TASAWUF, TAREKAT, DAN PARTAI POLITIK
STUDI
TENTANG TASAWUF (MISTISISME)
DALAM PERSPEKTIF
POLITIK
Oleh : Noor Chozin Agham
Dimuat dalam JURNAL TASAWUF - Edisi Juli 2012
Pusat Kajian Buya HamkaUNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF.DR.HAMKA (UHAMKA)
Pusat Kajian Buya HamkaUNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF.DR.HAMKA (UHAMKA)
Pendahuluan
Konsep
apapun, yang muncul di permukaan bumi ini, tampaknya tidak terlepas dari
pemikiran sosio-historis yang mengitarinya. Tentu, termasuk konsep pemikiran
yang bertalian dengan Islam. Tasawuf, yang diduga sebagai apresiasi dari ajaran
Islam menurut para pemukanya, tentu pula merupakan pemikiran yang muncul
sebagai reaksi dari situasi yang yang menyebabkan kelahiran dan perkembangan
tasawuf itu sendiri. Apalagi masalah tasawuf dan atau mistisisme dalam dunia
pendidikan tinggi masuk sebagai salah satu sub bahasan mata kuliah pendekatan
dalam memahami Islam, maka bisa saja difatwakan bersifat langgeng dan abadi,
sejalan dengan perkembangan agama Islam itu sendiri, maka perwujudannya pun
akan tampil dalam bentuk yang varian, seiring dengan faktor-faktor yang
membelakanginya.
Dari gambaran singkat tersebut,
penulis tidak yakin jika tasawuf bersifat murni, hanya sebagai gerakan
spiritual dan moral, Sebaliknya, penulis lebih yakin, bahwa tasawuf telah
memiliki visi dan gerakan politik. Ya, sebab, hemat penulis, pandangan yang
melegalisir tasawuf hanya merupakan gerakan moral adalah merupakan pandangan
yang massif, yang jika kita lakukan kajian historis, agaknya pandangan tersebut
telah mengalami pergeseran. Walaupun pergeseran itu bukan untuk memupuskan
tasawuf sehingga kehilangan jati dirinya yang orisinil. Bisa saja, keabadian
ajaran tasawuf tetap utuh, namun dalam kemajuan sejarahnya ia mengalami
reposisi sesuai dengan posisi di mana tasawuf itu dikembang-praktekkan.
Deskripsi tentang Tasawuf (Mistisisme)
Banyak teori dan definisi tentang
tasawuf. Ada
yang bilang sebanyak 78 definisi, bahkan ada yang sangat pantastis, yaitu lebih
dari reribu definisi[2],
antara lain yaitu tasawuf adalah penyucian
atau pembersihan jiwa dari
pengaruh-pengaruh keduniawian[3],
atau bisa disebut sebagai upaya taqarrub
(pendekatan) kepada Tuhan dengan menggunakan intuisi, daya emosional dan
spiritual yang dimiliki manusia[4].
Begitu pun asal-usulnya, tidak jelas pula[5],
ada yang bilang, antara lain berasal dari kata sof, sophos, sufi, dan suf[6].
Yang terakhir ini (kata suf), banyak
dipetik dan dibenarkan para peminat kajian tasawuf. Pasalnya, kata suf yang mengandung arti wol kasar ini, mereka mengaikannya
dengan pakaian sufi yang biasanya terbuat dari wol kasar sebagai gambaran
kesederhanaannya[7]
Istilah
penyucian jiwa (tazkiyah) ataupun taqarrub, dilihat dari simantiknya,
banyak disebut dalam al-Qur’an, dan ini memang ditempuh oleh siapa saja yang
menjadi umat Muhammad Saw. Kemudian mereka yang terbiasa bertaqarrub ilallah para fuqaha menyebutnya dengan zuhud. Istilah zuhud inilah yang kemudian menjadi sebuah gerakan yang dipelopori
oleh ulama besar Hasan al-Bashri awal abad ke-2 H. (w. 110 H./728 M.), dijuluki
Abu Ali, Abu Muhammad, atau Abu Sa’id, sangat dijunjung tinggi dan dimuliakan
oleh para sufisme[8].
Dalam konteks tasawuf, istilah zuhud berarti orang yang telah berhasil mengubur
rasa cinta yang berlebihan pada hal-hal yang bersifat kedunian[9],
yang dalam perkembangan berikutnya berubah menjadi aliran mistik[10],
dan ajaran mistik yang diusahakan segolongan umat Islam untuk disesuaikan
dengan ajaran Islam, disebut dengan tasawuf[11]. Jadi, tasawuf yang ada sampai di era
reformasi ini, adalah tasawuf zuhud, yang dalam perkembangannya terdapat 3
(tiga) aliran besar, yaitu (1) aliran salafi atau aliran Madinah, (2) Aliran
Basrah, yang kemudian dikenal dengan tasawuf sunni, dan (3) Aliran Kuffah, yang
dalam perkembangan selanjutnya disebut aliran tasawuf falsafah.[12]
Dari
gambaran di atas, tampaknya hakekat tasawuf ialah kedekatan dan penyucian diri
pada Tuhan, sehingga seseorang benar-benar merasa berada di hadirat Tuhan[13].
Penyucian bukan dalam arti thaharah (mengambil air wudhu) seperti yang dipersyaratkan
saat seseorang akan shalat, tetapi penyucian yang dilakukan melalui
tahapan-tahapan yang disebut maqamat (stasion)[14].
Dan untuk mencapai maqam, diperlukan thariqah (tarikat) yang berarti jalan atau
metode, yaitu rumusan-rumusan doktrin dan teknik-teknik tertentu yang diyakini
bisa membawa pada pencapaian sasaran tasawuf.[15]
Rangkaian pencapaian ini biasanya melibatkan proses panjang melalui pentahapan
yang disebut maqamat. Sebagai doktrin dan metode, maka seseorang akan memiliki
basis ajaran dan sekaligus panduan teknis pengalaman ajaran tasawuf tersebut.
Basis ajarannya terdapat dalam hati manusia itu sendiri, sedangkan hati manusia
menurut para sufi, di dalamnya terdapat 2 (dua) dewan yang saling bermusuhan,
yaitu Dewan Perancang Kebaikan dan Dewan Perancang Kejahatan[16].
Sebagai
sebuah istilah yang kelahiran dan asal-usul katanya tidak jelas, dalam arti
masih longgar untuk diperdebatkan, ditambah lagi dengan ketidakjelasan kapan
istilah tasawuf itu menjadi sebuah disiplin ilmu, maka pada tahapan selanjutnya
terasa sangat niscaya (logis) jika tasawuf dengan doktrin tarekatnya mengalami
perkembangan makna, yang giliran berikutnya – sebagai sebuah metode, tasawuf
atau tarekat dapat dianut dan diamalkan secara individual dan inilah yang
terjadi pada masa-masa awal hingga kira-kira abad ke-5 Hijriyah atau abad ke-11
Miladiyah – dengan pertambahan jumlah yang mengikuti metode (tarekat) tertentu,
maka secara perlahan terjadi transformasi tarekat dari semata doktrin dan
metode menjadi organisasi. Ini terjadi sepanjang abad ke-6 dan abad ke-7 H.
atau abad ke12-13 M. dan seterusnya.
Pada
masa abad ke-4 Hijriyah atau abad ke-10 Miladiyah, tasawuf masih sangat
bersahaja dan sederhana. Sang guru dan murid-murid di sekitarnya masih sering
berpindah-pindah, hanya berpegang pada aturan yang sangat sederhana untuk hidup
sebagaimana biasa, sampai kemudian terbentuknya tempat-tempat pemondokan sufi dan perkampungan tanpa adanya
pengkhususan dan pembagian fungsi yang disebut khanaqah, bimbingan di bawah seorang mursyid atau guru sufi menjadi
asas yang diterima oleh semua muridnya. Secara emosional dan intelektual
gerakan ini bersifat keningratan atau bangsawan (aristokratik), yang bisa juga
disebut hanya bisa digerakkan oleh mursyid atau syeikh (sufisme) yang secara
ekonomi tidak merasa kerepotan atau mereka yang telah berkecukupan[17].
Sedangkan metode-metode kontemplasi dan latihan baik yang bersifat individu dan
komunal dimaksudkan untuk merangsang terjadinya ekstase.
Kemudian, sekitar abad ke-6 H. atau
ke-12 M., sampai penghujung abad ke-8 H. atau ke-14 M bahkan sampai sekarang. Sejak
masa itu, tasawuf sudah banyak bermunculan dengan alirannya masing-masing.
Pengajaran yang berkesinambungan sudah membentuk silsilah dalam tariqah, berasal dari seseorang
bangsawan atau aristokratik yang mengalami pencerahan. Ajaran-ajaran dan metode
kolektif sudah mulai ditransmisikan secara teratur membentuk tarekat yang
terorganisasi dengan tradisi yang tampak membaku.
Selanjutnya,
kita lihat perkembangan tasawuf yang terjadi sejak abad ke-9 H. atau abad ke-15
M., adalah ketika tasawuf telah terorganisir menjadi gerakan massal, membentuk
aliran-aliran dan sub-sub kelompok (tha’ifah) dengan sepenuhnya meleburkan diri
ke dalam arus kultus wali,[18]
atau para syeikh, yang benar-benar membuat mereka ibarat wayang, dan para
syeikh sebagai dalangnya[19].
Dari
gambaran tersebut di atas, jelaslah kiranya, bahwa proses evolusi tasawuf
menjadi tarekat berikutnya menjadi organisasi, tidak menggunakan teori apapun.
Teori evolusi Darwin
atau lainnya, tidak dikenal dalam tasawuf. Evolusi dari zuhud menjadi tasawuf,
dari tasawuf menjadi tarikat, dari tarikat membentuk gerakan masal lalu menjadi
organisasi dan berikutnya menjadi partai politik seolah terjadi terjadi dengan
sendirinya karena adanya peningkatan pengetahuan dan kebutuhan, atau situasi
dan kondisi para Sufis itu sendiri. “Sufis juga manusia!”, begitu barang kali
teori mereka. Perkembangan metode kolektifis gaya baru untuk merangsang ekstase ini sudah
sangat sering kita lihat dalam kegiatan-kegiatan di era reformasi sekarang ini.
Gaya zikir kolektif seperti yang dikembangkan AA Gym dengan manajemen qalbunya,
Muhammad Arifin Ilham dengan Zikir nasionalnya, Ari Ginanjar dengan ESQ-nya,
penulis menengarai sebagai dzikir politik atau gaya politik yang diperankan kaum
sufi.
Satu
hal yang dapat dipahami dari sejarah tasawuf berikut evolusinya tadi, ternyata
bahwa Rasulullah Saw. dan para sahabatnya, sampai pada tabiin, yang menurut
para pemuka tasawuf (mursyid) sebagai tauladan gerakan dan amalan sufi, adalah
sebuah pembohongan sejarah[20].
Rasulullah dan para sahabatnya, adalah betul oleh para fuqaha disebut
tokoh-tokoh zuhud, tetapi zuhud dalam persepsi “mencintai ajaran Islam yang
sekaligus mencintai aspek-aspek ajarannya”, bukan zuhud dalam persepsi sufi
yang cenderung membenci aspek keduniawian[21],
melainkan zuhud dalam persepsi yang dikemukakan oleh para fukaha, atau para
teolog, misalnya Ibnu Taimiyah[22]. Karena itu, istilah tasawuf pada dasarnya
sejak masa Rasulullah sampai pada akhir
abad pertama hijriyah belum dikenal. Istilah tasawuf masuk dalam disiplin ilmu
yang praktis yaitu berkisar antara abad ke-2 – ke-5 Hijriah[23]
Jadi,
apapun aliran dan deskripsi tasawuf, maka tasawuf tetap tasawuf, yaitu sebuah
istilah yang melahirkan mazhab perasaan[24],
yang tidak ada padanannya dalam sumber utama ajaran Islam (al-Qur’an dan
Sunnah). Secara ekstrim, bisa saja disebut sebagai “sarang bid’ah”. Istilah
tasawuf subur dan berkembang bersamaan dengan mazhab kebatinan yang dalam
literatur Barat disebut mistisisme[25].
Teori-teori tasawuf dalam melakukan pendekatan kepada Yang Maha Esa yang
disebut dengan maqamat, sepenuhnya disusupi ajaran mistik yang berasal dari
agama lain (Kristen, Hindu dan Buda) yang dipoles dengan dan oleh filsafat
Yunani[26],
dan karenanya pula tasawuf atau mistisisme memerlukan upaya kritik perbaikan
supaya tidak menyesatkan banyak orang[27].
Buya
Hamka bilang, tasawuf perlu dikembalikan ke pangkalnya[28].
Sedangkan pangkal tasawuf yang dimaksudkan Buya Hamka, yaitu Tauhid, yang
melandasi akhlak Rasulullah Saw. Tasawuf yang ada, termasuk yang dikembangkan
Imam Ghazali, yaitu tidak mencerminkan akhlak Rasulullah Saw.[29] Kalaupun dikembalikan pada zuhud – yang
melatarawali tasawuf – maka zuhud yang dimaksud yaitu – sebagaimana tersebut di
atas – zuhud yang dikemukakan para fukaha, misalnya Imam Ahmad bin Hanbal yang
mendefinisikan zuhud yaitu meninggalkan yang haram, meninggalkan yang tidak
perlu dan meninggalkan rintangan-rintangan ke jalan Allah Swt.[30]
Sementara itu, para pengikut tasawuf
(sufisme) tentu enggan dibilang bid’ah apalagi menyesatkan. Ajaran sufi,
menurut mereka sepenuhnya bersumber al-Qur’an dan Hadits[31].
Istilah-istilah yang mereka gunakan, tak ubahnya dengan istilah-istilah yang
berkembang dalam dunia fikih atau dalam ilmu ke-Islaman lainnya. Metode
pemahaman mereka (sufisme) terhadap al-Qur’an dan Hadits, juga digunakan pula
oleh para ahli tafsir dan ahli hadits, yaitu metode ra’yu dan ta’wil, majaz dan
kinayah[32].
Ini semua, sesungguhnya juga dibenarkan oleh para penentang sufisme. Hanya
saja, seperti dikatakan Buya Hamka, mereka (sufisme) sangat memprioritaskan
perasaan dan Buya Hamka menyebutnya – seperti tersebut di atas – dengan mazhab perasaan. Kerja akal (pikiran)
yang mereka kedepankan – yang kemudian melahirkan mazhab tasawuf falsafi dengan
pelopor Imam Ghazali – pada dasarnya juga hanya merupakan logika pembenaran
terhadap mistisisme yang berdampak pada mengendorkan dan mendangkalkan akidah
atau pelemahan tauhid.
Karena metode mereka (sufisme)
menekankan pada perasaan, maka hampir semua rumusan sufistik bersifat puitis[33],
maka banyak sekali rumusan sufi yang tidak bisa diterima akal sehat[34]. Kalaupun di zaman kemudian banyak orang
mempelajari tasawuf, tujuan utamanya untuk menambah pengetahuan, menambah
wawasan, mengetahui jalan pikiran suatu bangsa untuk kemudian membuka
kesempatan memperbaiki jalan hidup
mereka[35].
Politik dalam Tasawuf
Pada dasarnya, kalau kita kembali
pada sejarah tasawuf, terdapat banyak tarekat yang bersifat massal (jamaah). Para pengikut tasawuf yang bergabung dalam sebuah jama’ah
tarekat ini bisa merupakan perkumpulan kooperatif, di mana ritual berjamaah
bisa berfungsi sebagai tempat untuk memperkuat hubungan atau jaringan lain di
antara para anggotanya. Jaringan yang rapih terdiri dari para guru tarekat,
wakil dari wakilnya bisa mengubah tarekat menjadi sebuah organisasi politik
yang kuat, sebagaimana yang telah terjadi dalam berbagai kasus yang luar biasa.
Sifat
tarekat bisa saja dibilang serba depensif atau serba diam, tetapi pada tempat
dan waktu yang berbeda menjadi serba aktif, bahkan melawan. Jihad asghar yaitu perjuangan fisik berupa
pemberontakan walaupun ajaran utama mereka adalah mendorong untuk tawakkal
melakukan jihad akbar, yaitu berjuang melawan hawa nafsu mereka sendiri.
Tarekat selalu cenderung menekankan bahwa ajaran dan amalannya tidak pernah
berubah dan berlanjut terus yang mereka percayai sepanjang abad, diturunkan
tanpa perubahan dari sang guru kepada murid-muridnya. Namun tidak dapat
dipungkiri adanya perubahan dan penyesuaian terhadap keadaan-keadaan setempat
dan iklim sosial dan intelektual zamannya.
Karena
adanya kemungkinan perubahan tersebut di atas, maka peralihan misi dan visi
tasawuf ke visi dan misi politik misalnya merupakan sesuatu keniscayaan yang
tidak mustahil lahir dari kalangan sufisme dan jama’ahnya. Perubahan ini bisa
saja menjadikan ajaran tasawuf sangat revolusioner. Apalagi kalau syeikh atau
mursyidnya turut tampil memberi aba-aba atau memberi semangat masing-masing
sekaligus pemberi komando gerakan-gerakan politik[36]. Ya, ini bisa saja terjadi karena memang dalam
perjalanan panjangnya, gerakan tasawuf (tarekat) merupakan realitas sosial dan
dinamikanya yang tidak bisa dipungkiri, khususnya di kalangan grass root
pengikut tarekat yang diyakini emosinya masih labil dan mudah terprovokasi.
Sejalan
dengan peralihan visi dan misi tasawuf tersebut, maka kendatipun hingga saat
ini tasawuf dianggap sebagai jalan untuk menghindari hiruk-pikuk keduniawian
politis, tetapi sesungguhnya memang tidak bisa dipungkiri bahwa sejarah
kelahiran tasawuf tidak terlepas dengan masalah politik. Kita lihat, misalnya
ketika masa Dinasti Abbasiyah dipimpin oleh Almansur. Kala itu, khalifah
bermaksud mengangkat Qadhi atau Hakim Agung. Kala itu pula, ada 4 (empat) ulama
besar yang dibidik Khalifah untuk dicalonkan. Mereka adalah Abu Hanifah (yang
kemudian terkenal dengan Imam Hanafi), Sufyan Tsawri, Mis’ar bin Kidam dan
Syurayh[37].
Keempat ulama ini kemudian diundang ke Istana Almansur untuk uji kelayakan.
Ketika keempat ulama tersebut
berjalan menuju istana, mereka bersepakat untuk menolak jabatan Hakim Agung.
Namun, karena Almansur terkenal sebagai khalifah yang militeristik, otoriter
dan pemarah, akhirnya mereka bediskusi bagaimana caranya. Dalam diskusi ini,
Abu Hanifah yang merasa lebih senior dan berkeyakinan dialah yang akan
diangkat, mengajak “bersandiwara”, atau bikin sinetron istilah sekarangnya.
Kepada para sahabatnya itu, beliau bersabda : Aku akan menolak jabatan ini dengan cara tertentu. Saudaraku Mis’ar,
kalau memeng Antum juga menolak, nanti Antum berpura-pura gila. Saudaraku
Shofyan, Antum hendaknya berlari. Dan Saudaraku Syurayh, Antum hendaknya
berpura-pura sakit.[38]
Sesuai skenario, Sufyan buru-buru kabur. Tinggal bertiga yang akan
menghadap khalifah. Sesampainya di istana, tes kelayakan pun dimulai. Abu Hanifah
mendapat giliran pertama dipanggil menghadap khalifah.
“Saudaraku
Abu Hanifah, saya ingin Anda membantuku menjadi Hakim Agung. Apa program Anda
nanti untuk posisi itu?”, tanya Khalifah Almansur. Abu Hanifah menjawab: “Wahai
Amirul Mukminin, ma’af, hamba bukan keturunan bangsa Arab. Hamba memprediksi,
masyarakat Arab tidak akan menerima keputusan-keputusan hamba nanti”. “Ini masalah ilmu, ilmu hukum. Anda yang
paling cocok untuk jabatan ini, tidak ada hubungannya dengan KKN”, kata
khalifah sudah mengenal istilah KKN. Abu Hanifah tetap pada pendiriannya untuk
menolak. “Ma’af Paduka, yang hamba katakan tadi itu juga ilmu, ilmu sosiologi,
yang menunjukkan dalil-dalil induktif demikian yang terjadi pada masyarakat
Arab yang Paduka pimpin”, demikian penjelasan Abu Hanifah. Khalifah Almansur
pun mengalah, gak jadi mengangkat Abu Hanifah jadi Qadhi (Hakim Agung),
kemudian memanggil Mis’ar bin Kidam.
Sesuai dengan skenario Abu Hanifah,
Mis’ar bin Kidam langsung nyerocos sekenanya : “Hallo Almansur, apa kabar?
Bagaimana keluarga Anda? Baik-baik saja, kan?
Bagaimana anak-anak Anda? Sehat-sehat saja, kan? Bagaimana hewan-hewan yang menjadi
ternak Anda, bagus semua, kan?” Dianggap tidak sopan, khalifah Almansur pun
memanggil Paspamkhal (Pesukan Pengaman Khalifah) untuk mengeluarkan Mis’ar bin
Kidam. “Dia gila!”[39],
teriak khalifah. Kemudian langsung memanggil Syurayh, sebagai orang terakhir.
“Saudaraku Syureyh, Anda saya angkat
menjadi Qadhi, Hakim Agung!”, tegas Khalifah langsung memvonis. Syureyh pun
berusaha mengelak dengan mengingat-ingat skenario yang disepakati. “Ma’af,
beribu-ribu ma’af Paduka, hamba ini orangnya sakit-sakitan, mudah sedih,
stress, dan banyak orang menilai hamba suka melucu. Sungguh tidak pantas kalau
hamba memegang jabatan itu”, keluhnya. Khalifah Almansur langsung memanggil
dokter spesialis dan memerintahkannya untuk terus mengontrol kesehatan Syureyh.
Tak ada alasan, Syureyh pun tak bisa mengelak, jadilah beliau sebagai Hakim
Agung [40].
Kisah di atas, oleh para sufisme
(ahli dan penganut sufi) digambarkan sebagai bukti bahwa mereka (Abu Hanifah
Cs.) adalah tokoh-tokoh sufi dari kalangan tabiin
yang telah menjauhi jabatan politik. Bahkan, digambarkan pula sebagai malamatiyyah, sebuah konsep sufi untuk
menunjukkan “tidak berlebihan” dalam dirinya walaupun harus berbohong dan
menjelekkan dirinya sendiri[41].
Namun, kalau kita amati kisah tadi, apa yang dilakukan Abu Hanifah dan para
sahabatnya adalah merupakan reaksi terhadap politik waktu itu (khalifah
Almansur) yang memang terkenal diktator, tak pernah merasa segan untuk membunuh
dan memenjarakan siapapun yang berbeda dan bahwa berlawanan dengan garis
politiknya, termasuk Abu Hanifah yang meninggal di penjara Almansur lantaran
penolakannya menjadi Qadhi (Hakim Agung tadi).[42]
Jadi, menurut hemat saya, bahwa
tasawuf, dilihat dari sejarah kelahirannya, memang terkesan sebagai suatu
gejala depolitisasi, sebagai pelarian dari tanggung jawab sosial dan politik. Namun,
kalau kita memperhatikan kasus “sandiwara” yang diperankan Abu Hanifah di atas,
bukan berarti tasawuf lebih berorientasi pada urusan ukhrawi ketimbang masalah
dunia, tetapi karena kondisi politik yang dianggap tidak bersahabat dengan
keimanan dan ketakwaan Abu Hanifah dan para sahabatnya[43].
Dengan penegasan lain, tasawuf lahir sebagai reaksi terhadap situasi politik
yang saat itu diwarnai oleh perang saudara antarsesama sahabat dan atau
tabi’in, khususnya masa kekhalifahan Umayyah dan Abbasiyyah.
Sama halnya dengan para sufisme di Indonesia.
Syeikh Hamzah Fansuri, Syamsuddin al-Sumatrani dan Syeikh Nur al-Din al-Raniri
atau lebih gampang dibaca Nuruddin
Arraniri, orang India
yang menetap di Aceh, tiga dukun sufisme pertama di Indonesia ini punya mazhab tasawuf
yang sama, yaitu tasawuf falsafi,
tetapi dalam perkembangannya memperlihatkan tontonan yang menarik karena
antarpengikutnya saling bermusuhan bahkan saling membunuh. Hamzah Fansuri dan
Syamsuddin membawa bendera gaya
tasawuf Ibnu Arabi dan Al-Hallaj yang menuhankan dirinya, sedangkan Arraniri
membawa bendera tarekat Rifaiyah[44].
Hamzah Fansuri (1550-1605/1606?) hidup pada masa Sultan Alauddin Riayat Syah
(1539-1570) dan awal pemerintahan Sultan Iskandar Muda Darma Wangsa Perkasa
Alam Sayah (1607-1636) di Aceh[45]
dan kemunculan tasawuf Fansuri berlawanan dengan Sultan di Acah. Sementara, Nuruddin Arraniri (w.21 September
1658) seide dengan kebijakan Sultan, bahkan diangkat sebagai Multi Kerajaan,
saat Aceh dipegang seorang Sultan Sri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Syah
(1641-1675)[46]
Sebagai
reaksi politik, maka sebenarnya mengambil posisi zuhud dan bertasawuf, adalah
merupakan sikap politik, atau siasat yang suatu saat kaum sufisme akan
menguasai dunia politik, atau setidak-tidaknya akan terus mewarnai dinamika
politik, yang dengan demikian, pupuslah persepsi tasawuf sebagai gerakan yang
murni tanpa melibatkan diri dalam hal kemewahan dunia. Tasawuf moderen yang
banyak dicita-citakan para pembaharu Islam, Insya-Allah akan terwujud dengan
sendirinya. Tasawuf dan sufisme kuno,
baik yang bermazhab salafi atau aliran Madinah, mazhab Basrah atau
sufisme yang beraliran sunni, ataupun mazhab Kuffah, semuanya saja akan membaur
dengan hiruk-pikuk politik. Pada girilannya, keberadaan dan teori-teori
sufistik dan mistik mereka hanya sebagai hazanah historis yang tidak perlu lagi
dikebangkan apalagi menjadi anutan[47].
Maqamat kaum sufisme seperti tobat, sabar, kefakiran, zuhud, takwa, tawakkal,
mahabbah, makrifat, ridha dan sebagainya, perlu dilakukan reinterpretasi secara
moderen, dengan melibatkan aspek-aspek keduniawian.
Partai
Politik Kaum Tarikat (Tasawuf)
Keterlibatan
tasawuf (sufisme) dalam dunia politik, ternyata bukan basa-basi atau bukan
prediksi yang hampa tak berfakta. Kita lihat beberapa gerakan tarekat di Indonesia.
Misalnya, tarekat Naqsyabandiyah, tarekat yang lahir di Asia Tengah oleh Muhammad
bin Muhammad Bahauddin al-Uwaisi al-Bukhari Naqsyabandi (1318-1389), yang
kemudian meluas ke Turki, India, Iran, Afghanistan, dan hampir seluruh dunia
Islam, termasuk Indonesia. Tarekat ini berkembang begiru pesat, hingga kemudian
beranega ragam corak maqamatnya. Di Indonesia, juga demikian. Ada tarikat Naqsyabandiyah Khalidiyah
(Minagkabau), Naqsyabandiyah Muzhariyyah (pontianak,
Jawa Timur, Kalbar dan Maduta), dan ada pula Qadiriyah Naqsyabandiyah,
berkembang di Jawa, seperti di Bogor,
Banten, Tasikmalaya, Semarang,
Jombang (Jatim)[48]
Sejak 1850 dan seterusnya, Tarekat
Naqsbandiyah di Indonesia tersebut, khususnya di Jawa, telah berhasil menarik
sejumlah besar pengikut dari kalangan kelompok sosial politik kelas atas.
Dengan demikian di kalangan masyarakat Belanda di Indonesia telah terdapat rasa
ketakutan terhadap tarekat, karena mereka yakin bahwa gerakan tarekat akan bisa
digunakan oleh pemimpin-pemimpin fanatik sebagai basis kekuatan untuk
memberontak. Di beberapa daerah di Jawa Barat, Banten, yang ada basis-basis
tarekatnya terus diwaspadai bahkan digempur bertalu-talu, peristiwa Cianjur
tahun 1885, peristiwa Cilegon tahun
1888, peristiwa di Lombok (NTB) tahun 1901, peristiwa Sidoharjo 1903 dan peristiwa
Garut pada tahun 1919[49],
adalah bukti bahwa jama’ah tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia senantiasa
terlibat dalam kegiatan politik.
Awal Abad ke-20, gerakan
Wahabi di tanah suci Makkah berhasil mempengaruhi kerajaan. Pembersihan segala
jenis ajaran sufisme diberangus. Para ulama
asal Indonesia
yang bersimpati pada gerakan Wahabi tersebut, mulai semakin berani mengkritik
dan menyerang ajaran-ajaran tasawuf yang dinilai berbau syirik[50].
Misalnya Syeikh Ahmad Khatib (1852-1915) di Minangkabau, ulama Indonesia yang
bermukim di Makkah, dengan gencar mengkritik aliran-aliran Naqsyabandiyah. Haji
Abdul Karim Ibnu Muhammad Amrullah yang dikenal dengan Haji Rasul (ayahanda
Buya Hamka) juga turut aktif dan bahkan lebih gencar dari yang dilakukan Syeikh
Ahmad Khatib dalam mengkritik aliran Naqsyabandiyah[51].
Di Yogyakarta, Syeikh Haji Mohammad Darwis, yang
juga telah bermukim di Makkah, tidak mau berdiam diri. Faham-faham keagamaan
berbau Naqsyabandiyah dibendungnya. Tokoh yang kemudian dikenal dengan nama
Ahmad Dahlan ini, untuk memperkokoh gerakannya mengerem aliran yang dipandang
membodohi umat Islam tersebut telah mendirikan organisasi Muhammadiyah. Ahmad
Dahlan mengajak para Syeikh dan mursyid tarekat untuk menyadari, bahwa mendidik
para murid yang kelak siap menghadapi zamannya, siap meladeni kecanggihan kolonial,
bukan dengan terus-menerus berdzikir verbalistik, tetapi harus berdzikir dengan
tindakan. “Faidza qudiyatis Shalatu fan(g) tasyiruu fil ardh...!”, demikian
seru Ahmad Dahlan mengutip al-Qur’an surah Jum’ah hampir dalam setiap
kesempatan berdakwahnya. Akibat dari adanya kritik yang bertubi-tubi yang
dilancarkan para pengagum Wahabiyah tersebut, tarekat Naqsyabandiyah pun mulai
meredup.
Namun
demikian, pada tahun 1926, para guru-guru dari berbagai pesantren yang
bersimpati pada tarekat Qadariyah, telah mendirikan Nahdhatul Ulama (NU) yang
berarti “Kebangkitan Para Ulama”. Dua tahun berikutnya, yaitu tahun 1928, para
Syeikh dan mursyid tarekat dari berbagai aliran, terutama Naqsyabandiyah mendirikan
badan pemersatu yaitu Madrasah Tarbiyah Islamiyah yang kemudian menjadi PERTI
(Persatuan Tarbiyah Indonesia).[52]
Di antara pendirinya adalah Syaikh Sulaiman Ar-Rasuli Candung, Syaikh Abbas
Qadhi dari Lawas[53],
keduanya adalah syaikh Naqsyabandiyah. Dalam perjalanan selanjutnya, PERTI
merupakan wadah utama yang menampung kepentingan Naqsyabandiyah.
Pada tahun 1950-an PERTI dinyatakan
sebagai partai politik yang mengklaim mewakili tarekat Naqsyabandiyah. Syaikh
Sulaiman Al-Rasuli sebagai pimpinan PERTI mendepak keluar Syaikh Haji Jalaludin
– seorang anggota Naqsyabandiyah dari PERTI akibat polemik menyangkut akidah
dan juga fiqih yang dikeluarkan oleh Syaikh Jalaludin dalam kitab-kitabnya.
Karena
dikeluarkan dari PERTI Syeikh Haji Jalaluddin pun mendirikan organisasi dan
partai sendiri yaitu Partai Politik Tarekat Islam (PPTI) – kemudian menjadi
Persatuan Pengamal Tarekat Islam. Kedua partai politik ini mengklaim mewakili
tarekat Naqsyabandiyah.
Dalam pemilu 1955 perolehan dapat dilihat dalam table
berikut ini:
KETERANGAN
|
SUMTENG
|
SOLOK
|
SUMUT
|
TAP
SELATAN
|
Pemilih yang sah
|
1.799.955
|
135.384
|
2.458 732
|
200.800
|
Suara yang masuk
|
1.571.133
|
122.084
|
2.134.817
|
175.932
|
Masyumi
|
797.692
|
71.000
|
798.910
|
63.319
|
PERTI
|
351.768
|
24.507
|
78.358
|
680
|
PPTI
|
35.156
|
13.313
|
27.084
|
19.549
|
NU
|
-
|
-
|
87.773
|
48.108
|
Data di atas menunjukkan bahwa H.
Jalaluddin berhasil melakukan manufer politik dengan perolehan suara. Di
Sumteng berhasil memperoleh suara 35.156 suara dari 1.571.533 atau 2,3 persen.
Di Sumut berhasil memperoleh Solok perolehnya mencapai 11 persen. Perolehan
yang sama (11%) juga diperoleh di Tapanuli Selatan, yaitu 19.549 dari 175.192
suara.[54]
Dalam perkembangan berikutnya H.
Jalaluddin berperan aktif dalam pentas poliltik zaman Soekarno. Dan untuk itu
beliau mencoba berfikir akomodatif, sehingga mengajukan tema-tema tarekat
dikaitkan terhadap Soekarno. Misalnya Soekarno disebut dengan Mahdi. Kemudian
menyebut tarekat Soekarnoisme (pancasilaisme) sebagai tarekat Islam dan
lain-lain.
Tahun 1961 partainya berubah menjadi
ormas dan kepanjangan partainya menjadi Persatuan Pembela Tarekat Islam. Pada
permulaan orde baru PPTI masuk Golkar dan pada tahun 1971 menganjurkan
anggotanya untuk menusuk tanda gambar beringin. Tahun 1975 PPTI pecah menjadi
dua yaitu Persatuan Pembela Tarekat Islam dengan Persatuan Pembina Tarekat
Islam.[55]
Di samping PPTI, organisai tarekat yang mempunyai masa besar yang didirikan
tahun 1957, yaitu Jam’iyah Ahlut
Thariqah. Karena kyai Musta’in pimpinan organisasi ini, dan jam’iyah terpecah
menjadi dua, yang pertama mendukung Golkar sedang yang kedua cenderung
mendukung PPP.[56]
Penutup
Dengan
dan setelah “terasa capek” mengedepankan pemikiran sufisme atau mistisisme di
atas, penulis dapat mengakhiri dengan rumusan kesimpulan sebagai berikut :
- Tasawuf, adalah sebuah gerakan pengamalan ajaran agama yang sarat dengan mistik. Tarekat sebagai metode pengamalan yang dilakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Metode ini dilakukan secara bersama-sama dan dianut oleh komunitas, sehingga pada akhirnya tarekat menjadi sejenis organisasi dengan cara dan tujuan tertentu, terutama tujuan politik.
- Sebagai konsekuensi logis dari kesempurnaan ajaran Islam, maka tarekat sebagai bidang kajian metodologi ke-Islaman tidak terlepas dari pemikiran dan gerakan yang diperankannya dalam sejalan perjalanannya, khususnya di Indonesia. Pemikiran politik bermula dari pandangan tentang perlunya penciptaan komunita tarekat yang ekslusif, komunitas mana, selain harus diwujudkan sekaligus harus dilestarikan. Dalam upaya mewujudkan sekaligus harus dilestarikan, yang berarti memerlukan gaya dan metode yang diniscayakan menarik dari segala segi pandang. Upaya mewujud-lestarikan itu, pemikiran politik yang beralih kepada gerakan politik, adalah sutu konsekwensi yang mau tidak mau harus mereka terima.
- Evolusi pemikiran tentang dan atau dari zuhud menjadi tasawuf, dari tasawuf menjadi tarekat, kemudian dari tarekat menjadi sebuah gerakan massa yang terorganisir, atau menjadi sebuah organisasi – masa lalu peralihan dari pemikiran politik kepada gerakan politik, selain dipengaruhi oleh sosio historis yang mengitarinya, juga – dan yang terpenting – peran tokoh tarekat (guru, syaikh, mursyid) sebagai aktor dalam komunitas tasawuf atau tarekat.
- Kajian tentang tasawuf (mistisisme) dan tarekat merupakan suatu hal yang sebenarnya menjadi kajian korektif, bukan kajian doktrinatif. Maksudnya, yaitu kajian yang memang masih tetap relevan, karena kecenderungan masyarakat terhadap tazkiyah (pendekatan dan penyucian diri) sekarang ini tampak menjadi kebutuhan, dan karena demikian maka tasawuf menjadi obyek kajian yang harus tetap dikritisi supaya tidak menyesatkan.
DAFTAR
PUSTAKA
Affifi , A.E., Filsafat Mistis Ibnu Arabi (Terj.
Syahrir Mawi dan Nandi Rahman), Cahaya Media Pratama, Jakarta, cet.I, 1995
Anwar,
H. Moch., Dasar-dasar Ilmu Tasawuf –
Tarjamah Matan Adzkiya, PT Alma’arif, Bandung,
cet. I, 1980.
An-Nadwi, Dr. Abulhasan Ali, Ketuhanan bukan Kerahiban – Menelusuri
Pemahaman Aliran Tasawuf (Drs. Hery Noer Aly), Husaini, Bandung, cet.I,
1987.
Agham,
Noor Chozin, Ideologi Muhammadiyah dan
Upaya Pengamanannya, makalah, disampaikan dalam Pelatihan Ideologi Ikatan, IMM Cabang Ciputat, Jakarta, 23
September 2006.
Agham
, Noor Chozin, Nabi Isa, Imam Mahdi dan
Tanda Kiamat, dalam Harian Terbit,
Jakarta, 28 Januari 1991.
Al-Hamdany,
H.S.A., Sanggahan terhadap Tashawuf &
Ahli Sufi, PT Alma’arif, Bandung,
cet. III, 1982.
Al-Hujwiri,
Kasyful Mahjub – Risalah Persia Tertua
tentang Tasawuf, (terj. Abdul Hadi WM dan Suwardjo Muthary), Mizan, Bandung, cet. I, 1992.
al-Taftazani,
Dr. Abu al-Wafa, Al-Madkhal ila
al-Tashawwufi al-Islami, Dar al-Tsaqafah wa al-Thiba’ah wa al-Nasyr, Cairo, cet.II, 1976.
Ash-Shiddieqy,
Teungku Muhammad Hasbi, Sejarah dan
Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, PT Pustaka Rizki Putra, Semarang, cet.
III, 2000.
Badawi
, Dr. Abdu al-Rahman, Tarikhu
al-Tasawwufi al-Islami, Wikalatul-Mathbu’at, Kuwait, 1975.
Bruinessen,
Martin van, Tarikat Naqsyabandiyah di
Indonesia, Mizan, Bandung,
1996,
Hadi
WM, Abdul, Hamzah Fansuri : Risalah Tasawuf
dan Puisi-puisinya, Mizan, Bandung,
cet. I, 1995.
Hadiwijono,
Dr. Harun, Kebatinan dan Injil, PT BPK Gunung Mulia, Jakarta, cet. VII, 1990.
Hamka,
Prof. Dr., Tasauf – Perkembangan dan
Pemurniannya, Pustaka Panjimas, Jakarta, cet. XIX, 1994
Harun,
Lukman, Buya Rusli Membangun dan
Menyelamatkan PERTI, dalam Drs. Adeng F. Hanafi (ed.), Pejuang Perti dan Pribadi K.H. Rusli Abdul Wahid, DPP Perti,
Jakarta, 1992,
Hasjmy,
A., Pernanan Islam dalam Perang Aceh dan
Perjuangan Kemerdekaan Indonesia,
Bulan Bintang, Jakarta,
cet pertama, 1976.
Hanafi,
Drs. Adeng F.(ed.), Pejuang Perti dan
Pribadi K.H. Rusli Abdul Wahid, DPP Perti, Jakarta, 1992
Khalik,
Dr. Abdurrahman Abdul, Bercak-bercak
Sufi, (ter.A.Mujab Mahali), Al-Kautsar, Yogyakarta,
cet.I, 1989.
Mughni, Syekh Abdul, Intisari Ajaran Syekh Abdul Qadir Jailani,
Pustaka Media, Surabaya,
cet. I, tt.
Nasution,
Dr. Harun, Falsafat dan Mistisisme dalam
Islam, Bulan Bintang, Jakarta,
cet.IX, 1995.
Noer,
Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia
1900 – 1942, LP3ES, Jakarta,
1996
Vali’uddin,
Dr. Mir, Tasawuf dalam Qur’an, (terj.
Tim Penerjemah Pustaka Hidayah), Pustaka Hidaya, Jkarta, cet.2, 1993.
Vaglieri,
Prof. Dr. Laura Veccia, Apologi Islam,
(terj.Dr. Ahmad Daudy, M.A.), Bulan Bintang, Jakarta, 1983.
Rakhmat,
Jalaluddin, Kekuasaan di Mata Sufi,
dalam Al-Huda – Jurnal Kajian Ilmu Ilmu
Islam, vol I, No. 3, 2001.
Redaksi,
Dewan, Ensiklopedi Islam, jilid3,4 dan 5,
Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, cet. Ke-2, 1994.
Redaksi,
Dewan, Kuliah Wahidiyah – Untuk Menjernihkan Hati dan Ma’rifat Billah Wa
Birasulihi SAW, Penyiar Shalawat Wahidiyah Pusat, Kediri, 1981.
Simuh , Dr., Kebatinan dan Islam di Indonesia, dalam Studia Islamika, No. 21/Th.IX, 1985, Lembaga Penelitian IAIN
Jakarta, 1985.
Suhrawardi,
Syeikh Syihabuddin ‘Umar, ‘Awarif
al-Ma’aarid – Sebuah Buku Daras Klasik Tasawuf, (terj. Ilma Nugrahani
Ismail), Pustaka Hidayah, Bandung,
cet.I, 1998.
Suminto,
Husnul Aqib, Politik Islam Hindia Belanda,
LP3ES, Jakarta,
1985.
--o0o--
[2] Lih. Dr. Abdu al-Rahman
Badawi, Tarikhu al-Tasawwufi al-Islami,
Wikalatul-Mathbu’at, Kuwait,
1975, hal. 51.
[3] Lih. H. Moch.
Anwar, Dasar-dasar Ilmu Tasawuf –
Tarjamah Matan Adzkiya, PT Alma’arif, Bandung,
cet. I, 1980, hal.27-30.
[4] Ibid., atau bandingkan dengan Dr.
Abulhasan Ali An-Nadwi, Ketuhanan bukan
Kerahiban – Menelusuri Pemahaman Aliran Tasawuf (Drs. Hery Noer Aly),
Husaini, Bandung, cet.I, 1987, hal.1-2.
[5]Tasawuf sebagai
disiplin ilmu tidak jelas kapan ia lahir. Ada
yang bilang sekitar abad ke-2 dan ke-3 Hijriyah, ada juga yang bilang sekitar
abad ke-4 dan ke-5 Hijriyah. Sementara, yang lain menyebutnya jauh setelah
Rasulullah wafat, yaitu sekitar abad ke-3 dan ke-4 Hijriyah, bersamaan dengan
kian banyaknya para tokoh Islam kala itu yang mengambil jalan zuhud. Lih. Dewan
Redaksi, Ensiklopedi Islam, jilid 5,
Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, cet. Ke-2, 1994, hal.73-86
[6] Uraian
masing-masing, terdapat dalam, Dr. Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta,
cet.IX, 1995, hal. 57
[7] Dr. Mir Vali’uddin,
Tasawuf dalam Qur’an, (terj. Tim
Penerjemah Pustaka Hidayah), Pustaka Hidaya, Jkarta, cet.2, 1993, hal. 2. Atau
lih. Pula, Dr.
Abulhasan Ali An-Nadwi, Op. Cit. Atau,
bandingkan dengan Dr. Harun Nasution, Op.
Cit
[8] Al-Hujwiri, Kasyful Mahjub – Risalah Persia Tertua
tentang Tasawuf, (terj. Abdul Hadi WM dan Suwardjo Muthary), Mizan, Bandung, cet. I, 1992,
hal.88
[9] Lih. Syekh Abdul
Mughni, Intisari Ajaran Syekh Abdul Qadir
Jailani, Pustaka Media, Surabaya,
cet. I, tt., hal. 62
[10] Istilah mistik,
masuk ke dalam tasawuf karena ada pandangan bahwa tasawuf telah disusupi ajaran
mistik yang berasal dari agama lain yang bukan dari Islam terutama filsafat
Yunani, lebih khusus lagi filsafat Aristoteles dan Platoninisme. Bandingkan
dengan A.E. Affifi, Filsafat Mistis Ibnu
Arabi (Terj. Syahrir Mawi dan Nandi Rahman), Cahaya Media Pratama, Jakarta, cet.I, 1995,
hal. 83
[11] Dr. Simuh, Kebatinan dan Islam di Indonesia, dalam Studia Islamika, No. 21/Th.IX, 1985,
Lembaga Penelitian IAIN Jakarta, 1985, hal. 45.
[12] Disarikan dari
beberapa literature, antara lain Prof. Dr. Hamka, Tasauf – Perkembangan dan Pemurniannya, Pustaka Panjimas, Jakarta,
cet. XIX, 1994, hal. 88 dst., dan Dr.
Harun Nasution, Op. Cit., hal. 79
[13] Sebenarnya,
rumusan hakekat tasawuf tidak hanya itu, masih banyak rumusan lainnya. Ini bisa
dimaklumi karena memang sesungguhnya prihal tasawuf masih terus mengundang
kontroversi yang berkepanjangan dan mungkin tak berkesudahan. Setidaknya,
inilah yang menarik bagi para peneliti hazanah ke-Islaman. Prihal aneka hakekat
tasawuf ini, lih. Al-Hujwiri, Op. Cit.,
hal. 42-52.
[14] Maqamat para
sufi, berbeda-beda, karena sangat erat kaitannya dengan pengalaman yang dilalui
para sufi itu sendiri. Misalnya maqamat versi Imam Ghazali, yaitu ada sembilan,
yakni : Tobat, sabar, kefakiran, zuhud, takwa, tawakkal, mahabbah, makrifat dan
ridha. Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam,
jilid 3, Op. Cit. hal. 124.
[15] Ibid
[16] Dewan
Redaksi, Kuliah Wahidiyah – Untuk Menjernihkan Hati dan Ma’rifat Billah Wa
Birasulihi SAW, Penyiar Shalawat Wahidiyah Pusat, Kediri, 1981, hal. 3-4
[17] Setidaknya,
tokoh-tokoh atau para mursyid/syeikh sufi, yaitu mereka yang – kalau belum
boleh di bilang kaya raya – cukup secara ekonomi. Tanpa membanting tulang
(bekerja mencari nafkah), mereka sudah cukup persediannya untuk menghidupi
dirinya. Misalnya Imam Ghazali, beliau menjadi sufi setelah berkecukupan.
Awal-awal kehidupannya memang miskin, beliau bisa sekolah karena kepintaran dan
beasiswa yang diterimanya, tetapi kemudian beliau jadi asisten dosen, lalu dosen,
lalu guru besar dan bahkan sempat menjadi pejabat pemerintahan Perdana Menteri
Nizam al-Mulk. Pada tahun 1095 beliau sempat melepas jabatan dan profesi guru
besarnya, dengan bekal yang cukup beliau mengembara dari satu tempat ke tempat
lain, keluarganya pun ditinggalkannya. Setelah mengembara, beliau kemudian
mengurung diri (berkontemplase) dalam Masjid Damascus, dan di sinilah beliau
menulis buku hebatnya, Ihya Ulumuddin. Kemudian tahun 1105 beliau
kembali mengajar, tetapi tidak lama kemudian pulang kampung, mendirikan halaqah sekolah khusus untuk calon sufi.
Intinya, Imam Ghazali, secara ekonomis bukanlah tergolong miskin. Lih. Dewan
Redaksi, Ensiklopedi Islam, jilid
2.,(Op. Cit.), hal. 26-27.
[18] Tahapan-tahapan
perkembangan tasawuf, hampir ditemukan dalam banyak buku tasawauf. Misalnya
dalam buku yang ditulis Buya Hamka, Harun Nasution, Simuh, al-Hujwiri, dan
lain-lain, termasuk hal ini bisa dibaca dalam: Dr. Abu al-Wafa al-Taftazani, Al-Madkhal ila al-Tashawwufi al-Islami,
Dar al-Tsaqafah wa al-Thiba’ah wa al-Nasyr, Cairo, cet.II, 1976, hal. 22-25.
Bandingkan pula dengan Martin van Bruinessen, Tarikat Naqsyabandiyah di Indonesia, Mizan, Bandung, 1996, hal. 61 dst.
[19] Bandingkan
dengan, Syeikh Syihabuddin ‘Umar Suhrawardi, ‘Awarif al-Ma’aarid – Sebuah Buku Daras Klasik Tasawuf, (terj. Ilma
Nugrahani Ismail), Pustaka Hidayah, Bandung,
cet.I, 1998, hal. 41-46.
[20] Lih. Dr.
Abdurrahman Abdul Khalik, Bercak-bercak
Sufi, (ter.A.Mujab Mahali), Al-Kautsar, Yogyakarta,
cet.I, 1989, hal. 20 dan hal. 72-74. Lih. pula, Prof. Dr. Laura Veccia
Vaglieri, Apologi Islam, (terj.Dr.
Ahmad Daudy, M.A.), Bulan Bintang, Jakarta,
1983, hal. 75.
[21] H. Moch. Anwar, Op.Cit, hal. 27
[22] Yaitu zuhud yang
berkiblat pada akhlak mulia Rasulullah Saw., yang berdimensi dunia akhirat.
Bandingkan dengan, Dr. Abulhasan Ali An-Nadwi, Op. Cit., hal 71. Bandingkan pula dengan Prof. Dr. Hamka, Op. Cit.
[23] Berkisar antara…,
itu karena sebagaimana tersebut di atas, banyak sekali teori prihal sejarah
kelahiran tasawuf. Sedikit ada kejelasan diuraikan Dr. Harun Nasution, yang
secara tegas ada pengaruh dari Kristen, filsafat mistik Pythagoras, filsafat
emanasi Plotinus, Ajaran Buda dan ajaran-ajaran Hinduisme. Lih. Dr. Harun
Nasution, Op. Cit., hal 58 – 59.
[24] Prof. Dr. Hamka, Op. Cit., hal. 86. Bandingkan dengan,
Noor Chozin Agham, Nabi Isa, Imam Mahdi
dan Tanda Kiamat, dalam Harian Terbit,
Jakarta, 28 Januari 1991, hal. IX
[25] Lih. Dr. Harun
Hadiwijono, Kebatinan dan Injil, PT BPK Gunung Mulia, Jakarta, cet. VII, 1990, hal. 7. Bandingkan
pula dengan A.E. Affifi, Op. Cit.
Bandingkan dengan literatur lainnya
[26]Setidaknya,
demikianlah menurut Dr. Abulhasan Ali An-Nadwi, Op.Cit.. Bandingkan dengan
Dr. Simuh, Op. Cit. Prof. Dr. Hamka,
ketika mengomentari Imam Ghazali, Op. Cit.,
hal. 208.
[27]H.S.A. Al-Hamdany,
Sanggahan terhadap Tashawuf & Ahli
Sufi, PT Alma’arif, Bandung, cet. III, 19882, hal. 132.
[28] Ada buku kecil
karangan Buya Hamka, judulnya Mengembalikan
Tasawuf ke Pangkalnya, sebuah buku yang berasal dari pidato pengkuhan Hamka
sebagai Guru Besar Ilmu Tasawuf di PT AIN Yogyakarta, 1958, diterbitkan oleh
Pustaka Panjimas, Jakarta, 1978. Buku ini kemudian menyatu dalam buku Tasawuf – Perkembangan dan Pemurniannya,
karya Buya Hamka juga. Bandingkan dengan, Noor Chozin Agham, Op. Cit.
[29] Prof. Dr. Hamka, Op. Cit., hal. 206
[30] Ibid., hal.86.
[31] Al-Hujwiri, Op. Cit.
[32] Istilah-istilah
tersebut, terdapat dalm ilmu tafsir atau ulumul-Qur’an. Misalnya, lih. Teungku
Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan
Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, PT Pustaka Rizki Putra, Semarang, cet.
III, 2000, hal. 173-174 dan hal. 186 dst.
[33] Lih. Abdul Hadi
WM, Hamzah Fansuri : Risalah Tasawuf dan
Puisi-puisinya, Mizan, Bandung,
cet. I, 1995, hal. Pendahuluan.
[34] Bandingkan
dengan, Prof. Dr. Hamka, Op. Cit.,
hal. 106-107
[35] Drs. H. Nandi
Rahman, M.Ag., salah seorang penerjemah buku Filsafat Mistik Ibnu Arabi (Penerbit : Cahaya Media Pratama,
Jakarta, 1995), membeberkan maksud dan tujuannya kepada penulis (Enceha) yang
intinya tidak bermaksud mendakwahkan ajaran sufi untuk kemudian diikuti dan dipedomani,
melainkan bertujuan seperti Buya Hamka bilang dalam bukunya, Tasawuf – Perkembangan dan Pemurniannya,
Op. Cit. hal.228
[36] Jama’ah atau
pengikut tarekat, selalu hormat dan taat pada Syeikh atau mursyidnya. Saking
ta’aatnya, andai disuruh “maling” pun tentu melaksanakannya. Bandingkan dengan
Syeikh Syihabuddin ‘Umar Sukrawardi, Op.
Cit., hal. 41-46.
[37] Al-Hujwiri, Op.Cit., hal.95.
[38] Ibid.(gubahan)
[39] Ibid., hal. 96..
[40] Penulis sadur
dari, ibid., hal 95-96..
[41] Bandingkan
dengan, Jalaluddin Rakhmat, Kekuasaan di
Mata Sufi, dalam Al-Huda – Jurnal
Kajian Ilmu Ilmu Islam, vol I, No. 3, 2001, hal. 99.
[42] Namun demikian –
di sisi kekejamannya – Khalifah Almansur termasuk khalifah yang berjasa besar
dalam pengembangan ilmu-ilmu ke-Islaman. Tokoh-tokoh besar dalam segala ilmu
termasuk tasawuf lahir dan mulai berkembang pada masa khalifah kedua dinasti
Abbasiyah ini, misalnya Abu Hanifah, Imam Malik, Sufyan Tawri, Abdurrahman
Al-Auza’i, dan lain-lain. Dewan Redaksi, Ensiklopedi
Islam, jilid 3, (Op cit), hal.
157.
[43] Bandingkan dengan
Jalaluddin Rakhmat, Op. Cit.
Bandingkan pula dengan, Dewan Redaksi, Esiklopedi
Islam jilid 3, Op. Cit.
[44] Bandingkan dengan
Prof. Dr. Hamka, Op. Cit., hal. 210
dst. Bandingkan pula dengan, Dewan Redaksi, Ensiklopedi
Islam, jilid 4, Op. Cit. hal. 48.
[45]Bandingkan dengan,
A. Hasjmy, Pernanan Islam dalam Perang
Aceh dan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia, Bulan Bintang, Jakarta, cet
pertama, 1976, hal. 9.
[46] Ibid. Bandingkan pula dengan, Dewan
Redaksi, Ensiklopedi Islam, Op Cit.
[47] Bandingkan dengan
catatan kaki nomor 26 di atas.
[48] Dewan Redaksi, Ensiklopedi... Op. Cit.
[49]
Peristiwa-peristiwa tersebut, merupakan gerakan politik jama’ah tarekat
Naqsyabandiyah dalam berjuang mempertahankan hak-haknya yang terus dikangkangi
Kolonial. Masing-masing peristiwa tersebut, bisa dibaca dalam, Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900 –
1942, LP3ES, Jakarta, 1996, hal. 242-243,
lihat pula Husnul Aqib Suminto, Politik
Islam Hindia Belanda, LP3ES, Jakarta, 1985, hal 64-66, atau dalam Martin
van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di
Indonesia, Mizan, Bandung, cet.I, 1996, hal.27-29.
[50] Bandingkan
dengan, Noor Chozin Agham, Op. Cit.,
atau Noor Chozin Agham, Imam Mahdi adalah
Syaithan, Harian Terbit, 3 Desember 1990, hal. X
[51] Bandingkan
dengan, Ibid., hal. 110
[52] Deliar Noer, Op. Cit., hal. 24
[53] Lukman Harun, Buya Rusli Membangun dan Menyelamatkan PERTI,
dalam Drs. Adeng F. Hanafi (ed.), Pejuang
Perti dan Pribadi K.H. Rusli Abdul Wahid, DPP Perti, Jakarta, 1992, hal. 7
[54] Martin van
Bruinessen, Op. Cit.hal. 131
[55]Drs. Adeng F.
Hanafi (ed.), Pejuang Perti dan Pribadi
K.H. Rusli Abdul Wahid, DPP Perti, Jakarta,
1992, hal. 115
[56] Ibid., hal.120
Komentar
Posting Komentar