedekatan dan penyucian diri pada Tuhan, sehingga seseorang benar-benar merasa berada di hadirat Tuhan[13]. Penyucian bukan dalam arti thaharah (mengambil air wudhu) seperti yang dipersyaratkan saat seseorang akan shalat, tetapi penyucian yang dilakukan melalui tahapan-tahapan yang disebut maqamat (stasion)[14]. Dan untuk mencapai maqam, diperlukan thariqah (tarikat) yang berarti jalan atau metode, yaitu rumusan-rumusan doktrin dan teknik-teknik tertentu yang diyakini bisa membawa pada pencapaian sasaran tasawuf.[15] Rangkaian pencapaian ini biasanya melibatkan proses panjang melalui pentahapan yang disebut maqamat. Sebagai doktrin dan metode, maka seseorang akan memiliki basis ajaran dan sekaligus panduan teknis pengalaman ajaran tasawuf tersebut. Basis ajarannya terdapat dalam hati manusia itu sendiri, sedangkan hati manusia menurut para sufi, di dalamnya terdapat 2 (dua) dewan yang saling bermusuhan, yaitu Dewan Perancang Kebaikan dan Dewan Perancang Kejahatan[16].
Sebagai sebuah istilah yang kelahiran dan asal-usul katanya tidak jelas, dalam arti masih longgar untuk diperdebatkan, ditambah lagi dengan ketidakjelasan kapan istilah tasawuf itu menjadi sebuah disiplin ilmu, maka pada tahapan selanjutnya terasa sangat niscaya (logis) jika tasawuf dengan doktrin tarekatnya mengalami perkembangan makna, yang giliran berikutnya – sebagai sebuah metode, tasawuf atau tarekat dapat dianut dan diamalkan secara individual dan inilah yang terjadi pada masa-masa awal hingga kira-kira abad ke-5 Hijriyah atau abad ke-11 Miladiyah – dengan pertambahan jumlah yang mengikuti metode (tarekat) tertentu, maka secara perlahan terjadi transformasi tarekat dari semata doktrin dan metode menjadi organisasi. Ini terjadi sepanjang abad ke-6 dan abad ke-7 H. atau abad ke12-13 M. dan seterusnya.
Pada masa abad ke-4 Hijriyah atau abad ke-10 Miladiyah, tasawuf masih sangat bersahaja dan sederhana. Sang guru dan murid-murid di sekitarnya masih sering berpindah-pindah, hanya berpegang pada aturan yang sangat sederhana untuk hidup sebagaimana biasa, sampai kemudian terbentuknya tempat-tempat pemondokan sufi dan perkampungan tanpa adanya pengkhususan dan pembagian fungsi yang disebut khanaqah, bimbingan di bawah seorang mursyid atau guru sufi menjadi asas yang diterima oleh semua muridnya. Secara emosional dan intelektual gerakan ini bersifat keningratan atau bangsawan (aristokratik), yang bisa juga disebut hanya bisa digerakkan oleh mursyid atau syeikh (sufisme) yang secara ekonomi tidak merasa kerepotan atau mereka yang telah berkecukupan[17]. Sedangkan metode-metode kontemplasi dan latihan baik yang bersifat individu dan komunal dimaksudkan untuk merangsang terjadinya ekstase.
            Kemudian, sekitar abad ke-6 H. atau ke-12 M., sampai penghujung abad ke-8 H. atau ke-14 M bahkan sampai sekarang. Sejak masa itu, tasawuf sudah banyak bermunculan dengan alirannya masing-masing. Pengajaran yang berkesinambungan sudah membentuk silsilah dalam tariqah, berasal dari seseorang bangsawan atau aristokratik yang mengalami pencerahan. Ajaran-ajaran dan metode kolektif sudah mulai ditransmisikan secara teratur membentuk tarekat yang terorganisasi dengan tradisi yang tampak membaku.
Selanjutnya, kita lihat perkembangan tasawuf yang terjadi sejak abad ke-9 H. atau abad ke-15 M., adalah ketika tasawuf telah terorganisir menjadi gerakan massal, membentuk aliran-aliran dan sub-sub kelompok (tha’ifah) dengan sepenuhnya meleburkan diri ke dalam arus kultus wali,[18] atau para syeikh, yang benar-benar membuat mereka ibarat wayang, dan para syeikh sebagai dalangnya[19].
Dari gambaran tersebut di atas, jelaslah kiranya, bahwa proses evolusi tasawuf menjadi tarekat berikutnya menjadi organisasi, tidak menggunakan teori apapun. Teori evolusi Darwin atau lainnya, tidak dikenal dalam tasawuf. Evolusi dari zuhud menjadi tasawuf, dari tasawuf menjadi tarikat, dari tarikat membentuk gerakan masal lalu menjadi organisasi dan berikutnya menjadi partai politik seolah terjadi terjadi dengan sendirinya karena adanya peningkatan pengetahuan dan kebutuhan, atau situasi dan kondisi para Sufis itu sendiri. “Sufis juga manusia!”, begitu barang kali teori mereka. Perkembangan metode kolektifis gaya baru untuk merangsang ekstase ini sudah sangat sering kita lihat dalam kegiatan-kegiatan di era reformasi sekarang ini. Gaya zikir kolektif seperti yang dikembangkan AA Gym dengan manajemen qalbunya, Muhammad Arifin Ilham dengan Zikir nasionalnya, Ari Ginanjar dengan ESQ-nya, penulis menengarai sebagai dzikir politik atau gaya politik yang diperankan kaum sufi.
Satu hal yang dapat dipahami dari sejarah tasawuf berikut evolusinya tadi, ternyata bahwa Rasulullah Saw. dan para sahabatnya, sampai pada tabiin, yang menurut para pemuka tasawuf (mursyid) sebagai tauladan gerakan dan amalan sufi, adalah sebuah pembohongan sejarah[20]. Rasulullah dan para sahabatnya, adalah betul oleh para fuqaha disebut tokoh-tokoh zuhud, tetapi zuhud dalam persepsi “mencintai ajaran Islam yang sekaligus mencintai aspek-aspek ajarannya”, bukan zuhud dalam persepsi sufi yang cenderung membenci aspek keduniawian[21], melainkan zuhud dalam persepsi yang dikemukakan oleh para fukaha, atau para teolog, misalnya Ibnu Taimiyah[22].  Karena itu, istilah tasawuf pada dasarnya sejak masa Rasulullah sampai pada  akhir abad pertama hijriyah belum dikenal. Istilah tasawuf masuk dalam disiplin ilmu yang praktis yaitu berkisar antara abad ke-2 – ke-5 Hijriah[23]
Jadi, apapun aliran dan deskripsi tasawuf, maka tasawuf tetap tasawuf, yaitu sebuah istilah yang melahirkan mazhab perasaan[24], yang tidak ada padanannya dalam sumber utama ajaran Islam (al-Qur’an dan Sunnah). Secara ekstrim, bisa saja disebut sebagai “sarang bid’ah”. Istilah tasawuf subur dan berkembang bersamaan dengan mazhab kebatinan yang dalam literatur Barat disebut mistisisme[25]. Teori-teori tasawuf dalam melakukan pendekatan kepada Yang Maha Esa yang disebut dengan maqamat, sepenuhnya disusupi ajaran mistik yang berasal dari agama lain (Kristen, Hindu dan Buda) yang dipoles dengan dan oleh filsafat Yunani[26], dan karenanya pula tasawuf atau mistisisme memerlukan upaya kritik perbaikan supaya tidak menyesatkan banyak orang[27].
Buya Hamka bilang, tasawuf perlu dikembalikan ke pangkalnya[28]. Sedangkan pangkal tasawuf yang dimaksudkan Buya Hamka, yaitu Tauhid, yang melandasi akhlak Rasulullah Saw. Tasawuf yang ada, termasuk yang dikembangkan Imam Ghazali, yaitu tidak mencerminkan akhlak Rasulullah Saw.[29]  Kalaupun dikembalikan pada zuhud – yang melatarawali tasawuf – maka zuhud yang dimaksud yaitu – sebagaimana tersebut di atas – zuhud yang dikemukakan para fukaha, misalnya Imam Ahmad bin Hanbal yang mendefinisikan zuhud yaitu meninggalkan yang haram, meninggalkan yang tidak perlu dan meninggalkan rintangan-rintangan ke jalan Allah Swt.[30]
            Sementara itu, para pengikut tasawuf (sufisme) tentu enggan dibilang bid’ah apalagi menyesatkan. Ajaran sufi, menurut mereka sepenuhnya bersumber al-Qur’an dan Hadits[31]. Istilah-istilah yang mereka gunakan, tak ubahnya dengan istilah-istilah yang berkembang dalam dunia fikih atau dalam ilmu ke-Islaman lainnya. Metode pemahaman mereka (sufisme) terhadap al-Qur’an dan Hadits, juga digunakan pula oleh para ahli tafsir dan ahli hadits, yaitu metode ra’yu dan ta’wil, majaz dan kinayah[32]. Ini semua, sesungguhnya juga dibenarkan oleh para penentang sufisme. Hanya saja, seperti dikatakan Buya Hamka, mereka (sufisme) sangat memprioritaskan perasaan dan Buya Hamka menyebutnya – seperti tersebut di atas – dengan mazhab perasaan. Kerja akal (pikiran) yang mereka kedepankan – yang kemudian melahirkan mazhab tasawuf falsafi dengan pelopor Imam Ghazali – pada dasarnya juga hanya merupakan logika pembenaran terhadap mistisisme yang berdampak pada mengendorkan dan mendangkalkan akidah atau pelemahan tauhid.
            Karena metode mereka (sufisme) menekankan pada perasaan, maka hampir semua rumusan sufistik bersifat puitis[33], maka banyak sekali rumusan sufi yang tidak bisa diterima akal sehat[34].  Kalaupun di zaman kemudian banyak orang mempelajari tasawuf, tujuan utamanya untuk menambah pengetahuan, menambah wawasan, mengetahui jalan pikiran suatu bangsa untuk kemudian membuka kesempatan  memperbaiki jalan hidup mereka[35].

Politik dalam Tasawuf 

            Pada dasarnya, kalau kita kembali pada sejarah tasawuf, terdapat banyak tarekat yang bersifat massal (jamaah). Para pengikut tasawuf yang bergabung dalam sebuah jama’ah tarekat ini bisa merupakan perkumpulan kooperatif, di mana ritual berjamaah bisa berfungsi sebagai tempat untuk memperkuat hubungan atau jaringan lain di antara para anggotanya. Jaringan yang rapih terdiri dari para guru tarekat, wakil dari wakilnya bisa mengubah tarekat menjadi sebuah organisasi politik yang kuat, sebagaimana yang telah terjadi dalam berbagai kasus yang luar biasa.
Sifat tarekat bisa saja dibilang serba depensif atau serba diam, tetapi pada tempat dan waktu yang berbeda menjadi serba aktif, bahkan melawan. Jihad asghar yaitu perjuangan fisik berupa pemberontakan walaupun ajaran utama mereka adalah mendorong untuk tawakkal melakukan jihad akbar, yaitu berjuang melawan hawa nafsu mereka sendiri. Tarekat selalu cenderung menekankan bahwa ajaran dan amalannya tidak pernah berubah dan berlanjut terus yang mereka percayai sepanjang abad, diturunkan tanpa perubahan dari sang guru kepada murid-muridnya. Namun tidak dapat dipungkiri adanya perubahan dan penyesuaian terhadap keadaan-keadaan setempat dan iklim sosial dan intelektual zamannya.
Karena adanya kemungkinan perubahan tersebut di atas, maka peralihan misi dan visi tasawuf ke visi dan misi politik misalnya merupakan sesuatu keniscayaan yang tidak mustahil lahir dari kalangan sufisme dan jama’ahnya. Perubahan ini bisa saja menjadikan ajaran tasawuf sangat revolusioner. Apalagi kalau syeikh atau mursyidnya turut tampil memberi aba-aba atau memberi semangat masing-masing sekaligus pemberi komando gerakan-gerakan politik[36].  Ya, ini bisa saja terjadi karena memang dalam perjalanan panjangnya, gerakan tasawuf (tarekat) merupakan realitas sosial dan dinamikanya yang tidak bisa dipungkiri, khususnya di kalangan grass root pengikut tarekat yang diyakini emosinya masih labil dan mudah terprovokasi.
Sejalan dengan peralihan visi dan misi tasawuf tersebut, maka kendatipun hingga saat ini tasawuf dianggap sebagai jalan untuk menghindari hiruk-pikuk keduniawian politis, tetapi sesungguhnya memang tidak bisa dipungkiri bahwa sejarah kelahiran tasawuf tidak terlepas dengan masalah politik. Kita lihat, misalnya ketika masa Dinasti Abbasiyah dipimpin oleh Almansur. Kala itu, khalifah bermaksud mengangkat Qadhi atau Hakim Agung. Kala itu pula, ada 4 (empat) ulama besar yang dibidik Khalifah untuk dicalonkan. Mereka adalah Abu Hanifah (yang kemudian terkenal dengan Imam Hanafi), Sufyan Tsawri, Mis’ar bin Kidam dan Syurayh[37]. Keempat ulama ini kemudian diundang ke Istana Almansur untuk uji kelayakan.
            Ketika keempat ulama tersebut berjalan menuju istana, mereka bersepakat untuk menolak jabatan Hakim Agung. Namun, karena Almansur terkenal sebagai khalifah yang militeristik, otoriter dan pemarah, akhirnya mereka bediskusi bagaimana caranya. Dalam diskusi ini, Abu Hanifah yang merasa lebih senior dan berkeyakinan dialah yang akan diangkat, mengajak “bersandiwara”, atau bikin sinetron istilah sekarangnya. Kepada para sahabatnya itu, beliau bersabda : Aku akan menolak jabatan ini dengan cara tertentu. Saudaraku Mis’ar, kalau memeng Antum juga menolak, nanti Antum berpura-pura gila. Saudaraku Shofyan, Antum hendaknya berlari. Dan Saudaraku Syurayh, Antum hendaknya berpura-pura sakit.[38] Sesuai skenario, Sufyan buru-buru kabur. Tinggal bertiga yang akan menghadap khalifah. Sesampainya di istana, tes kelayakan pun dimulai. Abu Hanifah mendapat giliran pertama dipanggil menghadap khalifah.
            “Saudaraku Abu Hanifah, saya ingin Anda membantuku menjadi Hakim Agung. Apa program Anda nanti untuk posisi itu?”, tanya Khalifah Almansur. Abu Hanifah menjawab: “Wahai Amirul Mukminin, ma’af, hamba bukan keturunan bangsa Arab. Hamba memprediksi, masyarakat Arab tidak akan menerima keputusan-keputusan hamba nanti”.  “Ini masalah ilmu, ilmu hukum. Anda yang paling cocok untuk jabatan ini, tidak ada hubungannya dengan KKN”, kata khalifah sudah mengenal istilah KKN. Abu Hanifah tetap pada pendiriannya untuk menolak. “Ma’af Paduka, yang hamba katakan tadi itu juga ilmu, ilmu sosiologi, yang menunjukkan dalil-dalil induktif demikian yang terjadi pada masyarakat Arab yang Paduka pimpin”, demikian penjelasan Abu Hanifah. Khalifah Almansur pun mengalah, gak jadi mengangkat Abu Hanifah jadi Qadhi (Hakim Agung), kemudian memanggil Mis’ar bin Kidam.
            Sesuai dengan skenario Abu Hanifah, Mis’ar bin Kidam langsung nyerocos sekenanya : “Hallo Almansur, apa kabar? Bagaimana keluarga Anda? Baik-baik saja, kan? Bagaimana anak-anak Anda? Sehat-sehat saja, kan? Bagaimana hewan-hewan yang menjadi ternak Anda, bagus semua, kan?”  Dianggap tidak sopan, khalifah Almansur pun memanggil Paspamkhal (Pesukan Pengaman Khalifah) untuk mengeluarkan Mis’ar bin Kidam. “Dia gila!”[39], teriak khalifah. Kemudian langsung memanggil Syurayh, sebagai orang terakhir.
            “Saudaraku Syureyh, Anda saya angkat menjadi Qadhi, Hakim Agung!”, tegas Khalifah langsung memvonis. Syureyh pun berusaha mengelak dengan mengingat-ingat skenario yang disepakati. “Ma’af, beribu-ribu ma’af Paduka, hamba ini orangnya sakit-sakitan, mudah sedih, stress, dan banyak orang menilai hamba suka melucu. Sungguh tidak pantas kalau hamba memegang jabatan itu”, keluhnya. Khalifah Almansur langsung memanggil dokter spesialis dan memerintahkannya untuk terus mengontrol kesehatan Syureyh. Tak ada alasan, Syureyh pun tak bisa mengelak, jadilah beliau sebagai Hakim Agung [40]. 
            Kisah di atas, oleh para sufisme (ahli dan penganut sufi) digambarkan sebagai bukti bahwa mereka (Abu Hanifah Cs.) adalah tokoh-tokoh sufi dari kalangan tabiin yang telah menjauhi jabatan politik. Bahkan, digambarkan pula sebagai malamatiyyah, sebuah konsep sufi untuk menunjukkan “tidak berlebihan” dalam dirinya walaupun harus berbohong dan menjelekkan dirinya sendiri[41]. Namun, kalau kita amati kisah tadi, apa yang dilakukan Abu Hanifah dan para sahabatnya adalah merupakan reaksi terhadap politik waktu itu (khalifah Almansur) yang memang terkenal diktator, tak pernah merasa segan untuk membunuh dan memenjarakan siapapun yang berbeda dan bahwa berlawanan dengan garis politiknya, termasuk Abu Hanifah yang meninggal di penjara Almansur lantaran penolakannya menjadi Qadhi (Hakim Agung tadi).[42]
            Jadi, menurut hemat saya, bahwa tasawuf, dilihat dari sejarah kelahirannya, memang terkesan sebagai suatu gejala depolitisasi, sebagai pelarian dari tanggung jawab sosial dan politik. Namun, kalau kita memperhatikan kasus “sandiwara” yang diperankan Abu Hanifah di atas, bukan berarti tasawuf lebih berorientasi pada urusan ukhrawi ketimbang masalah dunia, tetapi karena kondisi politik yang dianggap tidak bersahabat dengan keimanan dan ketakwaan Abu Hanifah dan para sahabatnya[43]. Dengan penegasan lain, tasawuf lahir sebagai reaksi terhadap situasi politik yang saat itu diwarnai oleh perang saudara antarsesama sahabat dan atau tabi’in, khususnya masa kekhalifahan Umayyah dan Abbasiyyah.
            Sama halnya dengan para sufisme di Indonesia. Syeikh Hamzah Fansuri, Syamsuddin al-Sumatrani dan Syeikh Nur al-Din al-Raniri atau lebih gampang dibaca Nuruddin Arraniri, orang India yang menetap di Aceh, tiga dukun sufisme pertama di Indonesia ini punya mazhab tasawuf yang sama, yaitu tasawuf falsafi, tetapi dalam perkembangannya memperlihatkan tontonan yang menarik karena antarpengikutnya saling bermusuhan bahkan saling membunuh. Hamzah Fansuri dan Syamsuddin membawa bendera gaya tasawuf Ibnu Arabi dan Al-Hallaj yang menuhankan dirinya, sedangkan Arraniri membawa bendera tarekat Rifaiyah[44]. Hamzah Fansuri (1550-1605/1606?) hidup pada masa Sultan Alauddin Riayat Syah (1539-1570) dan awal pemerintahan Sultan Iskandar Muda Darma Wangsa Perkasa Alam Sayah (1607-1636) di Aceh[45] dan kemunculan tasawuf Fansuri berlawanan dengan Sultan di Acah.  Sementara, Nuruddin Arraniri (w.21 September 1658) seide dengan kebijakan Sultan, bahkan diangkat sebagai Multi Kerajaan, saat Aceh dipegang seorang Sultan Sri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Syah (1641-1675)[46]
Sebagai reaksi politik, maka sebenarnya mengambil posisi zuhud dan bertasawuf, adalah merupakan sikap politik, atau siasat yang suatu saat kaum sufisme akan menguasai dunia politik, atau setidak-tidaknya akan terus mewarnai dinamika politik, yang dengan demikian, pupuslah persepsi tasawuf sebagai gerakan yang murni tanpa melibatkan diri dalam hal kemewahan dunia. Tasawuf moderen yang banyak dicita-citakan para pembaharu Islam, Insya-Allah akan terwujud dengan sendirinya. Tasawuf dan sufisme kuno,  baik yang bermazhab salafi atau aliran Madinah, mazhab Basrah atau sufisme yang beraliran sunni, ataupun mazhab Kuffah, semuanya saja akan membaur dengan hiruk-pikuk politik. Pada girilannya, keberadaan dan teori-teori sufistik dan mistik mereka hanya sebagai hazanah historis yang tidak perlu lagi dikebangkan apalagi menjadi anutan[47]. Maqamat kaum sufisme seperti tobat, sabar, kefakiran, zuhud, takwa, tawakkal, mahabbah, makrifat, ridha dan sebagainya, perlu dilakukan reinterpretasi secara moderen, dengan melibatkan aspek-aspek keduniawian.
           
Partai Politik Kaum Tarikat (Tasawuf)
Keterlibatan tasawuf (sufisme) dalam dunia politik, ternyata bukan basa-basi atau bukan prediksi yang hampa tak berfakta. Kita lihat beberapa gerakan tarekat di Indonesia. Misalnya, tarekat Naqsyabandiyah, tarekat yang lahir di Asia Tengah oleh Muhammad bin Muhammad Bahauddin al-Uwaisi al-Bukhari Naqsyabandi (1318-1389), yang kemudian meluas ke Turki, India, Iran, Afghanistan, dan hampir seluruh dunia Islam, termasuk Indonesia. Tarekat ini berkembang begiru pesat, hingga kemudian beranega ragam corak maqamatnya. Di Indonesia, juga demikian. Ada tarikat Naqsyabandiyah Khalidiyah (Minagkabau), Naqsyabandiyah Muzhariyyah (pontianak, Jawa Timur, Kalbar dan Maduta), dan ada pula Qadiriyah Naqsyabandiyah, berkembang di Jawa, seperti di Bogor, Banten, Tasikmalaya, Semarang, Jombang (Jatim)[48]
            Sejak 1850 dan seterusnya, Tarekat Naqsbandiyah di Indonesia tersebut, khususnya di Jawa, telah berhasil menarik sejumlah besar pengikut dari kalangan kelompok sosial politik kelas atas. Dengan demikian di kalangan masyarakat Belanda di Indonesia telah terdapat rasa ketakutan terhadap tarekat, karena mereka yakin bahwa gerakan tarekat akan bisa digunakan oleh pemimpin-pemimpin fanatik sebagai basis kekuatan untuk memberontak. Di beberapa daerah di Jawa Barat, Banten, yang ada basis-basis tarekatnya terus diwaspadai bahkan digempur bertalu-talu, peristiwa Cianjur tahun 1885,  peristiwa Cilegon tahun 1888, peristiwa di Lombok (NTB) tahun 1901, peristiwa Sidoharjo 1903 dan peristiwa Garut pada tahun 1919[49], adalah bukti bahwa jama’ah tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia senantiasa terlibat dalam kegiatan politik.
            Awal Abad ke-20, gerakan Wahabi di tanah suci Makkah berhasil mempengaruhi kerajaan. Pembersihan segala jenis ajaran sufisme diberangus. Para ulama asal Indonesia yang bersimpati pada gerakan Wahabi tersebut, mulai semakin berani mengkritik dan menyerang ajaran-ajaran tasawuf yang dinilai berbau syirik[50]. Misalnya Syeikh Ahmad Khatib (1852-1915) di Minangkabau, ulama Indonesia yang bermukim di Makkah, dengan gencar mengkritik aliran-aliran Naqsyabandiyah. Haji Abdul Karim Ibnu Muhammad Amrullah yang dikenal dengan Haji Rasul (ayahanda Buya Hamka) juga turut aktif dan bahkan lebih gencar dari yang dilakukan Syeikh Ahmad Khatib dalam mengkritik aliran Naqsyabandiyah[51].
Di Yogyakarta, Syeikh Haji Mohammad Darwis, yang juga telah bermukim di Makkah, tidak mau berdiam diri. Faham-faham keagamaan berbau Naqsyabandiyah dibendungnya. Tokoh yang kemudian dikenal dengan nama Ahmad Dahlan ini, untuk memperkokoh gerakannya mengerem aliran yang dipandang membodohi umat Islam tersebut telah mendirikan organisasi Muhammadiyah. Ahmad Dahlan mengajak para Syeikh dan mursyid tarekat untuk menyadari, bahwa mendidik para murid yang kelak siap menghadapi zamannya, siap meladeni kecanggihan kolonial, bukan dengan terus-menerus berdzikir verbalistik, tetapi harus berdzikir dengan tindakan. “Faidza qudiyatis Shalatu fan(g) tasyiruu fil ardh...!”, demikian seru Ahmad Dahlan mengutip al-Qur’an surah Jum’ah hampir dalam setiap kesempatan berdakwahnya. Akibat dari adanya kritik yang bertubi-tubi yang dilancarkan para pengagum Wahabiyah tersebut, tarekat Naqsyabandiyah pun mulai meredup.
Namun demikian, pada tahun 1926, para guru-guru dari berbagai pesantren yang bersimpati pada tarekat Qadariyah, telah mendirikan Nahdhatul Ulama (NU) yang berarti “Kebangkitan Para Ulama”. Dua tahun berikutnya, yaitu tahun 1928, para Syeikh dan mursyid tarekat dari berbagai aliran, terutama Naqsyabandiyah mendirikan badan pemersatu yaitu Madrasah Tarbiyah Islamiyah yang kemudian menjadi PERTI (Persatuan Tarbiyah Indonesia).[52] Di antara pendirinya adalah Syaikh Sulaiman Ar-Rasuli Candung, Syaikh Abbas Qadhi dari Lawas[53], keduanya adalah syaikh Naqsyabandiyah. Dalam perjalanan selanjutnya, PERTI merupakan wadah utama yang menampung kepentingan Naqsyabandiyah.
            Pada tahun 1950-an PERTI dinyatakan sebagai partai politik yang mengklaim mewakili tarekat Naqsyabandiyah. Syaikh Sulaiman Al-Rasuli sebagai pimpinan PERTI mendepak keluar Syaikh Haji Jalaludin – seorang anggota Naqsyabandiyah dari PERTI akibat polemik menyangkut akidah dan juga fiqih yang dikeluarkan oleh Syaikh Jalaludin dalam kitab-kitabnya.
Karena dikeluarkan dari PERTI Syeikh Haji Jalaluddin pun mendirikan organisasi dan partai sendiri yaitu Partai Politik Tarekat Islam (PPTI) – kemudian menjadi Persatuan Pengamal Tarekat Islam. Kedua partai politik ini mengklaim mewakili tarekat Naqsyabandiyah.
            Dalam pemilu  1955 perolehan dapat dilihat dalam table berikut ini:
KETERANGAN
SUMTENG
SOLOK
SUMUT
TAP SELATAN
Pemilih yang sah
1.799.955
135.384
2.458 732
200.800
Suara yang masuk
1.571.133
122.084
2.134.817
175.932
Masyumi
   797.692
  71.000
   798.910
  63.319
PERTI
   351.768
  24.507
     78.358
       680
PPTI
     35.156
   13.313
     27.084
  19.549
NU
               -
            -
      87.773
  48.108
    
            Data di atas menunjukkan bahwa H. Jalaluddin berhasil melakukan manufer politik dengan perolehan suara. Di Sumteng berhasil memperoleh suara 35.156 suara dari 1.571.533 atau 2,3 persen. Di Sumut berhasil memperoleh Solok perolehnya mencapai 11 persen. Perolehan yang sama (11%) juga diperoleh di Tapanuli Selatan, yaitu 19.549 dari 175.192 suara.[54]
            Dalam perkembangan berikutnya H. Jalaluddin berperan aktif dalam pentas poliltik zaman Soekarno. Dan untuk itu beliau mencoba berfikir akomodatif, sehingga mengajukan tema-tema tarekat dikaitkan terhadap Soekarno. Misalnya Soekarno disebut dengan Mahdi. Kemudian menyebut tarekat Soekarnoisme (pancasilaisme) sebagai tarekat Islam dan lain-lain.
            Tahun 1961 partainya berubah menjadi ormas dan kepanjangan partainya menjadi Persatuan Pembela Tarekat Islam. Pada permulaan orde baru PPTI masuk Golkar dan pada tahun 1971 menganjurkan anggotanya untuk menusuk tanda gambar beringin. Tahun 1975 PPTI pecah menjadi dua yaitu Persatuan Pembela Tarekat Islam dengan Persatuan Pembina Tarekat Islam.[55] Di samping PPTI, organisai tarekat yang mempunyai masa besar yang didirikan tahun 1957, yaitu Jam’iyah Ahlut Thariqah. Karena kyai Musta’in pimpinan organisasi ini, dan jam’iyah terpecah menjadi dua, yang pertama mendukung Golkar sedang yang kedua cenderung mendukung PPP.[56]

Penutup

Dengan dan setelah “terasa capek” mengedepankan pemikiran sufisme atau mistisisme di atas, penulis dapat mengakhiri dengan rumusan kesimpulan sebagai berikut :
  1. Tasawuf, adalah sebuah gerakan pengamalan ajaran agama yang sarat dengan mistik. Tarekat sebagai metode pengamalan yang dilakukan untuk  mendekatkan diri kepada Allah Swt. Metode ini dilakukan secara bersama-sama dan dianut oleh komunitas, sehingga pada akhirnya tarekat menjadi sejenis organisasi dengan cara dan tujuan tertentu, terutama tujuan politik.
  2. Sebagai konsekuensi logis dari kesempurnaan ajaran Islam, maka tarekat sebagai bidang kajian metodologi ke-Islaman tidak terlepas dari pemikiran dan gerakan yang diperankannya dalam sejalan perjalanannya, khususnya di Indonesia. Pemikiran politik bermula dari pandangan tentang perlunya penciptaan komunita tarekat yang ekslusif, komunitas mana, selain harus diwujudkan sekaligus harus dilestarikan. Dalam upaya mewujudkan sekaligus harus dilestarikan, yang berarti memerlukan gaya dan metode yang diniscayakan menarik dari segala segi pandang. Upaya mewujud-lestarikan itu, pemikiran politik yang beralih kepada gerakan politik, adalah sutu konsekwensi yang mau tidak mau harus mereka terima.
  3. Evolusi pemikiran tentang dan atau dari zuhud menjadi tasawuf, dari tasawuf menjadi tarekat, kemudian dari tarekat menjadi sebuah gerakan massa yang terorganisir, atau menjadi sebuah organisasi – masa lalu peralihan dari pemikiran politik kepada gerakan politik, selain dipengaruhi oleh sosio historis yang mengitarinya, juga – dan yang terpenting – peran tokoh tarekat (guru, syaikh, mursyid) sebagai aktor dalam komunitas tasawuf atau tarekat.
  4. Kajian tentang tasawuf (mistisisme) dan tarekat merupakan suatu hal yang sebenarnya menjadi kajian korektif, bukan kajian doktrinatif. Maksudnya, yaitu kajian yang memang masih tetap relevan, karena kecenderungan masyarakat terhadap tazkiyah (pendekatan dan penyucian diri) sekarang ini tampak menjadi kebutuhan, dan karena demikian maka tasawuf menjadi obyek kajian yang harus tetap dikritisi supaya tidak menyesatkan.


DAFTAR PUSTAKA

Affifi , A.E., Filsafat Mistis Ibnu Arabi (Terj. Syahrir Mawi dan Nandi Rahman), Cahaya Media Pratama, Jakarta, cet.I, 1995
Anwar, H. Moch., Dasar-dasar Ilmu Tasawuf – Tarjamah Matan Adzkiya, PT Alma’arif, Bandung, cet. I, 1980.
An-Nadwi, Dr. Abulhasan Ali, Ketuhanan bukan Kerahiban – Menelusuri Pemahaman Aliran Tasawuf (Drs. Hery Noer Aly), Husaini, Bandung, cet.I, 1987.
Agham, Noor Chozin, Ideologi Muhammadiyah dan Upaya Pengamanannya, makalah, disampaikan dalam Pelatihan Ideologi Ikatan, IMM Cabang Ciputat, Jakarta, 23 September 2006.
Agham , Noor Chozin, Nabi Isa, Imam Mahdi dan Tanda Kiamat, dalam Harian Terbit, Jakarta, 28 Januari 1991.
Al-Hamdany, H.S.A., Sanggahan terhadap Tashawuf & Ahli Sufi, PT Alma’arif, Bandung, cet. III, 1982.
Al-Hujwiri, Kasyful Mahjub – Risalah Persia Tertua tentang Tasawuf, (terj. Abdul Hadi WM dan Suwardjo Muthary), Mizan, Bandung, cet. I, 1992.
al-Taftazani, Dr. Abu al-Wafa, Al-Madkhal ila al-Tashawwufi al-Islami, Dar al-Tsaqafah wa al-Thiba’ah wa al-Nasyr, Cairo, cet.II, 1976.
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, PT Pustaka Rizki Putra, Semarang, cet. III, 2000.
Badawi , Dr. Abdu al-Rahman, Tarikhu al-Tasawwufi al-Islami, Wikalatul-Mathbu’at, Kuwait, 1975.
Bruinessen, Martin van, Tarikat Naqsyabandiyah di Indonesia, Mizan, Bandung, 1996,
Hadi WM, Abdul, Hamzah Fansuri : Risalah Tasawuf dan Puisi-puisinya, Mizan, Bandung, cet. I, 1995.
Hadiwijono, Dr. Harun, Kebatinan dan Injil,  PT BPK Gunung Mulia, Jakarta, cet. VII, 1990.
Hamka, Prof. Dr., Tasauf – Perkembangan dan Pemurniannya, Pustaka Panjimas, Jakarta, cet. XIX, 1994
Harun, Lukman, Buya Rusli Membangun dan Menyelamatkan PERTI, dalam Drs. Adeng F. Hanafi (ed.), Pejuang Perti dan Pribadi K.H. Rusli Abdul Wahid, DPP Perti, Jakarta, 1992,
Hasjmy, A., Pernanan Islam dalam Perang Aceh dan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia, Bulan Bintang, Jakarta, cet pertama, 1976.
Hanafi, Drs. Adeng F.(ed.), Pejuang Perti dan Pribadi K.H. Rusli Abdul Wahid, DPP Perti, Jakarta, 1992
Khalik, Dr. Abdurrahman Abdul, Bercak-bercak Sufi, (ter.A.Mujab Mahali), Al-Kautsar, Yogyakarta, cet.I, 1989.
Mughni, Syekh Abdul, Intisari Ajaran Syekh Abdul Qadir Jailani, Pustaka Media, Surabaya, cet. I, tt.
Nasution, Dr. Harun, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, cet.IX, 1995.
Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900 – 1942, LP3ES, Jakarta, 1996
Vali’uddin, Dr. Mir, Tasawuf dalam Qur’an, (terj. Tim Penerjemah Pustaka Hidayah), Pustaka Hidaya, Jkarta, cet.2, 1993.
Vaglieri, Prof. Dr. Laura Veccia, Apologi Islam, (terj.Dr. Ahmad Daudy, M.A.), Bulan Bintang, Jakarta, 1983.
Rakhmat, Jalaluddin, Kekuasaan di Mata Sufi, dalam Al-Huda – Jurnal Kajian Ilmu Ilmu Islam, vol I, No. 3, 2001.
Redaksi, Dewan, Ensiklopedi Islam, jilid3,4 dan 5, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, cet. Ke-2, 1994.
Redaksi, Dewan,  Kuliah Wahidiyah – Untuk Menjernihkan Hati dan Ma’rifat Billah Wa Birasulihi SAW, Penyiar Shalawat Wahidiyah Pusat, Kediri, 1981.
Simuh , Dr., Kebatinan dan Islam di Indonesia, dalam Studia Islamika, No. 21/Th.IX, 1985, Lembaga Penelitian IAIN Jakarta, 1985.
Suhrawardi, Syeikh Syihabuddin ‘Umar, ‘Awarif al-Ma’aarid – Sebuah Buku Daras Klasik Tasawuf, (terj. Ilma Nugrahani Ismail), Pustaka Hidayah, Bandung, cet.I, 1998.
Suminto, Husnul Aqib, Politik Islam Hindia Belanda, LP3ES, Jakarta, 1985.

--o0o--



[2] Lih. Dr. Abdu al-Rahman Badawi, Tarikhu al-Tasawwufi al-Islami, Wikalatul-Mathbu’at, Kuwait, 1975, hal. 51.
[3] Lih. H. Moch. Anwar, Dasar-dasar Ilmu Tasawuf – Tarjamah Matan Adzkiya, PT Alma’arif, Bandung, cet. I, 1980, hal.27-30.
[4] Ibid., atau bandingkan dengan Dr. Abulhasan Ali An-Nadwi, Ketuhanan bukan Kerahiban – Menelusuri Pemahaman Aliran Tasawuf (Drs. Hery Noer Aly), Husaini, Bandung, cet.I, 1987, hal.1-2.
[5]Tasawuf sebagai disiplin ilmu tidak jelas kapan ia lahir. Ada yang bilang sekitar abad ke-2 dan ke-3 Hijriyah, ada juga yang bilang sekitar abad ke-4 dan ke-5 Hijriyah. Sementara, yang lain menyebutnya jauh setelah Rasulullah wafat, yaitu sekitar abad ke-3 dan ke-4 Hijriyah, bersamaan dengan kian banyaknya para tokoh Islam kala itu yang mengambil jalan zuhud. Lih. Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam, jilid 5, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, cet. Ke-2, 1994, hal.73-86
[6] Uraian masing-masing, terdapat dalam, Dr. Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, cet.IX, 1995, hal. 57
[7] Dr. Mir Vali’uddin, Tasawuf dalam Qur’an, (terj. Tim Penerjemah Pustaka Hidayah), Pustaka Hidaya, Jkarta, cet.2, 1993, hal. 2. Atau lih. Pula, Dr. Abulhasan Ali An-Nadwi, Op. Cit. Atau, bandingkan dengan Dr. Harun Nasution, Op. Cit
[8] Al-Hujwiri, Kasyful Mahjub – Risalah Persia Tertua tentang Tasawuf, (terj. Abdul Hadi WM dan Suwardjo Muthary), Mizan, Bandung, cet. I, 1992, hal.88
[9] Lih. Syekh Abdul Mughni, Intisari Ajaran Syekh Abdul Qadir Jailani, Pustaka Media, Surabaya, cet. I, tt., hal. 62
[10] Istilah mistik, masuk ke dalam tasawuf karena ada pandangan bahwa tasawuf telah disusupi ajaran mistik yang berasal dari agama lain yang bukan dari Islam terutama filsafat Yunani, lebih khusus lagi filsafat Aristoteles dan Platoninisme. Bandingkan dengan A.E. Affifi, Filsafat Mistis Ibnu Arabi (Terj. Syahrir Mawi dan Nandi Rahman), Cahaya Media Pratama, Jakarta, cet.I, 1995, hal. 83 
[11] Dr. Simuh, Kebatinan dan Islam di Indonesia, dalam Studia Islamika, No. 21/Th.IX, 1985, Lembaga Penelitian IAIN Jakarta, 1985, hal. 45.
[12] Disarikan dari beberapa literature, antara lain Prof. Dr. Hamka, Tasauf – Perkembangan dan Pemurniannya, Pustaka Panjimas, Jakarta, cet. XIX, 1994, hal. 88 dst.,  dan Dr. Harun Nasution, Op. Cit., hal. 79
[13] Sebenarnya, rumusan hakekat tasawuf tidak hanya itu, masih banyak rumusan lainnya. Ini bisa dimaklumi karena memang sesungguhnya prihal tasawuf masih terus mengundang kontroversi yang berkepanjangan dan mungkin tak berkesudahan. Setidaknya, inilah yang menarik bagi para peneliti hazanah ke-Islaman. Prihal aneka hakekat tasawuf ini, lih. Al-Hujwiri, Op. Cit., hal. 42-52.
[14] Maqamat para sufi, berbeda-beda, karena sangat erat kaitannya dengan pengalaman yang dilalui para sufi itu sendiri. Misalnya maqamat versi Imam Ghazali, yaitu ada sembilan, yakni : Tobat, sabar, kefakiran, zuhud, takwa, tawakkal, mahabbah, makrifat dan ridha. Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam, jilid 3, Op. Cit. hal. 124.
[15] Ibid
[16] Dewan Redaksi,  Kuliah Wahidiyah – Untuk Menjernihkan Hati dan Ma’rifat Billah Wa Birasulihi SAW, Penyiar Shalawat Wahidiyah Pusat, Kediri, 1981, hal. 3-4
[17] Setidaknya, tokoh-tokoh atau para mursyid/syeikh sufi, yaitu mereka yang – kalau belum boleh di bilang kaya raya – cukup secara ekonomi. Tanpa membanting tulang (bekerja mencari nafkah), mereka sudah cukup persediannya untuk menghidupi dirinya. Misalnya Imam Ghazali, beliau menjadi sufi setelah berkecukupan. Awal-awal kehidupannya memang miskin, beliau bisa sekolah karena kepintaran dan beasiswa yang diterimanya, tetapi kemudian beliau jadi asisten dosen, lalu dosen, lalu guru besar dan bahkan sempat menjadi pejabat pemerintahan Perdana Menteri Nizam al-Mulk. Pada tahun 1095 beliau sempat melepas jabatan dan profesi guru besarnya, dengan bekal yang cukup beliau mengembara dari satu tempat ke tempat lain, keluarganya pun ditinggalkannya. Setelah mengembara, beliau kemudian mengurung diri (berkontemplase) dalam Masjid Damascus, dan di sinilah beliau menulis buku hebatnya, Ihya  Ulumuddin. Kemudian tahun 1105 beliau kembali mengajar, tetapi tidak lama kemudian pulang kampung, mendirikan halaqah sekolah khusus untuk calon sufi. Intinya, Imam Ghazali, secara ekonomis bukanlah tergolong miskin. Lih. Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam, jilid 2.,(Op. Cit.), hal. 26-27.
[18] Tahapan-tahapan perkembangan tasawuf, hampir ditemukan dalam banyak buku tasawauf. Misalnya dalam buku yang ditulis Buya Hamka, Harun Nasution, Simuh, al-Hujwiri, dan lain-lain, termasuk hal ini bisa dibaca dalam: Dr. Abu al-Wafa al-Taftazani, Al-Madkhal ila al-Tashawwufi al-Islami, Dar al-Tsaqafah wa al-Thiba’ah wa al-Nasyr, Cairo, cet.II, 1976, hal. 22-25. Bandingkan pula dengan Martin van Bruinessen, Tarikat Naqsyabandiyah di Indonesia, Mizan, Bandung, 1996, hal. 61 dst.
[19] Bandingkan dengan, Syeikh Syihabuddin ‘Umar Suhrawardi, ‘Awarif al-Ma’aarid – Sebuah Buku Daras Klasik Tasawuf, (terj. Ilma Nugrahani Ismail), Pustaka Hidayah, Bandung, cet.I, 1998, hal. 41-46.
[20] Lih. Dr. Abdurrahman Abdul Khalik, Bercak-bercak Sufi, (ter.A.Mujab Mahali), Al-Kautsar, Yogyakarta, cet.I, 1989, hal. 20 dan hal. 72-74. Lih. pula, Prof. Dr. Laura Veccia Vaglieri, Apologi Islam, (terj.Dr. Ahmad Daudy, M.A.), Bulan Bintang, Jakarta, 1983, hal. 75.
[21] H. Moch. Anwar, Op.Cit, hal. 27
[22] Yaitu zuhud yang berkiblat pada akhlak mulia Rasulullah Saw., yang berdimensi dunia akhirat. Bandingkan dengan, Dr. Abulhasan Ali An-Nadwi, Op. Cit., hal 71. Bandingkan pula dengan Prof. Dr. Hamka, Op. Cit.
[23] Berkisar antara…, itu karena sebagaimana tersebut di atas, banyak sekali teori prihal sejarah kelahiran tasawuf. Sedikit ada kejelasan diuraikan Dr. Harun Nasution, yang secara tegas ada pengaruh dari Kristen, filsafat mistik Pythagoras, filsafat emanasi Plotinus, Ajaran Buda dan ajaran-ajaran Hinduisme. Lih. Dr. Harun Nasution, Op. Cit., hal 58 – 59.
[24] Prof. Dr. Hamka, Op. Cit., hal. 86. Bandingkan dengan, Noor Chozin Agham, Nabi Isa, Imam Mahdi dan Tanda Kiamat, dalam Harian Terbit, Jakarta, 28 Januari 1991, hal. IX
[25] Lih. Dr. Harun Hadiwijono, Kebatinan dan Injil,  PT BPK Gunung Mulia, Jakarta, cet. VII, 1990, hal. 7. Bandingkan pula dengan A.E. Affifi, Op. Cit. Bandingkan dengan literatur lainnya
[26]Setidaknya, demikianlah menurut Dr. Abulhasan Ali An-Nadwi, Op.Cit..  Bandingkan dengan Dr. Simuh, Op. Cit. Prof. Dr. Hamka, ketika mengomentari Imam Ghazali, Op. Cit., hal. 208.
[27]H.S.A. Al-Hamdany, Sanggahan terhadap Tashawuf & Ahli Sufi, PT Alma’arif, Bandung, cet. III, 19882, hal. 132.
[28] Ada buku kecil karangan Buya Hamka, judulnya Mengembalikan Tasawuf ke Pangkalnya, sebuah buku yang berasal dari pidato pengkuhan Hamka sebagai Guru Besar Ilmu Tasawuf di PT AIN Yogyakarta, 1958, diterbitkan oleh Pustaka Panjimas, Jakarta, 1978. Buku ini kemudian menyatu dalam buku Tasawuf – Perkembangan dan Pemurniannya, karya Buya Hamka juga. Bandingkan dengan, Noor Chozin Agham, Op. Cit.
[29] Prof. Dr. Hamka, Op. Cit., hal. 206
[30] Ibid., hal.86.
[31] Al-Hujwiri, Op. Cit.
[32] Istilah-istilah tersebut, terdapat dalm ilmu tafsir atau ulumul-Qur’an. Misalnya, lih. Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, PT Pustaka Rizki Putra, Semarang, cet. III, 2000, hal. 173-174 dan hal. 186 dst.
[33] Lih. Abdul Hadi WM, Hamzah Fansuri : Risalah Tasawuf dan Puisi-puisinya, Mizan, Bandung, cet. I, 1995, hal. Pendahuluan.
[34] Bandingkan dengan, Prof. Dr. Hamka, Op. Cit., hal. 106-107
[35] Drs. H. Nandi Rahman, M.Ag., salah seorang penerjemah buku Filsafat Mistik Ibnu Arabi (Penerbit : Cahaya Media Pratama, Jakarta, 1995), membeberkan maksud dan tujuannya kepada penulis (Enceha) yang intinya tidak bermaksud mendakwahkan ajaran sufi untuk kemudian diikuti dan dipedomani, melainkan bertujuan seperti Buya Hamka bilang dalam bukunya, Tasawuf – Perkembangan dan Pemurniannya, Op. Cit. hal.228
[36] Jama’ah atau pengikut tarekat, selalu hormat dan taat pada Syeikh atau mursyidnya. Saking ta’aatnya, andai disuruh “maling” pun tentu melaksanakannya. Bandingkan dengan Syeikh Syihabuddin ‘Umar Sukrawardi, Op. Cit., hal. 41-46.
[37] Al-Hujwiri, Op.Cit., hal.95.
[38] Ibid.(gubahan)
[39] Ibid., hal. 96..
[40] Penulis sadur dari, ibid., hal 95-96..
[41] Bandingkan dengan, Jalaluddin Rakhmat, Kekuasaan di Mata Sufi, dalam Al-Huda – Jurnal Kajian Ilmu Ilmu Islam, vol I, No. 3, 2001, hal. 99.
[42] Namun demikian – di sisi kekejamannya – Khalifah Almansur termasuk khalifah yang berjasa besar dalam pengembangan ilmu-ilmu ke-Islaman. Tokoh-tokoh besar dalam segala ilmu termasuk tasawuf lahir dan mulai berkembang pada masa khalifah kedua dinasti Abbasiyah ini, misalnya Abu Hanifah, Imam Malik, Sufyan Tawri, Abdurrahman Al-Auza’i, dan lain-lain. Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam, jilid 3, (Op cit), hal. 157.
[43] Bandingkan dengan Jalaluddin Rakhmat, Op. Cit. Bandingkan pula dengan, Dewan Redaksi, Esiklopedi Islam jilid 3, Op. Cit.
[44] Bandingkan dengan Prof. Dr. Hamka, Op. Cit., hal. 210 dst. Bandingkan pula dengan, Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam, jilid 4, Op. Cit. hal. 48.
[45]Bandingkan dengan, A. Hasjmy, Pernanan Islam dalam Perang Aceh dan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia, Bulan Bintang, Jakarta, cet pertama, 1976, hal. 9.
[46] Ibid. Bandingkan pula dengan, Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam, Op Cit.
[47] Bandingkan dengan catatan kaki nomor 26 di atas.
[48] Dewan Redaksi, Ensiklopedi... Op. Cit.
[49] Peristiwa-peristiwa tersebut, merupakan gerakan politik jama’ah tarekat Naqsyabandiyah dalam berjuang mempertahankan hak-haknya yang terus dikangkangi Kolonial. Masing-masing peristiwa tersebut, bisa dibaca dalam, Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900 – 1942, LP3ES, Jakarta, 1996, hal. 242-243,  lihat pula Husnul Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, LP3ES, Jakarta, 1985, hal 64-66, atau dalam Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, Mizan, Bandung, cet.I, 1996, hal.27-29.
[50] Bandingkan dengan, Noor Chozin Agham, Op. Cit., atau Noor Chozin Agham, Imam Mahdi adalah Syaithan, Harian Terbit, 3 Desember 1990, hal. X
[51] Bandingkan dengan, Ibid., hal. 110
[52] Deliar Noer, Op. Cit., hal. 24
[53] Lukman Harun, Buya Rusli Membangun dan Menyelamatkan PERTI, dalam Drs. Adeng F. Hanafi (ed.), Pejuang Perti dan Pribadi K.H. Rusli Abdul Wahid, DPP Perti, Jakarta, 1992, hal. 7
[54] Martin van Bruinessen, Op. Cit.hal. 131
[55]Drs. Adeng F. Hanafi (ed.), Pejuang Perti dan Pribadi K.H. Rusli Abdul Wahid, DPP Perti, Jakarta, 1992, hal. 115
[56] Ibid., hal.120

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ISLAM BERKEMAJUAN GAYA MUHAMMADIYAH

MELACAK SEJARAH KELAHIRAN IKATAN MAHASISWA MUHAMMADIYAH (IMM)

ISLAM NUSANTARA (NU) DAN ISLAM BERKEMAJUAN (MUHAMMADIYAH)