LATAR BELAKANG PENGHARAMAN POLIGAMI
Oleh Noor Chozin Agham
Jika ada sesuatu yang diyakini dan dicap haram, bagi Muslim ideolog
(eksklusif) pasti akan menjauhinya, mencibirnya, memusuhinya, memeranginya dan
bahkan – bila sesuatu yang haram tadi berwujud dan
bernyawa, hewan atau manusia – pasti mereka akan membunuhnya tanpa basa-basi
apalagi kompromi. Sebab, di dalam benaknya akan terbayang bahwa sesuatu yang
diharamkan itu akan sangat membahayakan, membuat pelakunya akan berlumuran
dosa, bermandi noda dan berhanduk ketakutan. Bagaimana
jika sesuatu yang haram tersebut berupa fatwa haram berpoligami? Apakah
pelakunya perlu dibenci dan disatroni? Ataukah malah justru yang memberi fatwa yang jadi sasaran?
Pertanyaan terakhir itulah
yang tampak menjadi kenyataan. Banyak tulisan atau buku yang menuding mereka
yang menentang poligami apalagi mengharamkannya. Tudingan seperti kafir, tidak
mengakui syariat, menentang al-Qur’an, menentang Rasulullah, semuanya telah
dialamatkan kepada para penentang atau pengharam poligami. Tudingan lain
seperti tidak mampu, loyo, impoten, takut istri dan pelecehan lainnya, juga
sudah menjadi langganannya. Penulis sendiri mengalami hal serupa ketika pada
tahun 2009 membentuk grup Mazhab Anti Poligami di fesbook, hingga sempat
ada orang yang mengancam akan melaporkan penulis ke Bareskrim Mabes Polri
karena penulis dinilainya telah melecehkan ajaran Islam.
Pada dasarnya, jika
ditelusuri argumen dasar dari para Ulama yang mengatakan (memfatwakan) poligami
halal, hampir pasti semua merujuk pada Q.S. an-Nisaa: 3, yang pada dasarnya
juga mereka mengetahui bahwa hukum asal berpoligami menurut Ulama mazhab yang empat (Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Ahmad)
yaitu sama dengan hukum asal menikah, yakni mubah (ibahah)[1].
Kemudian, karena sifat dari
mubah tersebut sama dengan bebas, tidak ada ikatan apa-apa,
maka dari ibahah itu perlu ada penguatan-penguatan dari dalil naqli (al-Qur’an atau Sunnah) sehingga menjadi halal, sunnah atau lainnya. Dalam kaidah ushul fikih disebutkan : Hukum asal segala sesuatu adalah mubah (ibahah) sampai ada petunjuk atau dalil yang
mengharamkan atau menghalalkannya.
Kemudian, karena diduga ada
beberapa dalil yang menunjukkan poligami, terutama yang dilakukan oleh Rasulullah Saw.,
maka hampir seluruh Ulama fikih di dunia tak ada yang mengatakan poligami itu haram secara mutlak. Bahkan, menurut para Ulama fikih belakangan, seperti Syaikh Abdurrahman Faris Abu
Lu’bah, menuliskan:
Bahwa pernikahan dengan
lebih dari satu isteri bagi seorang lelaki menurut para fukaha adalah ketentuan
syari’ah yang syar’un tsabitun wa sunnah muttaba’ah (syari’at yang sudah tetap dan sunnah yang layak diikuti). Para fukaha tidak pernah
memperdebatkan masalah ini, meskipun mereka berbeda pendapat dalam banyak
haldalam masalah fikih. Ini karena hukum tersebut (kebolehan berpoligami) didasarkan pada dalil qath’i tsubut (pasti
bersumber dari Rasulullah) dan qath’i dalalah (pasti maksudnya) dan tidak
ada ruang ijtihad untuk
memperdebatkannya.[2]
Lebih runyam lagi, ada pula
Ulama fikih yang menyebutkan bahwa hukum poligami adalah sunnah tanpa syarat apapun. Masalah adil, bukan syarat berpoligami, tetapi kewajiban setelah berpoligami. Pendapat demikian, diungkapkan oleh Ulama dan guru besar Al-Azhar Cairo, Mesir, Syaikh bin Baz[3]
Dan masih banyak lagi para
ahli fikih yang mengatakan bahwa kehalalan poligami merupakan kesepakatan Ulama, dan mereka pun mengatakan apabila seorang lelaki
Muslim menikahi maksimum empat orang perempuan sekaligus, maka hukumnya adalah
halal[4].
Sedangkan para ahli fikih Indonesia, yang umumnya disebut dengan Kyai, bukan saja menghalalkan, tetapi telah mempraktekkan
atau melakukan poligami, minimal 2 (dua) orang istri, yang kemudian
diikuti oleh mayoritas umat Islam Indonesia yang merasa dirinya memunyai kemampuan
untuk berpoligami. Jadi, tanpa disebutkan satu persatu Ulama atau Kyai yang dimaksud, semua sudah maklum, dan bagi penulis
sendiri – untuk keperluan mengoreksi ini – merasa lebih nyaman untuk tidak
menyebutkan siapa mereka.
Di samping itu, ada 2 (dua) alasan pokok yang sebagai latar
belakang, kenapa penulis merasa terpanggil untuk mengoreksi fatwa para Ulama fikih tersebut (tentang poligami yang difatwakan halal atau bahkan sunnah). Pertama, alasan yang bersifat interen pribadi dan
umat Islam. Kedua alasan yang bersifat eksteren, melingkupi
kebangsaan dan globalitas.
Yang bersifat interen
pribadi, terus terang, penulis lahir dan dibesarkan oleh keluarga poligami. Ayahanda penulis, almarhum K. H. Ghazali
(rahimahullah. meninggal saat penulis masih berumur 5 tahun), memunyai 2 (dua)
orang istri, dan penulis lahir dari kandungan istri kedua almarhum, yaitu
Ibunda Mu’awanah Rahimahallah (meninggal tahun 1996). Secara pribadi, penulis
sendiri tidak banyak tahu bagaimana sifat dan watak serta alasan Ayahanda
Rahimahullah berpoligami. Yang pasti, dengan kemampuan seadanya penulis
mulai mencoba mempermasalahkan poligami yaitu sejak tahun 1970-an, saat penulis masih
duduk di bangku SMA bahkan masih belum punya pacar (istilah anak sekarang).
Banyak teman penulis yang menjadi saksi hidup, bahwa setiap kali ada acara Halal Bihalal di kampung, atau hampir setiap ada
hajatan di kampung, penulis selalu dapat giliran untuk berpidato (ceramah), dan
hampir setiap kali ceramah, setiap kali pula penulis mengkritik habis anggota
masyarakat yang beristri ganda atau lebih dari satu. Saksi hidup (temen
penulis) yang penulis maksud, yaitu teman seangkatan dan sekampung, yaitu antara
lain : Drs. H. Syathori Hasan, M.Pd. (kini guru SMA Negeri 53 Jakarta), Drs. H.
Abdullah Saryan, S.Q. (kini pejabat Kankemenag Kabupaten
Indramayu), Dra. Hj. Maslahah Hanafi, Dra. Hj. Miskiyah Badawi, Drs. Nastain
Badawi (semua PNS, guru, bertugas di MI PUI Bondan Kertasemaya Indramayu), Drs.
Shohib Darmin., S.H. dan Drs. Shofwan Syafi’i (keduanya guru di MAN Kuningan
Cirebon) dan seluruh sesepuh kampung penulis, semuanya adalah saksi hidup yang
insya-Allah masih pada ingat terhadap ceramah-ceramah penulis
yang senantiasa mengkritik dan mempermasalahkan siapapun yang hidup berpoligami.
Interen umat, dalam hal ini umat Islam. Hemat penulis bahwa masyarakat awam yang mayoritas
Muslim terasa begitu mudah menjalankan atau mempraktekkan poligami. Keluarga besar (kakak-kakak) penulis, yang
sekarang berada dan kumpul di Yayasan Pendidikan dan Majelis Ta’lim Al-Ghazali
(Indramayu), hampir semuanya berpoligami. Penulis belum melihat apakah mereka hidup
bagahagia atau tidak. Jarak tinggal mereka dengan penulis cukup jauh dibanding
antara Tangerang - Jakarta, jadi tidak terlihat-saksikan. Justru yang membikin
trenyuh hati penulis, yaitu masyarakat Islam yang pernah dan selalu penulis lewat-temu-kunjungi,
mulai dari karyawan rendahan, buruh rendahan, sopir angkot, sopir truk, sopir
taksi, pedagang kaki lima, pedagang asongan, tukang ojek, tukang parkir, preman
dan banyak lagi, sampai guru, dosen, dan pimpinan serta aktivis LSM, mereka
banyak sekali yang bukan saja menghalalkan poligami tetapi mempraktekkannya sekaligus, dan kondisi
atau keadaan rumah tangganya berantakan, istrinya awut-awutan, anaknya
terlantarkan. Sungguh merasa trenyuh hati ini.
Terhadap kondisi yang demikian itu, bagi penulis, bukan mereka yang
salah, melainkan para Ulama fikihlah yang belum pas untuk dibenarkan. Doktrin al-’Ulama waratsat al-Abiyaa
(Ulama adalah pewaris para Nabi) hampir pasti menjadi pegangan yang kokoh bagi
masyarakat, sehingga secara umum terkesan mengabaikan pesan-pesan teologis yang terdapat dalam sumber utamanya yaitu al-Qur’an dan Sunnah. Dalam konteks poligami, karena sudah ada fatwa halal atau sunnah, bahkan praktek dari para Ulama fikih tadi, maka masyarakat Muslim pun tanpa ragu-ragu
berlomba melakukannya. Walaupun para Ulama fikih itu sudah menjelaskan dengan rinci syarat-syarat
untuk berpoligami, tetapi masyarakat Islam secara umum hanya tahu bahwa poligami itu halal bahkan sunnah, tidak mempedulikan syarat-syarat yang diberikan
para Ulama, mungkin karena di kalangan Ulama fikih pun masih ada yang bersikukuh bahwa berpoligami itu sunnah dan tidak memerlukan syarat sebagaimana disinyalir
di atas.
Tentu saja, para Ulama fikih – yang menghalalkan atau yang mensunnahkan dan bahkan
mempraktekkan poligami – akan terus berkelit tidak akan pernah mau
disalahkan. Mereka bilang, bukan hukumnya yang salah, melainkan pelaku poligaminya itu yang salah, yang tidak tahu diri, main
tancap gas tanpa kendali. Coba kalau mereka (para pelaku poligami) itu turut menghormati apa kata para Ulama untuk memenuhi syarat-syarat berpoligami, mungkin takkan pernah terjadi perselisihan atau
bahkan pertengkaran dalam praktek berpoligami. Begitulah kata Ulama pro-poligami.
Terlepas dari siapa yang salah, masyarakat pelaku poligaminya ataukah yang memberi fatwa, hemat penulis saatnya fatwa halal berpoligami dikoreksi, diuji-sahih kembali dengan tidak hanya
melihat dalil naqli secara tekstual, tetapi juga melihatnya dengan
kearifan pikiran, kearifan nurani, kearifan kemanusiaan, kearifan sosial, kearifan keluarga, dan kearifan keilmuan yang
berkelindan dengan kebutuhan dalam membentuk keluarga sakinah, mawaddah wa rahmat. Mencabut fatwa halal berpoligami untuk kemudian menggantinya dengan haram, hemat penulis bukanlah sebuah pelanggaran syari’at,
bukan sebuah kerja dosa, bukan pula sebuah pemutarbalikan hukum yang (menurut Ulama pro-poligami) sudah ditetapkan al-Qur’an dan Rasulullah, melainkan sebuah langkah maju
untuk mewujudkan slogan “rumahku adalah surgaku” seperti yang juga dikatakan
para Ulama pro-poligami. Keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah dalam ukuran manusia biasa, adalah monogami, bukan poligami, demikian kata Ulama tajdid.
Poligami atau poligini, adalah bukan syari’at Islam melainkan syariat jahiliyah. Poligami, bukan ketentuan al-Qur’an dan Sunnah melainkan ketentuan Ulama fikih. Jadi, sangat keliru jika pengharaman poligami dikatakan menentang syari’at Islam. Pengharaman poligami yang penulis lakukan pun demikian; bukan untuk
menentang ketentuan al-Qur’an dan Sunnah, melainkan untuk menentang tradisi jahiliyah moderen, yang mempermainkan perasaan dan nurani
kaum istri dengan kedok agama (poligami yang dihalalkan). Nabi Muhammad Saw memang berpoligami, tetapi beliau adalah salah seorang yang
berkedudukan sebagai Nabi yang memunyai misi khusus, kendati “seolah” mengikuti
budaya jahiliyah (poligami), namun takkan pernah dinilai berdosa di hadapan Allah Swt., karena memang beliau adalah ma’shum, segala hal
yang ada pada beliau, termasuk istri-istrinya adalah wahyu atau keistimewaan
untuk beliau yang tak ada tandingannya. Bagi manusia biasa seperti WNI atau
WNA, mulai dari niat ingin berpoligami, sampai pelaksanaan poligami, sudah dipenuhi dengan bisikan yang tidak benar,
kalau belum bisa penulis katakan sebagai bisikan setan.
Kemudian, alasan eksteren
yang bersifat kebangsaan dan globalisasi (globalitas), yaitu muncul-merebaknya anggapan
bahwa menolak atau bahkan mengharamkan poligami adalah sebuah pemikiran yang sesat, yang dikampanyekan
oleh para missionaris Barat yang beragama Kristen. Padahal sesungguhnya, jika
kita dengan seksama menelaah sejarah perkembangan pemikiran para pendahulu Islam, bahwa gerakan pengharaman poligami sesungguhnya muncul bersamaan dengan era kejayaan Islam yang dikomandani para Khalifah Dinasti Abbasiyah yang multialiran (banyak mazhab). Para ahli sejarah sepakat, bahwa pada masa dinasti
inilah (abad kedua Hijriyah) munculnya perbincangan dan penetapan berbagai fatwa hukum. Para Imam mazhab empat menyepakatinya dengan mubah berkecenderungan sunnah, sedangkan para imam lainnya seperti dari golongan
Muktazilah tidak ikut dalam kesepakatan dan mereka lebih condong pada hukum haram berpoligami.
Para tokoh modernis seperti
Sayyid Ahmad Khan, Muhammad Abduh, Jamaluddin al-Qasimi, Ahmad Musthafa
al-Maraghi, Muhammad Izzat Darwazah, Abdul Karim Khathib, Wahbah Zuhaili, Syaikh al-Bahiy
al-Khuli, Syaikh Abdul Muta’al ash-Shaidiy, Abdul Aziz Fahmi, dan para Ulama pembaru yang lain, yang menyebutkan bahwa asas pernikahan
dalam Islam adalah monogami, semuanya tertuduh dan dianggap sebagai tokoh yang
terpengaruh pemikiran Kristen yang katanya anti poligami. Padahal, mereka sebenarnya juga tahu, bahwa
ajaran Kristen yang sesungguhnya juga telah membolehkan poligami. Ini berarti mengesankan ada pemutar-balikan
fakta, yang seharusnya dikatakan para tokoh modernis Islam itulah yang telah mencoba memengaruhi umat Kristen
untuk sama-sama menolak poligami.
Berikut ini, penulis
turunkan petikan tulisan seorang Ulama pro-poligami sebagai berikut:
... kita boleh melihat
tiga tahapan serangan ke atas hukum poligami. Pertama, serangan kaum orientalis dan misionaris.
Kedua, serangan tersebut diteruskan oleh para pemikir modernis/liberalis
seperti Muhammad Abduh dan lain-lain. Ketiga, serangan tersebut
telah diformalisasikan di dalam bentuk peraturan dan undang-undang keluarga Islam oleh para pemimpin kaum Muslimin.[5]
Selanjutnya dituliskan: Jika
dilihat imbasnya, kaum liberal/modernis ini seakan-akan membela Islam karena kebijakan mereka menggunakan dan
memutarbalikkan penafsiran ayat-ayat al-Quran dan Hadis-hadis tertentu dengan tujuan untuk
mengaburkan pemahaman umat Islam sehingga timbul pemahaman bahwa hukum poligami adalah haram dan dilarang di dalam Islam. Abul A’la al-Maududi –rahimahullah— mengkritik
pandangan kaum modernis/liberalis ini dengan tegas dan tepat di dalam ucapan
beliau, Demikian pula tentang ide larangan poligami, tidak lain ia hanyalah barangan asing yang
diimport ke negara kita dengan alasan palsu yang disandarkan kepada al-Qur‘an”[6]
Berikutnya dituliskan: jelaslah bahwa penentangan terhadap poligami itu hakikatnya bukanlah kerana ia adalah perbuatan
dosa dan dilarang dalam syariat Islam. Ia tidak lain adalah kerana mereka ikut-ikutan
dengan pandangan masyarakat Barat yang menganut agama Nasrani (Kristian) yang
memandang poligami itu adalah barang najis yang sangat dibenci oleh
mereka. Perlu juga dijelaskan di sini bahwa agama Nasrani secara de facto tidak
pernah mengharamkan poligami kerana tidak ada satu pun ayat Injil yang melarang
kebolehan berpoligami.
Selanjutnya dikemukakan: bahwa
amalan monogami yang dijalankan oleh masyarakat Eropah adalah
semata-mata tradisi kekeluargaan yang diwarisi dari bangsa Yunani dan Rom.
Ketika masyarakat Rom berduyun-duyun memeluk agama Nasrani pada abad ke-4 M,
mereka tetap meneruskan tradisi nenek moyang mereka yang melarang amalan poligami. Maka, peraturan monogami secara normatif bukanlah ajaran agama Nasrani,
melainkan adalah adat warisan lama yang secara sosiologis telah berkembang sejak kaum Yunani dan Rom
menganut agama berhala (paganisme)
Kemudian dituliskan pula,
bahwa pihak gereja hanya meneruskan larangan poligami dan menganggapnya sebagai norma agama Nasrani,
sedangkan di dalam lembaran-lembaran Kitab Injil sendiri tidak pernah
menyebutkan adanya larangan poligami[7]
Disimpulkannya: Inilah
sekilas penjelasan tentang sejarah pro-kontra poligami dalam tubuh umat Islam, termasuklah kaitannya dengan sejarah poligami dalam masyarakat Eropah. Kesimpulannya, serangan
terhadap poligami jika dikaji secara mendalam adalah merupakan
sebagian dari Perang Pemikiran (al-Ghazwul Fikri) di antara kaum imperialis
kafir Barat yang beragama Kristian dan berideologi sekular-kapitalis, dengan
kaum Muslimin yang meyakini Islam sebagai ideologi.
Padahal, bahwa penolakan terhadap poligami, seperti yang sering disabdakan para cendekiawan
Muslim, bukan karena pengaruh Kristenisasi seperti yang mereka tuduhkan, tetapi
karena perkembangan pemikiran yang hampir bersifat alami, atau sebagai
konsekwensi logis dari keseriusan dan kecerdasan masyarakat terdidik dalam
merespon perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi moderen. Yang penulis
lakukan ini misalnya, penulis belum pernah tahu kalau ternyata dalam sejarah
penolakan poligami dilakukan oleh orang seperti yang disebutkan di
atas. Penulis mengharamkan poligami, awalnya hanya berupa sebuah pertanyaan dalam
hati; kenapa sesuatu yang disebut-sebut halal bahkan sunnah kok tidak diterima secara bulat oleh mukallaf dan
bahkan jika dilaksanakan banyak mudharatnya? Bukankah sesuatu yang sunnah apabila dilakukan dapat dipastikan selalu
mendatangkan keuntungan dan kesenangan? Kenapa sesuatu yang halal tidak terima oleh kaum Muslimah pada umumnya?
Bukankah sesuatu yang halal itu umumnya diterima semua umat Islam, laki-laki atau perempuan?
Teman kita yang sedang
kesusahan membutuhkan uang, lalu kita bantu memberikan uang, walau tidak
seberapa, pasti menyenangkan kedua belah pihak. Memberi bantuan, hukum asalnya mubah, dan akan menjadi haram kalau membantu untuk berbuat makar. Sama dengan
menikah. Hukum asalnya mubah, bisa menjadi haram kalau menikah itu digandakan, sudah menikah tetapi
menikah yang kedua dan seterusnya (poligami). Pemikiran yang sederhana inilah yang mulanya
penulis pikirkan, kemudian penulis kembangkan, sampai akhirnya penulis
menemukan beberapa alasan yang penulis yakini dapat merobah pandangan
masyarakat terhadap kehalalan dan kesunnahan beristri ganda (poligami). Jadi, penolakan atau bahkan pengharaman poligami yang penulis lakukan, demi Allah bukan karena pengaruh Kristenisasi, bukan karena
termakan imperialisme kafir Barat, demi Allah bukan. Pengharaman yang penulis kumandangkan awalnya
tidak tidak ada kaitannya dengan pendapat orang yang beragama lain. Kalau ada
kesamaan, itu bagus, bukan sesuatu yang diharamkan.
Menurut hemat penulis,
bahwa mengharamkan poligami, Insya-Allah lebih bermanfaat daripada menghalalkannya. Bayangkan,
gara-gara poligami itu dihalalkan, banyak kalangan Muslim yang
mengumbar nafsunya dengan kawin lagi dan kawin lagi. Alasan mereka yang
terkesan konyol, yaitu daripada berselingkuh, atau daripada berzina, lebih baik
menikahi perempuan yang dicintai. Daripada melihat banyak kaum perempuan
berkeliaran di jalanan (menjual diri), lebih baik mereka ditampung dan
dinikahi. Daripada banyak janda yang kehilangan suami, yang merindukan belaian suami,
maka lebih baik mereka dinikahi supaya terjaga dari niat menjual diri. Mereka (kaum suami yang demikian) tidak
berpikir bahwa poligami akan menyiksa perasaan istri asli (pertama) yang
sudah berjanji akan memberi nafkah lahir batin dan berjanji sehidup semati di
depan penghulu. Mereka tidak peduli terhadap perasaan cinta-kasih sang istri
yang ingin senantiasa mendapat perhatian dan kasih sayang suaminya.
Mengharamkan poligami, tidak, sekali lagi tidak berarti membebaskan
berselingkuh atau berzina seperti juga yang dituduhkan banyak pelaku poligami. Logika sederhananya, menikah saja (poligami) haram, apalagi berselingkuh atau berzina, tentu lebih haram lagi. Jadi, mengharamkan poligami sesungguhnya lebih bermakna pencegahan supaya
tidak berselingkuh dan tidak juga tidak berzina, melainkan mendorong untuk
senantiasa cinta dan sayang kepada istri tunggal. Mengharamkan poligami, mendorong dan memotivasi kaum suami supaya
memaksimalkan peran istri sebagai pendamping dan sekaligus juga pemimpin dalam
kasus-kasus tertentu. Mengharamkan poligami, dapat menenteramkan hati sang istri dan sekaligus
meningkatkan kasih-sayangnya pada suami. Mengharamkan poligami, Insya-Allah akan meningkatkan martabat keluarga sakinah, ma
waddah wa rahmah, sekaligus meningkatkan rasa iman dan takwa kepada Allah Swt.
Mengharamkan
poligami yang penulis lakukan lewat naskah ini, bukan hanya
untuk membela kaum istri yang secara psikologis lebih menderita jika dimadu atau termadu, melainkan untuk membantu kaum suami supaya terus
menjaga harmonitas, menjaga keutuhan rumah tangga. Hal ini penting, karena ada
semacam pandangan umum, bahwa jika ada perselisihan dalam keluarga, atau jika
ada rumah tangga kurang harmonis, lalu terjadi penceraian, yang disalahkan atau yang menjadi tertuduh
biasanya adalah kaum suami. Karena itu, pihak suami perlu memunyai kiat-kiat
yang memadai supaya rumah tangganya aman sentosa, tidak terjadi gejolak, rukun
dan damai dalam sebuah keluarga monogami. Kiat yang dimaksud, antara lain yaitu jika
terjadi “istri tidak bisa melayani suami”, maka sang suami tidak serta-merta
menyalahkan sang istri dan apalagi menjadikannya sebagai alasan untuk kawin
lagi. Suami sebagai pemimpin tertinggi dalam sebuah rumah tangga, maka jika
istri (misalnya) tidak berperan secara maksimal, maka tugas suami memberikan
bimbingan bagaimana supaya yang kurang tadi dapat teratasi dengan baik, jangan
sampai sang suami memilih kiat egoistik, misalnya dengan minta izin
mendatangkan istri baru di rumah itu atau di rumah lain lagi. [*]
[1] Syaikh Abdurrhaman Al-Jaziry, al-Fiqh
‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, Juz IV,
Beirut, Dar al-Fikr, 1996., dalam bab Mabaahits al-Qasm baina az-Zaujat fi
al-Maabit wa an-Nafaqah wa Nahwihima, hlm. 206 dst.
[2] Syaikh Abdurrahman Faris Abu Lu'bah, Syawa`ib
al-Tafsir fi al-Qarni al-Rabi’ ‘Asyara al-Hijri hlm. 360.
[3] Lih. majalah As-Sunnah
Edisi 12/Tahun X/1428H/2007, yang
diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, dan dapat dikonfirmasi ke
alamat majalah atau yayasan tersebut di Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
[4] Ny.Ariij Binti Abdurrahman As-Sanan, Adil
terhadap Para Isteri (Etika Berpoligami), Darus Sunnah Press, Jakarta,
2006, hlm. 41.
[5]Mohammad Baharun, Isu Zionisme Internasional, hal.
53; Dr. Abdul Majid al-Muhtasib, Ittijahat al-Tafsir fi al-‘Ashr
al-Rahin, hal. 187
[7]Lihat Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid VI/157;
H.S.A Alhamdani, Risalah Nikah : Hukum Perkawinan Islam, hal. 79-80;
Ahmed Deedat, The Choice Dialog Islam-Kristen, hal.
85-88. David C. Pack, The Truth About Polygamy,http://www.thercg.rg/
Semoga yang menulis postingan ini dilaknat oleh Allah swt.. amiin..
BalasHapus